Menertawakan Si Jenius Dungu
Kita telah
terlanjur berada di dunia dengan dua kategori yang dilekatkan pada diri
seseorang mengenai kecerdasannya. Jenius dan dungu. Secara teori psikologi pada
titik itulah manusia barangkali berada di suatu kondisi cognitive distortion dalam teori milik Aaron Beck. Seperti black and white thinking hingga labelling.Sehingga merasa bahwa dirinya maupun
orang lain selalu tinggi atau selalu rendah. Seolah tidak ada alasan untuk
tidak membandingan sesuatu pada diri kita dan orang lain. Atau parahnya,
menertawakan orang lain ketika merasa diri kita tidak serendah mereka.
Melalui novel
klasik Charlie Si Jenius Dungu ini,
Daniel Keyes berhasil menyentuh persis pada hati nurani dan akal sehat pembaca
mengenai hal itu. Sentuhan yang begitu lembut, hangat dan tepat hingga
melelehkan bongkahan air mata siapapun yang membaca lembar demi lembar kisah
Charlie. Ia menyempurnakan sentuhan itu dengan kutipan dari Plato yang
bijaksana pada halaman pertama bukunya: “Setiap orang yang berakal sehat akan
ingat bahwa kekaguman indra penglihatan ada dua jenis, dan terjadi ketika
muncul cahaya ataupun ketika memasuki cahaya itu sendiri. Maka benar jika
dikatakan bahwa mata akal serupa dengan mata kepala. Dan barang siapa mengingat
hal itu ketika melihat orang yang penglihatannya kabur dan lemah tidak serta
merta tertawa...” Dengannya, pembaca seperti memakai kacamata yang diberikan
Keyes sebelum lanjut membaca bukunya.
Novel science fiction yang diterjemahkan dari Flowers For Algernon ini pada mulanya
adalah sebuah cerpen yang dibuat Keyes ketika masih menjadi seorang guru di New York. Inspirasi muncul ketika salah
satu muridnya bertanya, apakah jika ia menjadi semakin pandai, ia nantinya bisa
belajar dengan anak-anak lain yang cerdas. Dengan latar belakang pendidikan
psikologi serta kedokteran, penulis yang juga sukses menulis The Minds of Billy Milligan ini paham
betul bagaimana mengurai jalan pikir Charlie, sang tokoh utama.
Penulis
seolah mampu memindahkan kepemilikan buku ini dari dirinya sendiri, ke Charlie
sepenuhnya, lalu ke siapapun yang membaca. Dengan format buku harian, pembaca
diyakinkan dengan tulisan-tulisan jujur Charlie untuk laporan kemajuannya
setelah operasi. Jadi, Charlie adalah seorang lelaki yang terlahir dengan
kecerdasan yang sangat lemah. Ia memiliki angka IQ 68 untuk usianya yang telah
32 tahun. Kisah dimulai ketika dua orang profesor dari Universitas Beekman dengan
bantuan dana besar dari Welberg Foundation, memiliki sebuah percobaan untuk memperbaiki
salah satu “kesalahan alam” yang menimpa orang-orang terbelakang. Dengan jalan
operasi, semacam memindahkan bagian otak yang mereka pikir “rusak” kemudian
menanamkankan jaringan otak yang telah terevitalisasi. Charlie terpilih karena
diantara orang-orang dewasa terbelakang, ialah yang memiliki motivasi tinggi. Percobaan
itu juga telah dilakukan sebelumnya pada seekor tikus putih, Algernon. Tikus
itupun menjadi jenius. Dengan kemampuan bermain labirin atau permainan
sejenisnya sebagai tolok ukur. Alrgenon seperti Charlie, memiliki motivasi yang
tinggi. Motivasinya adalah sebuah keju. Kecerdasan juga membutuhkan motivasi
ternyata.
Maka ketika
membaca buku ini, akan banyak dijumpai kesalahan penulisan, ejaan ataupun tanda
baca. Tak perlu heran, dengan begitu mungkin yang membaca buku setebal 456 halaman
ini akan tiba-tiba mendapati dirinya hanyut mengikuti perkembangan intelek dan emosi
Si Jenius Dungu. Mengharukan sekaligus menegangkan, sensasi seperti kita
mengendap ke kamar Charlie dan diam-diam membaca buku hariannya.
Tidak
bermaksud hiperbolis. Namun, ketika mengetahui bahwa Charlie dengan label
kedunguannya adalah seorang bocah dewasa yang ramah dan tulus. Tidak ada rasa
selain terenyuh. Betapa ia sangat ingin melihat orang lain bahagia. Ia bersedia
untuk dioperasi, dijadikan “tikus” percobaan berikutnya untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Kesalahan dalam percobaan bisa saja terjadi. Atau mungkin berhasil
walau sebentar dan menjadikannya lebih buruk dari sebelumnya. Ia tidak peduli.
Ia hanya ingin menjadi pandai dan berteman pada dunia yang bahkan selalu
melupakan fakta bahwa ia juga manusia, juga memiliki perasaan. Keluarga tak
menerimanya, ia dititipkan dan bekerja di sebuah toko roti sebagai tukang sapu.
Sekelilingnya selalu tertawa atas dirinya, atas kekonyolannya, atas
kedunguannya, dan ia ikut tertawa. Ia pikir mereka tertawa karena mereka
menyukainya. Kasihan. Entah kepada siapa untuk memihak, walau apabila percobaan
tersebut berhasil dan orang-orang lain seperti Charlie akan menjadi jenius,
manusia sungguh tidak berhak mengubah kondisi manusia lain. Karena semua hal di
dunia ini memiliki peralihannya sendiri. Serta Charlie yang tulus tidak peduli
apabila namanya akan tercantum dalam buku-buku. Tertulis dalam buku hariannya, “Aku
tidak terlalu peduli jadi trekenal. aku hanya ingin jadi pandai seperti oragn
lain jadi aku bisa punya banyak teman yang menyukaiku.”(hal.26)
Setiap kali
bangun tidur setelah operasi, Charlie selalu berharap, dia akan menjadi pandai.
Namun ia selalu kecewa karena ia tidak merasa bahwa dia pandai. Dia selalu
ingin seperti orang-orang yang berbicara tentang hal-hal penting. Tentang seni,
politik, serta Tuhan. Pada laporan kemajuan berikutnya, penulis menyajikan hal
yang berbeda pada pemikiran tokoh utamanya yang menganggap ketika orang-orang
berdebat tentang sejarah, politik, atau agama, justru semuanya terdengar begitu
kekanak-kanakan. “Aku tidak suka mendiskusikan gagasan-gagasan pada tingkat
dasar seperti itu lagi. Orang akan marah jika diperlihatkan bahwa mereka tidak
membicarakan masalah--mereka tidak tahu apa yang dibalik riak-riak permukaan
itu. Sama buruknya keadaan tersebut pada tingkat yang lebih tinggi.” Tulis
Charlie. Ilmu pengetahuan di semesta ini memang luas, dan otakmu terlalu kecil
untuk memuat sesuatu yang lebih besar lagi. Mungkin itu adalah postscript yang ingin ditulis Daniel
Keyes di ujung.
Seperti
sampulnya yang membuat mata membelalak. Pada pertengahan cerita, Keyes berhasil
membuat otot mata para pembacanya mengencang ketika konflik muncul pada diri
Charlie yang lambat laun menjadi jenius. Ia mulai mengenal rasa benci dan
amarah yang tak pernah muncul pada dirinya sebelum operasi.
Profesor
dibalik percobaan adalah Nemur dan Strauss. Charlie yang dulunya menganggap
mereka ‘manusia raksasa’, menganggap mereka hanyalah ilmuwan yang haus akan
jabatan. Yang sebenarnya takut untuk ditertawakan, takut dilabeli dungu. Pada
dasarnya memang manusia tidak suka untuk mengakui bahwa mereka tidak tahu. Nemur
dan Strauss buru-buru melakukan presentasi di depan para ilmuwan lain. Menerangkan
bahwa Charlie mengidap suatu tipe pheniylketonuria
yang mengakibatkan gen tidak sempurna sehingga menghasilkan suatu enzim yang
sifatnya bersaing, mereka menyebutnya enzim
maverick. Sungguh cerita yang menarik, seketika itu Charlie yang telah
membaca Jurnal Psikopatologi Hindu menyela
perkataan sang profesor. Ia menanyakan tentang percampuran enzim yang justru dapat
menghalangi jalur gerakan metabolis. Sang profesor mengerutkan dahi dan Charlie
merasa ngeri mendapati bahwa para profesor tidak memperhatikan keseluruhan
bidang di lapangannya sendiri. Pada bagian inilah banyak ditemui istilah serta
bentuk penuturan yang membuat pembaca berhenti sejenak untuk mencernanya.
Dengan tanpa narasi, penulis novel ini benar-benar membiarkan pembaca mengambil
peran Charlie.
Tingkat kecerdasan Charlie telah sampai pada titik dimana ia
dapat mengetik sekitar 75 kata per menit, menguasai 20 bahasa hingga hanya butuh
sedetik untuk menyerap satu halaman buku. Dalam tolok ukur semacam itu, berapa
banyak decakan untuk mengatakan bahwa seseorang adalah jenius? Charlie justru
menuliskan, “Yang aneh: semakin aku belajar, semakin aku mengerti bahwa diriku
tidak pernah tahu bahkan tidak pernah ada.”
Di sisi lain, tikus percobaan Algernon mengalami keanehan
pada tingkah lakunya. Tikus itu selalu membentur-benturkan tubuhnya pada
dinding labirin dan tidak termotivasi lagi terhadap keju seperti sebelumnya. Ia
mati dalam kondisi jaringan otak yang mengalami kerusakan parah. Disinilah
selanjutnya nasib Charlie dipertanyakan.
Sepakat dengan The
Times Literary Supplement, Keyes dengan cerdas menggunakan hipotesis yang
meyakinkan untuk mejelajahi renjana dan topik moral. Setidaknya dengan meratapi
kisah Charlie ini pembaca dapat merevitalisasi sendiri enzim dalam akal dan
nuraninya dalam membaca manusia, baik lain maupun dirinya sendiri. Kita ini
terlanjur hanyut dalam kata-kata yang penuh ameliorasi. Lalu kata “jenius”,
“cemerlang”, “cerdas”, “luar biasa” ataupun kata lain yang sekelas dengan itu
semua mulai berarti segalanya bagi semua orang. Bersyukur, buku ini bukan dari
kisah nyata. Betapa ngerinya jika uang, waktu, dan tenaga dihamburkan untuk
sebuah percobaan dan analisis terperinci terhadap hal-hal yang sudah jelas dan
tidak sepantasnya ditertawakan.
(Dina Tri Wijayanti)
Identitas Buku
Judul : Charlie Si Jenius Dungu
Penulis : Daniel Keyes
Penerjemah : Isna B. Koesalamwardi
Penerbit : Ufuk Publishing House
Cetakan : I November 2012
Tebal Buku : 456 halaman
Kalau pengen nangis sampai ke
ubun-ubun, baca deh! Such a highly recommended book! :v
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.