Awan Pink!

Semalam aku tidur sangat lelap dan berada dalam dunia mimpi sangat lama. Ada kisah menarik di sana. Seperti mimpi pada umumnya, jalan ceritanya aneh-aneh.

Jadi aku terbangun dari tidur dan dalam kepalaku waktu itu, aku berniat akan pergi ke sebuah dikusi di pusat jaringan dan kerjasama Prancis. Aku akan pergi bersama seorang temanku. Di sana aku memilih pakaian yang pantas di sebuah lemari kuno. Kuingat lemari itu merupakan lemari yang kugunakan zaman dulu. Lemari tua satu pintu tanpa kaca. Anehnya, dalam lipatan pakaian yang kuambil terdapat masker dan pelindung wajah. Dalam dunia mimpi juga ada virus?

Tapi masker itu bentuknya agak aneh. Bagian penutup mulutnya berbentuk batok kalapa. Kemudian batok itu terkait dengan tali untuk telinga dan jidat. Jadi yang tertutupi ketika aku mengenakan masker itu adalah seluruh wajahku selain mata. Lucu sekali. Lucunya lagi di sana aku kebingungan memilih antara dua masker yang sama.

Lalu saat aku akan keluar rumah, aku berpamitan dengan Bapak. Ia tak mengizinkanku pergi. Sedangkan aku bersikukuh ingin keluar. Aku tak ingat persis bagaimana kata-kata Bapak saat melarangku. Tapi aku ingat aku menjelaskan padanya sambil beranjak dari pintu rumah. Bapak duduk di kursi dan banyak bicara. Aku berkata bahwa selama pandemi ini aku baru pergi sebanyak dua kali. Satu kemarin, dua hari ini, Pak. Aku berkukuh. Dua. Dua! Tanganku mengacungkan dua jari ke arahnya. Kemudian, entah kenapa, Bapak menggelepar memegang dadanya di dekat Ibuku. Kemudian pingsan.

Aku berlari ke belakang rumah melewati bunga-bunga yang kutanam dalam polybag. Kemudian aku memanjat pagar atau sesuatu yang tinggi. Aku mengintip dari sana. Bapak dan orang-orang terlihat mencariku dan penuh emosi. Aneh. Tadi kan Bapak pingsan. Aku juga melihat temanku itu duduk diam menungguku. Entah bagaimana ceritanya, ia berjalan ke arahku sambil berpura-pura membawa semacam troli. Kami melarikan diri diam-diam. Saat aku berjalan, aku mendapati bibiku mencegat dan entah bagaimana aku bisa lolos dengan segala kecurigaan yang ada. Temanku itu bersembunyi di sebuah rumah dekat bibi mencegatku. Di tempatku berdiri suasana seperti di kebun kakao.

Kemudian dengan gerakan yang tak bisa kutebak, temanku itu beranjak. Tepatnya berlari. Aku ikut berlari. Bukan mengejar temanku itu. Tapi kebun kakao tadi berubah menjadi bilik kamar. Di balik bilik kamar itu muncul segerombolan orang aneh. Kusebut mereka zombie. Tapi aku tak tahu pasti itu zombie atau apa, yang jelas mereka rombongan manusia urakan dengan wajah yang siap menerkam siapa saja yang dilihatnya. Termasuk aku. Aku berlari. Lari. Lari.

Terus lari sampai lupa aku lari dari apa. Sumpah, aku di dalam mimpi itu juga heran sendiri. Ini mimpi apaan, sih? Tetapi aku tak ingin cepat bangun. Aku merasa ada sesuatu yang indah di ujung sana. Dan kau tahu, kini aku dalam posisi tiarap. Mirip seperti tentara yang sedang berperang. Tetapi aku tidak sedang berperang. Aku sedang dalam perjalanan menuju atau menghadiri sesuatu. Sudah bukan ke tempat diskusi.

Aku merangkak dalam pematang kecil seukuran pinggang. Pinggir kiriku ada sungai yang tenang. Kemudian kuketahui lagi bahwa aku menelusuri lorong. Mirip lubang kelinci. Tapi semuanya tembus pandang karena lorong itu terbuat dari air yang mengalir mengenai seluruh tubuhku. Tidak, aku tidak sedang menjadi ikan yang berenang. Aku merangkak. Tiarap. Saat itu juga aku melihat seseorang di depanku sedang dalam perjalanan yang sama. Anehnya aku melihatnya tanpa busana. Tapi di sana aku tidak merasa aneh.

Hampir semuanya berlatar di desa tempatku tinggal. Kebun kakao, pematang sawah  dan sungai itu sama sekali tak asing. Selanjutnya aku sedikit lupa alurnya. Singkat cerita aku sudah berdiri menghadap pemandangan sesawahan dan hutan. Di sana aku sangat terkagum-kagum dan ada sesuatu yang sejuk di dalam hatiku. Juga di kepalaku rasanya ringan. Aku tidak sendirian. Aku bersama seseorang. Tak tahu aku siapa dia. Tapi kita banyak berinteraksi dan membincangkan satu urusan. Aku lupa urusan apa. Momen itu begitu realistis hingga sesuatu yang ganjil datang. Seperti di film fiksi. Tapi memang ini kan mimpi. Aku melihat awan-awan berwarna merah muda berterbangan di atasku. Mendekat, menjauh. Seperti menggodaku. Gumpalan awan itu sejurus kemudian malah menyerupai karet elastis. Kemudian di balik bukit—aku tak tahu sejak kapan bukit itu muncul—ada dua orang yang terbang menaiki semacam karpet. Hampir mirip seperti di film Aladdin. Tapi karpet itu berlapis, bertumpuk seperti rak-rak buku di perpustakaan. Satu dari dua orang itu yang kutahu adalah bocah laki-laki yang memegang awan merah muda. Ia memainkannya seperti permainan karet. Kau tahu permainan yoyo? Seperti itulah awan itu di mainkan tepat di atas pandanganku. Lalu aku lupa kelanjutannya.

Aku terbangun. Kemudian dengan impuls yang tak kupahami, aku membuka tirai jendela kamar dan warna latar belakang dalam pandanganku adalah jingga. Sepagi itu, angin bertiup kencang sekali mengenai wajahku hingga aku tak jadi membuka jendela kacanya. Sepertinya sudah memasuki musim pancaroba. Sejurus kemudian, aku menatap ke atas langit. Ada semburat awan berwarna merah muda. Aku berbalik menuju dapur dan mendapati diriku dalam kaca kamarku dengan ingatan yang sangat kuat akan sesuatu...

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?