Hantu Pulang

 


Tatkala aku merasa jemu mengikuti generasi-generasi dan letih menyaksikan prosesi orang-orang dan bangsa-bangsa, aku duduk seorang diri di lembah hantu-hantu, dimana kenangan-kenangan dari generasi lalu bersembunyi, dan semangat dari zaman mendatang berbaring menunggu.

- Kahlil Gibran


Ada bencana besar yang dibiarkan menyantap dan menelan banyak dari kita, secara bulat-bulat, dengan serempak. Menggilas menuju puas. Kita dikunyah habis, disesap sampai saripati diri habis. Tak ada sesepah pun yang dilepas. Bencana besar itu membuat tak sedikit perkara jadi hambar dan hilang dayanya. Ia menyudahi kita langsung dalam momen suntuk, ketika tak sesiapa pun dapat digenggam, dan tanpa selera terhadap apa-apa.

Malam ini, aku menyadari satu kata yang lebih dari tiga kali kujumpai dalam sehari. Kata itu, barangkali yang beberapa hari ini mengusik: pulang.

Aku selalu percaya bahwa kata-kata dan ide-ide adalah pesan, meski diendapkan dalam durasi yang lama akan terus menghantui pikiran sampai ia ditulis atau diucapkan. Memang ajaib, tapi aku masih percaya dunia ini juga dihuni para lelembut yang bukan hanya setan-setan seperti kuntilanak, jenglot, tuyul, dan kawanannya. Ada hal-hal tak kasat mata lain yang derajatnya lebih tinggi, yang juga punya andil di kehidupan. Mereka kurasa bukan sesuatu yang bergerak seperti manusia dan makhluk lainnya, tapi mereka adalah sesuatu yang menggerakkan. Yang punya daya kekuatan. Abstrak dan metafisik? Sebut saja apapun itu.

Hari ini aku menuntaskan beberapa halaman terakhir buku Pulang karya Leila Chudori. Aku membolak-balik buku milik teman yang hendak kukembalikan entah kapan itu dan jariku berhenti pada lembaran di halaman 206. Mataku segera menyapu satu larik kalimat, yang nampak menonjol sebab digarisbawahi pakai pensil. Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang. Satu kalimat yang diucapkan Dimas Suryo, salah seorang tokoh dalam novel. Sebagai seorang eksil yang menjadi ‘buangan politik’ pasca gejolak Peristiwa 1965, ia tak bisa pulang ke tanah air, dan mengalami banyak kesukaran hidup di negara orang akibat sejarah kelam masa lalu.

Kalimat itu kubaca pelan. Langsung saja aku kepikiran Mamak. Kemarin, aku mengatakan akan pulang jika sudah tak ada agenda liputan. Sontak kuraih ponsel. Belum sempat menulis chat, satu pesan dari Mamak masuk. “Sido mantuk, nduk?” (Jadi pulang, nduk?). Ini sudah seratus milyar kali terjadi. Seseorang (biasanya orang dekat) menghubungiku, tepat saat aku memikirkannya. 

Sore itu, aku menyelesaikan sebuah tulisan di ayunan teras depan kontrakan. Cuaca hari itu mendung dan gerah minta ampun. Aku sengaja cari angin, juga membiarkan kucing kontrakan Si Baba bebas main di luar. Kucing itu sudah seperti burung dalam sangkar, kadang aku iba. Lalu Oliv tiba-tiba keluar dengan satu payung dibawanya. Ia agak kaget saat kusapa. Mau ke mana dia sore-sore begini jalan kaki? Katanya ia hanya ingin jalan-jalan saja. Aku mengangguk, menyaksikannya berjalan gontai dan murung. Belum ada semenit, dia putar balik dan malah mengajakku ikut. Kubilang, sebentar lagi aku mau keluar cari makan dengan Ofa, kalau mau, ikut saja. Dia sepakat, dan kusuruh cepat-cepat pulang sebelum maghrib. Kami ketawa. Katanya, “WKWK udah kayak kucing aja!”

Menjelang maghrib, aku tahu Ofa pasti sudah siap OTW dan benar saja dia chat, “Ayo”. Aku sebetulnya agak kuatir Oliv tidak segera balik. Tadinya, sempat terlintas di kepalaku untuk ikut jalan dengannya. Akhirnya aku tak ingin merusak upaya dia untuk membuang kesedihan, yang entah apa itu sebabnya. Dalam banyak momen aku selalu merasa mampu menyerap emosi orang-orang di sekitarku, dan selalu saja emosi itu merembet juga ke perasaanku. Kadang-kadang aku bersyukur memiliki pembawaan yang datar, tak terbayang betapa gilanya aku jika gonta-ganti mood tergantung dengan siapa aku berinteraksi. Dulu aku kerap merasa payah karena tak bisa ekspresif, setidaknya untuk menghibur orang-orang di sekitarku yang tengah kalut. Tapi lama-lama kusadari, setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan membiarkan mereka mencari titik terang sendiri sembari meyakininya mampu menemukan jalan sendiri adalah bentuk dukungan, yang juga berarti. Nampak ataupun tidak.

Aku tetap mengirim pesan ke Oliv, “Pritt, waktunya pulang.” meski kutahu tak akan segera dibaca. Ia sudah bilang mematikan data internet selama jalan-jalan. Toh, kutahu dia sedang di jalan pulang. Entah disadari atau tidak, pesan yang kukirimkan ke Oliv, sebetulnya tak sesempit menyuruhnya segera kembali ke kontrakan karena Ofa sudah menunggu. Waktunya pulang… Tepat ketika kutekan tombol kirim, muncul centang satu di samping teks dalam layar, dan pada saat yang bersamaan ketika suara notifikasi pesan terkirim di WhatsApp berbunyi ‘plup!’, di benakku juga muncul satu pikiran tentang kata “pulang” yang sedari tadi gentayangan. Pikiranku serasa seperti telaga berair tenang yang tiba-tiba dilempari batu oleh tangan seorang tua yang melamun di tepian.

Sepersekian detik, tetek bengek lamunanku buyar ketika suara gagang pintu didorong. Oliv datang. Singkat cerita kami bergegas. Fidya yang baru bangun tidur memutuskan ikut dengan kami. Awalnya ia ragu, tapi entah karena tak ingin kesepian dan bosan, ia mau pergi. Kulihat rautnya sedikit kesal, karena harus buru-buru keluar dengan muka bantal. Juga, mungkin akumulasi perasaannya beberapa hari itu mengendap tanpa terutarakan dengan utuh. Tapi tak apa, meski aku merasakan mood yang tak enak dari dua orang penghuni kontrakan sore itu, aku tak mau mengambil sikap apa-apa. Biarlah kami larut dalam perenungan masing-masing di perjalanan.

Oh iya, sore itu Ofa mengajakku makan ikan bakar. Yang kemudian kuketahui alasannya pengin makan ikan laut adalah karena merindukan rumahnya kota M yang belakangan selalu ia sebut-sebut dengan bangga di sela-sela cerita. Dalam perjalanan ke arah rumah makan, lagi-lagi aku menjumpai kata “pulang”. Aku tak menyadari apapun yang ganjil sebelum melewati Jalan Kaliurang daerah Manggung. Satu papan nama kafe yang besar bertuliskan “Pulang”, tiba-tiba saja menjadi huruf-huruf ajaib yang seolah sengaja menemuiku satu demi satu.

Perenungan ini tak hanya terjadi dalam sehari. Ia terkumpul dalam banyak masa, hingga dalam satu jangka waktu tertentu beralih. Jika aku bisa menciptakan sistem waktu sendiri, mungkin ia tak akan disekat jam dan hari, tapi dihitung dari satu lingkaran masa ke lingkaran masa lain. Mungkin karena inilah, aku seringkali tak menggubris waktu. Semenit bisa jadi lama, bisa jadi sebentar. Aku lebih condong melihat kehidupan dalam musim-musim. Yang terjadi utuh, bergantian, dan selaras. Tak ada yang pergi sebelum benar-benar selesai. 

Rasanya suatu peristiwa dan keadaan yang kita alami secara kolektif, terjadi tak hanya dalam batas-batas 24 jam. Minggu ke Senin terlalu buru-buru untuk mendefinisikan satu siklus yang belum selesai. Dan karenanya kita dipaksa untuk seolah-olah mengerjakan urusan-urusan yang baru, sambil terseret-seret urusan lama. Sementara ada banyak periode waktu yang terbengkalai di belakang, terus-menerus ditinggalkan sampai kita terusik dari dalam dan dari luar. Entah dengan bahasa apa aku harus mengungkapkan hal ini, tapi begitulah aku meyakini segala gelisah dan gundah terjadi pada diri kita, pada jiwa dan raga kita, bukan semata-mata karena ujian Tuhan, bisikan iblis, kebodohan dan kesalahan segelintir manusia, tapi karena kita terus membiarkan segalanya luput, tanpa dirawat, tanpa diberi kesempatan untuk tuntas sesuai waktunya. Barangkali, kita terlalu memaksakan banyak kehendak, terlalu ingin melihat segalanya sekaligus dalam sekat-sekat waktu yang singkat, dalam pesan-pesan yang dangkal, dalam sandiwara berkepanjangan yang disilap benda-benda gemerlapan di luar, sementara meredup di dalam sana. Tak ada bara, pun tak ada yang basah. Kering. 

Pulang, diartikan dalam banyak hal, jangan-jangan adalah pitawat yang selama ini tak kita hiraukan. Akhir-akhir ini aku merasa sekelilingku sedang tak punya gairah dalam banyak hal, dan kadang-kadang itu membuatku melamun sepanjang waktu. Seperti ada lolongan kosong melompong di tiap malam-malam yang mereka lalui. Seperti ada kerinduan akut pada satu hal ihwal, yang sebenarnya kita sama-sama tahu pangkalnya, tapi tak punya daya ungkap yang cukup untuk terutarakan. Padahal "diri" kita tahu, telah ada jawaban dari segala pertanyaan. Kita, seperti kehilangan keberanian untuk menghadap diri masing-masing dengan telanjang, dengan pikiran yang terang dan hati yang lapang. Besok aku pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukan Cerita Werkudara dan Arimbi

Sedap Malam