Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Kelas Menengah Gudang Garam

Gambar
  orang-merokok.jpg (1200×778) (wordpress.com) Beberapa bulan lagi rumahnya bakal didatangi banyak tamu. Akan ada pesta besar semalaman suntuk. Seisi desa berbondong-bondong turut mempersiapkan acara itu. Dan Bapak-Tua itu tak ingin mengecewakan siapapun. Meski pandemi masih eksis, itu bukan apa. Putra pertamanya tetap akan melangsungkan pernikahan di tahun depan. Bapak-Tua itu optimis hari akan semakin membaik. Kondisi segera pulih dan semua orang dapat berkumpul merayakan pengantin baru. Segala perintilan tradisi pernikahan kejawen harus masuk daftar “rampung”. Setidaknya sebulan sebelum hari-H tiba. Biaya tak menjadi hal. Prinsipnya, yang penting semua lancar dan banyak orang bersenang-senang. Bapak-Tua itu adalah tipikal pria loyal. Ia tak peduli apapun—termasuk uang—jika itu demi kepentingan lain yang menurutnya lebih esensial, “Kenapa tidak?” Suatu ketika, ia menyuruh putranya untuk membeli sepasang cincin pernikahan secara langsung. Ia bersedia merogoh uang berapa saja, asal put

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?

Gambar
  Media baru, lebih-lebih media sosial, kini memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menggiring agenda dari sebuah media. Topik-topik pembicaraan tidak benar-benar hadir dari media itu sendiri. Bahkan kita cenderung mengonsumsi suatu informasi yang datang dari lini masa media sosial kita. Saat ini sedikit dari kita yang mengakses informasi, khususnya berita, melalui pencarian langsung. Semua cuplikan berita sudah dengan runut digelar di depan mata kita melalui lini masa. Itu pun, apa yang muncul akan selalui sejalur dengan apa yang cenderung kita sukai dan ikuti. Kita seperti berada di bilik masing-masing. Asyik dengan pembahasan yang itu-itu terus. Dan kita akan selalu merasa dipuaskan, dicekoki dengan algoritma internet yang semakin hari semakin menguat berkat klik jempol kita. Fenomena itu senada dengan sebuah riset konsumsi media yang dilakukan pada Juni 2017 lalu. Dari sebanyak 300 mahasiswa Gen-Z di 30 kampus se-Jakarta ditemukan bahwa konsumsi berita cenderung melalui penggun

Pesan

  Kemarin sore dalam perjalan pulang dari rumah Simbok, sebutan untuk nenekku, aku naik motor dengan ibu ke arah barat. Saat itu juga, aku tak bisa lepas pandang dari bulatan cahaya oren. Matahari sore itu seperti tak berhenti melihatku. Seperti punya suara. Sedang aku mencoba mendengarnya melalui indera mata. Aku bahkan menyetir motor tanpa kesadaran penuh. Kami melaju mengikuti jalan menikung, berliku ke arah kiblat. Aku terpana. Setiap hari aku terpana melihat rupa-rupa matahari. Tak pernah kutemukan matahari seindah hari itu dengan hari lain. Pun dengan matahari hari ini, hari esok dan esoknya lagi. Setiap hari bagiku pesonanya tidaklah sama. Semua tampil dalam versi terbaik. Pada sebuah tanjakan di bawah pohon trembesi aku berhenti. Mengajak ibuku benar-benar memperhatikan pemandangan itu. Ibuku sekadar mengakui keindahannya, dan seolah merasa keindahan itu milik sang matahari sendirian. Tidak untuk siapapun yang memandangnya. Ia turun dari motor. Aku sedikit terhenyak dengan ti

Tidak Rela

  Mungkin aku terlalu banyak belajar tentang merelakan. Banyak hal lewat benar-benar jadi lampau begitu saja di hadapanku. Tak ada sisa kecuali lamunan hampa. Aku belajar, bahwa seuatu yang lewat begitu saja, artinya itu bukanlah milikku. Dan apapun yang bukan miliki, jauh dari genggamanku, diluar mampuku dan bukan hal yang patut kusesali. Dan hidup, katanya akan begitu tenang. Ketenangan yang didamba itu kini kurasakan hanya seperti uap saja. Semu dan tak benar-benar hidup. Aku rasa hdiup ini butuh ambisi dan satu rasa bergejolak. Dan ketenangan membuatku larut hingga hanyut. Selalu dalam suasana hampa dengan menafikkan gejolak-gejolak yang datang. Bahkan memaklumi kelalaian tanpa rasa gundah. Dunia seperti baik-baik saja dan setiap jiwa damai sentosa. Nyatanya hidup menggelar banyak problema yang tak cukup disikapi dengan gelagat diam, tanpa asa, tak paham duduk perkara. Seperti tak bernyawa! Ayo, berkelana! Inilah arena untuk kita benar-benar hidup dengan makna-makna. Tak akan p

Ujung Pertemuan

Pada sebuah telaga terbentang puncak gunung dan ujung laut Kalau kau bediri di bibir pantai, kepalamu harus mendongak hingga gunung berada di jangkauan Dari atasnya semua terhampar Begitulah cara pandang keduanya Puncak melihat laut setelah telaga Laut hanyalah pada gunung   Pada sebuah telaga seorang gadis bertemu dengan dirinya sendiri Bermimpi tentang perjalanan jauh ke atas gunung Dan tak ada yang pernah tahu sampai ia hanyut di air telaga yang juga menuju dirinya sendiri Merengkuh ia pada angin gunung, lalui lembah telaga lalu laut ialah ujung

Makam

  Adakah kamu selalu mendengar suara kematian di dalam dirimu? Suara itu begitu sumbing diantara bisingnya derap langkah masing-masing Setiap liang dilalui getaran yang mendesir getir Sewaktu-waktu, ada pemberhentian yang berlinang Tak ada yang tersisa lagi. Tak ada yang dibisa lagi, kecuali berhenti Tidakkah kamu menyadari, setiap pori-pori ialah liang lahat? Mereka hanya menanti untuk diajak kembali pada peristirahatan paling akhir di dalam dirimu

Tumbal Hidup Puan

  Perempuan itu selalu murung. Hatinya telah luka begitu dalam. Bumi yang dipijak sudah penuh duri. Rautnya masam. Ia disakiti oleh luka yang tak jujur. Ia melemah dan jadi limbung. Tak punya gairah lagi untuk memancarkan cahaya dalam dirinya. Rahimnya berkali-kali dilukai. Kemudian ia dikhianati oleh luka pada rahim lain. Sungguh, perempuan itu adalah manusia penuh kasih. Namun satu penghianatan menghancurkan semuanya. Cukup sudah ia dicabik-cabik, dikoyak-koyak. Lelaki memang hanya bisa menimbulkan luka. Perempuan itu berang dan kelewat kecewa. Bukan karena dirinya yang terluka. Ia cukup setia. Pun itu saja yang ia inginkan. Bukan balasan kasih yang ia mau. Sungguh. Ia hanya ingin, tak ada perempuan lain yang dilukai. Jika kau mencari pengorbanan paling gila oleh makhluk ciptaan Tuhan. Bukan lebah yang menyengat mangsanya dan rela mati dengan meninggalkan sebagian tubuhnya. Tapi perempuan. Perempuan berkorban melebihi lebah. Ia tak rela mati seperti lebah. Ia tak sepengecut itu.

Dah Lah

  Entah dari mana juntrungnya. Atau memang segala hal di dunia ini ada begitu saja dan kita tak perlu banyak bepikir soal awal akhir dan sebab akibat. Aku selalu seperti berada dalam sebuah pengembaraan yang panjang tanpa ujung. Beberapa hal kukenali dengan sangat akrab, beberapa begitu asing. Meski sebenarnya kita semua sendirian. Kita sendiriannya beramai-ramai! Hidupku banyak sekali kebetulannya. Dan aku masih sangat heran. Bagaimana bisa itu terjadi? Banyak hal terkait-kait. Sepertinya aku bergerak atas satu tuntunan. Meski ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja kupilih, ada saja sesuatu yang datang. Barangkali inderaku yang kebobolan, ataukah mati rasa? Jujur saja, aku enggan berlarut-larut dalam banyak permenungan. Lebih-lebih ketika aku sedang dalam keramaian. Terkadang kita dibuat untuk saling bercengkerama dan cukup hidup. Meski kita semua terbuat dari luka, kepedihan dan kelinglungan yang teramat sesak, berceracau gembira adalah penyelarasnya. Hidup akan terus ga

Pembelot

Sekarang kutanya padamu, mengapa titik mulainya ada pada malam menjelang pagi itu? Waktu itu kamu tak dapat tidur. Terus hidup dan melayang-layangkan bayangan ke segala tempat yang mungkin kau jangkau. Itu hanya kemungkinan. Dan kau tak bisa mematenkannya. Adalah kebiasaanmu membiarkan tirai jendela terbuka. Ibumu menggerutu. Membalut takut dengan keras hati. Anak-anaknya tak boleh jadi budak. Tindak-laku penindas tak akan diturunkan pada sanak-cucu. Biar. Biar satu yang menaggung. Semua harus perkasa. Pesannya selalu dengan dendam. Kutukan sudah terpancar ke setiap penjuru. Menguntit langkah-langkah dan deru nafas rahimnya. Dia mengutuk pada angin. Dan angin merasuki anak-anaknya pada setiap gerak. Anak-anaknya tumbuh bersama luka yang tak jujur. Semua-muanya bertirai. Dan kamu tak boleh, menyaksikan malam. Maka tiraimu hendaknya ditutup rapat ketika hari mulai gelap. Jika cacing tersenggol saja menggeliat. Melawan diam. Maka kamu pun kudu berontak. Apabila penghianat menancapkan luka

Gaslighting: Ketika Kita Menjadi Begitu Payah

Gambar
Beberapa waktu yang lalu aku membaca ulasan di Quora tentang bentuk pelecehan emosional atau penyiksaann mental. Dan aku tertarik untuk menguliknya lebih jauh. Pelecehan tersebut membuat seseorang secara emosional berada dalam kegamangan yang luar biasa. Pikiran kita bisa dimanipulasi sedemikian rupa oleh orang lain. Sehingga kita selalu dalam kondisi meragukan diri sendiri. Kita terus mempertanyakan, mencari kepayahan dalam diri kita. Bahkan kita tak yakin dengan ingatan, sudut pandang dan kewarasan diri kita sendiri. Semua ini dapat terjadi. Dan pemantiknya adalah perlakuan manusia lain. Dalam istilah psikologi, inilah yang disebut gaslighting. Aku percaya bahwa setiap orang memiliki kekuatan dari dalam dirinya. Namun kita kan tak hidup sendirian saja di dunia ini, kita berelasi dan saling memengaruhi. Itu hal fundamental, dan banyak dari kita tak menggubrisnya. Kita sering mengabaikan bahwa kita dengan yang lain saling terkoneksi. Sehingga apa yang kita atau mereka lakukan, saling

Awan Pink!

Semalam aku tidur sangat lelap dan berada dalam dunia mimpi sangat lama. Ada kisah menarik di sana. Seperti mimpi pada umumnya, jalan ceritanya aneh-aneh. Jadi aku terbangun dari tidur dan dalam kepalaku waktu itu, aku berniat akan pergi ke sebuah dikusi di pusat jaringan dan kerjasama Prancis. Aku akan pergi bersama seorang temanku. Di sana aku memilih pakaian yang pantas di sebuah lemari kuno. Kuingat lemari itu merupakan lemari yang kugunakan zaman dulu. Lemari tua satu pintu tanpa kaca. Anehnya, dalam lipatan pakaian yang kuambil terdapat masker dan pelindung wajah. Dalam dunia mimpi juga ada virus? Tapi masker itu bentuknya agak aneh. Bagian penutup mulutnya berbentuk batok kalapa. Kemudian batok itu terkait dengan tali untuk telinga dan jidat. Jadi yang tertutupi ketika aku mengenakan masker itu adalah seluruh wajahku selain mata. Lucu sekali. Lucunya lagi di sana aku kebingungan memilih antara dua masker yang sama. Lalu saat aku akan keluar rumah, aku berpamitan dengan Bap

Mengubah Realita, Mencari Getaran yang Senada

Aku menebak-nebak alasan Tuhan menciptakan dua telinga kita yang tak bisa terkatup seperti mulut dan mata. Barangkali Tuhan menempelkan telinga yang berdekatan dengan batok kepala ini agar kita tak berhenti terpapar suara-suara. Sebab di dunia yang ramai ini kita adalah pendengar abadi. Bahkan ketika terlelap, dunia seisinya tetap berbicara pada kita. Setiap saat. Semua entitas selalu dalam pergerakan dan menimbulkan gelombang-gelombang suara yang konstan. Pelan atau keras, dekat maupun jauh. Darah yang mengalir, pita suara yang bergetar, derap langkah, pintu yang memuai, kepakan sayap, angin yang berhembus mengenai daun, awan yang berjalan, gunung yang bergeser dan seterus-seterusnya. Kini kuyakini satu hal, bahwa kita sejatinya ialah makhluk pendengar. Senada dengan Einstein menuturkan, “Everything in life is vibration.” Semua dalam kehidupan ini merupakan vibrasi. Begitu pun emosi dan pikiran kita.   Untuk itulah vibrasi tersebut—termasuk kata-kata kita—adalah sesuatu yang mem

Menengok Batas dalam Diri yang Melindungi

Begini. Selama ini yang kukenal, aku punya berlapis-lapis ruang pembatas tebal yang mengelilingi diriku. Dan kupikir tak hanya aku. Semua manusia yang hidup dan banyak bicara ini, pun memiliki batasan itu. Setidak-tidaknya. Tidak semua orang dapat menembusnya. Tak semua orang pantas, kau semua harus tahu itu.  Seseorang merasa mengenalku, bahwa tabiatku begini atau begitu. Tabiat itu bukan berarti tepat seperti bagaimana diriku sendiri mengenal diriku. Bisa sama sekali meleset. Ini sangat wajar. Jangan mengerutkan dahi. Setiap dari kita—manusia yang sulit membuka telinga ini—memiliki warna dan lakon hidup masing-masing. Kita bertumbuh dalam petak tanah kita sendiri. Mana mungkin semua sama rata?!  Jika kau inginkan yang sama, tak ada yang bisa kau lakukan selain berebut. Potensi konfrontasi. Dan kau tahu sendiri, kita ini sebagai manusia tak pernah mau ada konflik. Hidup terus dan teruslah dalam kenyamanan, bukan? Jadi ketika seseorang mengenalku, menginterpretasiku, aku mafhum. Begitu

Menemui Makna Dewasa

Hingga kini aku belum juga paham ukuran seseorang dianggap matang. Kurasa tak ada patokan yang pasti. Aku banyak menyaksikan manusia tua yang bersikap kekanakan. Atau seorang anak yang justru mengerti sebuah makna kehidupan yang sepatutnya belum ia pahami. Setidaknya dalam hal ini, ukuran dewasa diukur dari bagaimana seseorang bertindak laku. Pada yang lain. Pada diri sendiri tak mungkin diukur. Memanglah kita hidup di dunia yang selalu keluar. Di luar diri. Di dalam diri ini dianggap bukan sesuatu yang pasti. Kita terlanjur menggubris segalanya yang tampak. Materi adalah senyata-nyatanya kenyataan. Sepasti-pastinya kepastian. Sulit juga memang untuk mendobrak pondasi-pondasi yang telah disusun seumur pikir. Aku hanya berharap pada generasi berikutnya, setidak-tidaknya yang suatu hari nanti sejak kecil dekat dan terasuh olehku serta orang-orang dekatku. Sehingga yang ada bukanlah dobrakan, bukan mencabut akar satu pohon yang telah tumbuh. Melainkan membangun pondasi itu, menanam t

La Même Histoire, Life is A Dance

Versi bahasa Prancis: Quel est donc Ce lien entre nous Cette chose indéfinissable? Où vont ces destins qui se nouent Pour nous rendre inséparables? On avance Au fil du temps Au gré du vent, ainsi... On vit au jour le jour Nos envies nos amours On s'en va sans savoir On est toujours Dans la même histoire Quel est donc Ce qui nous sépare Qui par hasard nous réunit? Pourquoi tant d'allers, de départs Dans cette ronde infinie? On avance Au fil du temps Au gré du vent, ainsi... On vit au jour le jour Nos envies, nos amours On s'en va sans savoir On est toujours Dans la même histoire On vit au jour le jour Nos envies, nos amours On s'en va sans savoir On est toujours Dans la même histoire La même histoire... Versi Bahasa Inggris: Life's a dance, we all have to do What does the music require?  People are moving together  Close as the flames in a fire  Feel the beat, music and rhyme  While there is time We all go round and round  Partners are lost an

Lost and Found

Segala hal tak terus menetap, mereka datang dan pergi, hilang dan muncul. Termasuk teman. Termasuk aku juga pada teman-temanku. Kita semua saling menyambangi hanya pada momen-momen tertentu, sisanya kita kembali sendiri. Seutuhnya, selamanya. Di balik seseorang yang kita kenali, ada sosok lain, ada ruang lain dalam diri yang sama sekali tak bisa kita jamah. Begitulah kita ini manusia, seperti samudera yang sangat dalam. Kita hanya mampu menyelam di permukaan. Tak cukup dalam sekali helaan nafas yang kita miliki untuk menyelam ke kedalaman manusia lain, juga diri sendiri. Begitulah kita satu sama lain. Aku pada teman-temanku, juga mereka padaku. Namun dalam hidup, kan kita punya momen untuk saling menyambangi? Saling mengenali. Menyempatkan diri untuk menyelami lautan, meski hanya sampai permukaan. Aku hanya ingin kita saling memahami. Bahwa kita bertemu untuk saling menyapa, bicara, dan bercerita. Telah terpatri dalam diriku, setiap dari kita berada dalam pijakannya masing-masing. Dan

Duduk Bersila Menghadap Timur

Aku menghadap timur Namun ini bukan waktunya mentari muncul Malam-malam dan hujan-hujan Tak ada rembulan Ia berteduh di bawah rumah-rumah yang terbalik Jamur di hutan yang bergelantungan, pohon yang jungkir balik Malam-malam dan hujan-hujan Aku bersila menghadap timur Ada yang berkecamuk di segala penjuru Semuanya basah, lalu gundah Barangkali hujan turun membawa susah dan gelisah Sejuk ini terlalu dingin gemericik terlalu berisik semburat-semburat saja semuanya Masih kuingat suasana siang Namun saat aku tak sedang menghadap timur duduk bersila Saat itu juga langit nampak terang menawan Saat menghadap timur, aku tak tertegun Sebab ketika muram-muram, ketika malam-malam dan hujan-hujan, langit turun terlalu jatuh Bukan barangkali sesuatu yang teramat luka serta sia-sia jatuh terlalu turun menjadi basah dan gundah menumbuhkan jamur dan pohon yang bergelantung dan jungkir balik Semuanya basah Semuanya gundah Menawan Menyeruak k