Seri Catatan: On Beauty and Terror [Kupu-Kupu]
[1] Kupu-Kupu
Bulan Oktober menuju November
lalu, saat kemarau tinggal sisa-sisa, aku banyak menempuh perjalanan panjang.
Sepanjang bulan itu, aku bisa pulang saban minggu. Dan sepanjang bulan itulah,
perjalanan pulangku dipenuhi kawanan kupu-kupu kuning.
Ribuan kupu-kupu kuning itu terbang
bergerombol, sampai kadang-kadang mereka menempel, menabrak mengenai helemku. Rasanya
gidik, ngeri, sekaligus takjub. Aku punya ketakutan yang aneh pada kupu-kupu.
Mungkin sudah sampai tingkat fobia, karena rasa takut itu tidak rasional dan kurasa
berlebihan. Entah apa sebab dan juntrungnya, yang jelas, seperti ada trauma
tersendiri ketika melihat serangga terbang yang dinilai punya sayap menawan
oleh sebagian besar orang itu.
Saat belia, sekitar kelas satu
atau dua SD, aku berjingkatan main ke pekarangan rumah. Seperti yang biasa
kulakukan: keliling kebon, menjumputi bebijian, daun, bunga dan benda-benda
unik di tanah. Kami punya satu pohon mlinjo besar di barat rumah. Pohon itu
selalu jadi temanku, persinggahanku saat main ‘pasar-pasaran’. Walau ketika
malam, Mamak mengubahnya jadi tempat paling wingit dengan cerita-cerita hantu
untuk menakuti anak-anaknya yang bebal.
Aku tipikal bocah yang bicara
seperlunya, menangis diam-diam, dan mengamuk hanya ketika segala yang jadi
milikku diambil. Teriak histeris tak pernah kulakukan. Seperti ada sesuatu dari
dalam diriku yang kedap dan meredam apa-apa yang hendak keluar kencang dari
tenggorokanku. Sampai sekarang. Tapi di bawah pohon mlinjo itulah, teriakan
pertamaku keluar. Masih sangat ingat bagaimana aku menjerit spontan ketika
melihat satu ekor kupu-kupu berukuran besar tergelepar di tanah. (Aku bahkan
merinding ketika mengingat ini). Aku ketakutan sekali dengan kupu-kupu super
besar itu, yang kata Mamak, itu namanya kupu gajah. Hewan itu termasuk jenis
ngengat yang berasal dari ulat jedung, jenis ulat besar-gilik-memanjang yang
biasa menghuni pohon mahoni barat rumah. Bentuknya seram dan sayapnya seperti
punya banyak mata yang melotot. Ada kengerian tersendiri yang tak bisa
kujelaskan sampai sekarang.
Yang kuingat, melihat hewan itu
untuk pertama kali membuatku berteriak dan badanku seperti lemas membeku di
tempat. Tidak lari atau menangis. Setelahnya aku berjalan pelan ke dalam rumah,
sambil menjawab pertanyaan orang-orang tentang alasan aku memekik keras. Aku
tak menyangka bisa tenang secepat itu, meski dada terasa copot dan keringat
dingin. Sensasi aneh dalam tubuh masih terasa sampai sekarang jika aku menemui
kupu-kupu. Bahkan kalau hanya gambar. Dan ini hampir tak pernah kuceritakan
pada siapa-siapa. Aku bisa saja nampak kalem ketika ada kupu di tengah orang banyak.
Daripada senewen sendirian, aku memilih diam-diam menyingkir. Tak pernah ada
yang tahu bahwa aku ‘fobia’ kupu-kupu, setidaknya sampai aku cukup bisa percaya
dengan orang itu dan merasa aman untuk bercerita.
Pernah suatu ketika di sekolah,
aku sontak ketakutan ketika ada kupu-kupu terbang menghampiriku. Dan seperti
dugaanku, teman yang jail lalu menggodaku dengan kupu-kupu itu. Ia mengejar
sambil membawa serangga itu padaku. Aku hanya lari dan menangis. Begitulah
sejak itu aku percaya, ketakutanku pada apapun tidak untuk dibagi. Tidak untuk
diketahui siapa-siapa. Karena ia bisa menjadi titik lemah yang ‘dimainkan’
orang lain.
Melewati jalanan sepanjang
Jogja-Wonogiri yang dipenuhi kawanan kupu-kupu pun, rasanya seperti memaksaku
menikmati keindahan dan teror sekaligus. Siapapun tentu tak akan memungkiri,
jalan alternatif yang melintasi Klaten dan pelosok Wonogiri mampu menghibur
batin dari gundah gelisah. Lanskap gunung, hutan, dan sawah terhampar menyilap
mata. Lalu bayangkan dengan pemandangan itu, kawanan kupu-kupu, tanpa jeda
menyebrang jalan seperti ribuan peri kecil, terbang searah. Dalam momen itu,
aku seperti dalam mimpi ke Pixie Hollow, rumahnya Tinker Bell.
Fenomena
kupu-kupu kuning ini ternyata memang terjadi di sejumlah wilayah di Jawa bagian
selatan. Tahun ini mungkin jadi populasi yang paling besar. Aku masih
penasaran, mengapa hampir semua kupu yang kulihat, mereka terbang ke arah timur?
Mau dari sisi mana aku melintasi jalan, arah terbang mereka selalu menuju matahari
terbit. Ini juga kusaksikan di jalanan sepanjang Kulonprogo, ketika November
lalu aku pergi menuju Kebumen bersama beberapa kawan. Katanya, imigrasi
kupu-kupu ini menandai peralihan musim dari kemarau ke hujan, mereka terbang
menuju habitat dengan bunga bernektar.
Di desaku, ada satu hutan
belantara yang menyimpan banyak mitos. Hutan kecil itu rimbun dan dipenuhi
pohon-pohon resan di tengah-tengah pedesaan. Namanya Alas Mbogo. Di sana, ada
dua punden, yang merupakan milik Mbah Mbogo dan Klenting Mungil. Warga desa
percaya, hutan itu adalah Kerajaan Ghaib, dan selain diyakini sebagai cikal
bakal, juga diyakini sebagai sumber pangan. Mbogo, asalnya dari kata ‘boga’
yang berarti pangan. Saban waktu panen hasil tanam, penduduk desa mesti
mengirim sesaji atau melakukan ritual di sana. Jika tidak, sesuai apa yang
diyakini warga, hutan akan ‘menagih’ haknya. Aku tak terlalu paham bagaimana detail
kisahnya. Cerita-cerita tak pernah tertulis, hanya getok tular, dikisahkan dari
mulut ke mulut—diingat dan dilupakan dari generasi ke generasi.
Melihat kawanan kupu kuning, mengingatkanku
pada cerita Alas Mbogo. Konon, sosok Klenting Mungil bisa mewujud jadi
kupu-kupu kecil. Di bayanganku, koloni kupu-kupu itu terbang ke timur menuju “kerajaan”
mereka di hutan-hutan seperti Alas Mbogo. Atau, jangan-jangan, ada satu kabar
besar yang menyebabkan mereka bermigrasi secara serentak? Mereka nampak seperti
pasukan pembawa kabar, yang sayangnya tak seorang pun tahu.
Cerita-cerita magis hidup amat
dekat saat aku tinggal di rumah. Tanpa kusadari, acapkali ketika melihat satu
fenomena yang tak bisa kujawab secara logis, aku selalu punya asosiasi dengan
banyak mitos yang pernah kudengar semasa kecil. Terkadang aku merasa kita
begitu payah dibanding orang-orang tua jaman dahulu yang pandai membaca alam,
membaca pola-pola, membaca tanda dan pesan kehidupan. Betapa basahnya hati
mereka yang menghabiskan waktunya untuk mencari makna dan arti-arti, menyelami
ilmu-pengetahuan, dan tak mengambil jarak terlampau jauh pada intuisinya. Biarpun
beberapa menyebutnya mitos, fiksi, pseudo-sains, klenik, dan seterusnya. Rasanya
selalu terenyuh dengan pusparagam cara manusia mencintai kehidupannya.
Belum lama ini aku membaca
artikel liputan di sebuah media bertajuk ‘butterfly
effect’, tentang ancaman kepunahan satu spesies kupu-kupu akibat
deforestasi, krisis iklim, juga perdagangan illegal. Meski membacanya sambil menutup
mata pada bagian gambar kupu ditampilkan, tulisan itu cukup membuatku merenungi
ulang tentang sisi kerapuhan kupu-kupu, bukan sebagai ngengat
menakutkan, tapi sebagai hewan kecil yang bisa diapakan saja oleh manusia. Diburu,
diawetkan, dipasok ke kolektor dari berbagai negara dengan harga fantastis. Seandainya
semua orang punya ketakutan sepertiku, atau percaya mitos-mitos, siapa juga yang
mau membunuh dan menaruh kupu di kotak kaca?
Jumat malam, 21 Februari lalu,
tepat di hari sebelum Bapak meninggal, seekor kupu bersayap coklat gelap masuk
ke kontrakan. Ia terbang mengitari lampu di ruang tengah. Aku dan Fidya yang saat itu tengah mengobrol tiba-tiba terhenti ketika aku reflek
berdiri ketakutan dan segera masuk kamar. Fidya sudah paham bagaimana aku takut
pada hewan satu itu, ia pun berusaha mengusirnya dengan
sapu. Namun tidak berhasil. Entah sampai pagi, sepertinya serangga itu masih
menempel di atas langit-langit ruang tengah kami.
Mitosnya, kupu-kupu yang masuk
rumah adalah pertanda akan datangnya tamu. Baik buruknya, tergantung warna sayap
si kupu. Konon juga, kupu dikaitkan dengan dunia roh, sebagai pembawa pesan,
atau jelmaan satu jiwa secara spiritual.
Hari Sabtu, tepat ketika aku mendengar kabar lelayu Bapak sudah tak ada, di Jalan Solo dekat Bandara Adisucipto, aku menjerit keras
dan histeris. Jiwaku seperti terseret mundur ke bawah pohon mlinjo di momen
ketika aku histeris ketakutan melihat kupu gajah, mendapati sosok beliaku berdiri
kaku dan berteriak kencang di atas tenggorokan. Hari itu, aku menemui kembali diriku
yang rapuh, ciut, dilingkupi rasa takut dan kalut.
Dan hari-hari di mana aku berduka, kesadaranku melayang-layang. Dunia dalam pandanganku seperti kabut, dan semua suara terdengar hanya sayup-sayup. Segalanya berjalan lamat-lamat meski hari tidak berhenti. Di hari ketiga kematian Bapak, aku baru menyadari keberadaan seekor kupu bersayap coklat di ruang tengah, persis seperti yang datang di kontrakan. Kupu itu tidak pergi sampai tujuh-harian Bapak. Kadang ia hinggap di lampu langit-langit, kadang di pigura, atau menempel di jendela. Di tengah silih berdatangannya orang membacakan Yasin dan Tahlil untuk Bapak, aku hanya duduk melamun dan memandangi kupu itu. Tak ada lagi rasa takut berlebihan seperti biasa kurasakan. Aku mengamati kadang ia terbang kecil. Dan ketika para tamu pamit, kupu itu mengepak ke teras, hinggap di pundak para tamu. Terlihat seperti Bapak, yang memakai batik coklat favoritnya, menyalami orang-orang yang membacakannya doa di sepanjang malam itu.
- to be continued.
[2] Gigi
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.