Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2019

Bukan Sepotong Senja untuk Pacarku

Setidaknya aku ingin seperti Sukab yang memberi sepotong senja untuk Alina Andai kedua mataku dapat memotret apapun yang kujumpa Setiap sepersekian detak akan kucetak apapun yang bermakna Berikut apa yang aku pikirkan tentangnya Akan ada ribuan potongan berikut judul dan keterangannya dan bukan hanya senja Seperti potret kabut sunub yang musnah sebelum berjumpa dengan tanah Udara yang berlari dikejar udara dari mulut manusia Atau apapun itu misalnya Dan bersamanya akan kau beri potongan-potongan itu makna Setidaknya kau tak akan seperti Alina Kau akan lengkap dan tak akan berpikir bahwa dunia ini fana Kau akan memaknaiku dengan selengkap-lengkapnya Selayaknya aku memberi makna pada apapun yang kujumpa Kamu tak akan membaca kata-kata lain selain yang kutulis pada potongan berikut judul dan keterangannya Tapi kau dan aku tahu bahwa andai selalu bertemu namun di dunia yang kata Alina fana Mataku tak dapat memotret dan tentu saja kau bukan Alina Maka berseraklah ka

Sebelum Tahu Rasa

Kemarin lusa aku membawa seonggok daging di depanmu seperti kapas Besok lusa aku membawa seonggok daging lagi dengan tulang-tulang keras Aku datang pada ruang dan waktu yang sama tapi kau tak bernapak tilas Kemarin lusanya besok lusa aku membawa seonggok daging lagi Di depanmu tanpa tulang Di tanpamu bertulang-tulang Aku datang pada ruang dan waktu yang sama dengan daging yang sama tulang-tulang kaku dan keras pula Kau yang tak ada

Selamat Mati

Mataku membelalak, aku terbangun dari kobaran api lalu kuhentak-hentakkan kakiku Menghinggut-hinggut hingga roboh semua setan-setan yang mati dalam tubuhku Berkoar-koar melagukan syair penanda hari Selamat datang Selamat pagi Selamat siang Selamat sore Selamat petang Selamat malam Selamat pulang Setan-setan yang mati roboh Setan-setan yang hidup bangkit Tubuhku ini seakan kapas terbakar, namun mataku seperti bola api menyalak-nyalak Menghentak-hentakkan hingga bangkitlah yang hidup Menghinggut-hinggut hingga robohlah yang mati Selamatkan syair penanda hari Tak ada peduli pada kobaran api Tak ada peduli pada yang mati Selamatkan syair penanda hari Sebab untuk hidup, harus ada yang mati

Apa Kamu Pura-Pura Kenal?

Kamu waktu itu seperti biasanya, berdiam diri dan mengamati sekitar. Atau mengeluarkan suara dengan terpaksa, pada halnya esensimu sedang kabur dan berbaur pada ruang apa yang kamu inginkan. Atau tiba-tiba saja kamu berada disana. Kamu melihat seorang lelaki yang meraba-raba untuk berjalan. Mata fisiknya buta. Seumur hidup, hanya di tempat itulah kamu banyak menemukan orang-orang seperti itu. Awalnya kamu merasa kasihan dengan orang yang kebanyakan orang sebut cacat. Mereka begitu terbatasi. Bukan, bukan fisik mereka yang terbatas, namun lingkungan mereka. Berbicara tentang keterbatasan, kamu berpikir bahwa pada dasarnya setiap manusia memilikinya, semua orang adalah ‘cacat’ apabila yang dilihat adalah setinggi-tingginya kemungkinan. Lalu orang-orang yang disebut ‘cacat’ tadi tidaklah berbeda dengan yang lain. Jika fisik mereka seperti itu, maka itulah fisik mereka yang utuh. Orang-orang tidak bisa melihat seseorang dengan orang lain secara bersamaan. Jadi, begitulah adanya,

Menertawakan Si Jenius Dungu

Gambar
Kita telah terlanjur berada di dunia dengan dua kategori yang dilekatkan pada diri seseorang mengenai kecerdasannya. Jenius dan dungu. Secara teori psikologi pada titik itulah manusia barangkali berada di suatu kondisi cognitive distortion dalam teori milik Aaron Beck. Seperti black and white thinking hingga labelling. Sehingga merasa bahwa dirinya maupun orang lain selalu tinggi atau selalu rendah. Seolah tidak ada alasan untuk tidak membandingan sesuatu pada diri kita dan orang lain. Atau parahnya, menertawakan orang lain ketika merasa diri kita tidak serendah mereka. Melalui novel klasik Charlie Si Jenius Dungu ini, Daniel Keyes berhasil menyentuh persis pada hati nurani dan akal sehat pembaca mengenai hal itu. Sentuhan yang begitu lembut, hangat dan tepat hingga melelehkan bongkahan air mata siapapun yang membaca lembar demi lembar kisah Charlie. Ia menyempurnakan sentuhan itu dengan kutipan dari Plato yang bijaksana pada halaman pertama bukunya: “Setiap orang yang berak