Apa Kamu Pura-Pura Kenal?
Kamu waktu itu seperti biasanya, berdiam diri dan
mengamati sekitar. Atau mengeluarkan suara dengan terpaksa, pada halnya
esensimu sedang kabur dan berbaur pada ruang apa yang kamu inginkan. Atau tiba-tiba
saja kamu berada disana.
Kamu melihat seorang lelaki yang meraba-raba untuk
berjalan. Mata fisiknya buta. Seumur hidup, hanya di tempat itulah kamu banyak
menemukan orang-orang seperti itu. Awalnya kamu merasa kasihan dengan orang
yang kebanyakan orang sebut cacat. Mereka begitu terbatasi. Bukan, bukan fisik
mereka yang terbatas, namun lingkungan mereka.
Berbicara tentang keterbatasan, kamu berpikir bahwa
pada dasarnya setiap manusia memilikinya, semua orang adalah ‘cacat’ apabila
yang dilihat adalah setinggi-tingginya kemungkinan. Lalu orang-orang yang
disebut ‘cacat’ tadi tidaklah berbeda dengan yang lain. Jika fisik mereka
seperti itu, maka itulah fisik mereka yang utuh. Orang-orang tidak bisa melihat
seseorang dengan orang lain secara bersamaan. Jadi, begitulah adanya, cukuplah
berbicara tentang apa yang mungkin atau kuasa yang bisa dilakukan dengan apa
yang ada.
Lingkungan memang sering diciptakan oleh kumpulan
orang-orang yang sama. Mereka menghimpun persamaan, mengesampingkan perbedaan. Dunia
melulu tentang prioritas mayoritas. Sehingga, segala kemungkinan dan kuasa yang
mereka mampu lakukan dijadikan patokan atas ketidakmungkinan serta
ketidakmampuan orang lain. Itulah yang mereka sebut ‘cacat’.
Kamu hampir saja jauh dari kesadaran akan hal itu.
Kamu seperti kebanyakan yang lainnya, bersyukur dan merasa penuh iba, hanya
karena mereka yang ‘cacat’ tak mampu melakukan apa yang kamu dan kebanyakan
orang lakukan. Sebelum akhirnya kamu menyadari bahwa rasa iba adalah bentuk
lain dari keangkuhan, kamu tanpa sadar memberi sekat antara manusia, antara yang
‘normal’ dan yang ‘cacat’. Kamu sekarang tertawa, karena pernah tak sadar
merasa sudah paling sempurna dengan bungkus mulia syukur dan iba.
Kembali pada pemantik awal--laki-laki buta yang
meraba-raba jalan--, ia berjalan sendirian dan hampir menabrak pagar pembatas
tanaman. Lalu salah satu dari temanmu berlari ke arahnya, menolongnya melompati
pagar. Laki-laki itu menampik uluran tangan temanmu. Dengan mimik muka kesal
pada keduanya, yang ‘cacat’ bergegas pergi dan melompat pagar dengan sempurna,
yang ‘normal’ melengos dan mengomel sebab niat baiknya ditolak matang-matang. Kamu
melihat? Lingkungan yang membuat dia tidak memiliki kuasa, yang membuatnya terlihat
cacat.
Berikutnya, di tempat yang sama. Yaitu tempat dimana
kamu untuk pertama kalinya dapat berjumpa dan bercengkerama dengan orang ‘cacat’.
Kamu ingat waktu itu kamu sedang duduk lalu secara tidak sengaja seseorang
temanmu yang mata fisiknya buta mengajakmu bicara. Salah satunya ia berbicara
mengenai apa yang dialaminya dalam lingkungan yang membuat dirinya memiliki
keterbatasan.
Ceritanya adalah kebalikan dari apa yang kamu
bicarakan sebelumnya. Disini, temanmulah yang meminta uluran tangan dari
sesorang. Suatu ketika ia hendak menyeberang jalan. Ia tahu, di sampingnya ada
seseorang yang juga hendak menyeberang. Tangannya mengulur pada orang tersebut,
dan ia tersentak ketika akhirnya niat baiknya untuk menyediakan pahala kebaikan
ditolak. “Bukan mahram.” Alasan yang pernah kamu berpikir adalah benar.
Laki-laki buta dilarang meminta uluran tangan
seseorang yang bukan mahramnya, sekalipun hanya untuk membantu menyeberang
jalan. Kamu diam sejenak dan memutar balik apa yang sebelumnya terpatri dalam
aturan lingkunganmu. Kamu melihat? Lingkunganlah yang membuat batasan-batasan.
Dari dua kejadian tersebut, kamu sadar,
hampir-hampir kamu terjebak dalam kepalsuan yang terbungkus mulia oleh norma
dan kebajikan.
Maksudnya, seumpama kamu mengenal Tuhan yang kamu
pahami merupakan sumber dari segala norma dan kebajikan yang ada dan melakukan
persis seperti apa yang digelarkan, apa yang akan kamu lakukan jika tak dapat
melihat apa yang digelarkan itu?
Maksudnya, seumpama kamu mengenal Tuhan, sehingga
kamu betul-betul meyakini bahwa Tuhanmu Maha Baik, lebih baik dari
sebaik-baiknya makhluk atau wujud apapun yang kamu kenal, apakah Tuhanmu akan
mengutuk seseorang yang menyentuh yang bukan mahramnya hanya karena membantunya
menyeberang jalan?
Apakah kamu pernah bertanya pada dirimu sendiri atau
pada wujud apapun yang kamu yakini bisa memberikan jawaban, tentang apa yang
telah kamu kenali selama ini?
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.