Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Ketidaksepakatan sebagai Kunci Pluralisme

Ketidaksepakatan sebagai Kunci Pluralisme Perbedaan adalah kodrat bagi manusia. Tak ada satu pun elemen di dunia ini yang tercipta sama. Bayi kembar identik sekalipun, memiliki banyak perbedaan. Baik itu dari letak tahi lalat hingga watak pribadinya. Latar belakang yang berbeda itu pula yang menyebabkan manusia berbeda-beda dalam berpikir dan mengambil keputusan.   Seorang pembawa acara wawancara Candid Insight, bernama Sahil Badruddin dalam sebuah pidatonya di TEDx Talks 30 Januari lalu menyatakan bahwa perbedaan, khususnya perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah. Ia mengungkapkan, k e tidaksepakatan adalah bagian yang tak terhindarkan dari kondisi manusia, namun sering kali disertai dengan konflik. Tanpa perbedaan dan ketidaksepakatan, tak akan mungkin muncul keragaman intelektual atau pluralisme. Pluralisme seringkali dihadapkan dengan konteks sosial yang didefinisikan secara umum sebagai bentuk keberagaman masyarakat, baik dari segi adat istiadat, suku ban

Harapan untuk Korsel Waktu Berikutnya

Gambar
Yesterday a child came out to wonder Caught a dragonfly inside a jar Fearful when the sky was full of thunder And tearful at the falling of a star And the seasons they go round and round And the painted ponies go up and down We're captive on the carousel of time We can't return we can only look behind from where we came And go round and round and round In the circle game Then the child moved ten times round the seasons Skated over ten clear frozen streams Words like, when you're older, must appease him And promises of someday make his dreams And the seasons they go round and round And the painted ponies go up and down We're captive on the carousel of time We can't return we can only look behind From where we came And go round and round and round In the circle game Sixteen springs and sixteen summers gone now Cartwheels turn to car wheels through the town And they tell him, Take your time, it won't be long now Till you drag your feet to slow the circles down And

A Better Place to Me If...

Menjadikan dunia sebagai tempat yang indah untuk ditinggali… Terdengar begitu utopis, but I think it’s a possible thing to achieve. Of course, dengan beberapa kondisi yang harus dipenuhi. Setidaknya untuk dunia kita sendiri, lingkungan terdekat kita. What is that? Firstly, aku mau berbagi satu hal yang menjadi dasar dari semuanya, satu hal yang kuyakini semua orang menginginkannya dalam hidup: kebebasan. Yes, it is a freedom. Sejak dulu aku yakin bahwa kita terlahir bebas. Setiap manusia adalah jiwa yang bebas dan berdaulat atas dirinya sendiri. Aku tidak tahu darimana aku mulai mematri prinsip itu kedalam aliran kehidupanku. But, you know, growing up, aku dibesarkan dengan orangtua yang tidak banyak peduli atas apa yang aku lakukan. Maksudnya, banyak hal yang kulakukan, it’s mostly depends on me. Jadi mungkin hal itu yang membuatku sejak dulu selalu melibatkan diri sendiri terlebih dahulu dalam mengambil keputusan. Setelahnya ada kondisi maupun faktor lain yang melatarbelaka

Terkadang Aku

Terkadang, aku selalu merasa bahwa aku ini begitu idealis. Terhadap sesuatu, aku selalu mencoba untuk tidak keluar dari pandangan yang telah aku pegang sebelumnya. Misal sejak dulu aku tidak menyukai hal-hal yang sama. Aku selalu percaya bahwa segala hal itu harus berbeda dan memiliki jalannya sendiri. Ketika ada orang yang menekuni bidang sastra, kamu tidak boleh juga, dalam artian sekedar ikut-ikutan, tepat persis seperti apa yang ditekuni orang itu. Toh, kalaupun kamu benar-benar ingin menekuninya, itu harus datang dari dalam dirimu sendiri. Semacam itu, aku tidak suka diikuti, apalagi mengikuti. Aku sangat menolak keras kata imitasi. Termasuk kepalsuan. Aku sangat mencintai segala hal yang otentik. Dan itu terjadi disetiap hal dalam hidupku. Dalam banyak hal aku sering dianggap, pun merasa sebagai pribadi yang pendiam, tidak ramah hingga kaku. Kupikir aku tidak kaku dan serta merta menolak segalanya. Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan, yang menurut pandanganku pantas

Kepada Anak dalam Diriku yang Terluka

“Anak dalam diriku yang terluka, aku disini siap mendengarkanmu Ceritakan seluruh deritamu, aku disini sungguh-sungguh mendengarkanmu Kau adalah anak dalam diriku, aku adalah kau Kini kita sudah dewasa, tidak perlu takut lagi, kita aman, bisa melindungi diri sendiri Ayo, ikut ke masa kini Jangan biarkan masa lalumu memenjarakan kita Pegang tanganku, mari jalan bersama, menikmati setiap langkah kita di masa kini…” ( Thich Nhat Hanh ) Anak dalam diriku yang terluka Aku berlari sekarang, meraih dan mendekapmu dengan penuh kesadaranku Rasakan aku yang menghampirimu dengan rasa hangat Leburlah luka-luka yang dingin dan membeku di masa lalu Aku mengingatmu dan memahamimu Aku memahami bagaimana luka-luka itu hadir ketika tak seorangpun mengajakmu bicara Ketika tak sekedipan mata pun menatapmu Tak ada sekejap waktu pun mendengarmu Tak ada yang mengajarimu menertawakan segala hal yang sekitarmu katakan Tak ada yang mengajarimu menangisi segala hal yan

Menyembuhkan Anak dalam Diri

Tangisan yang kita dengar dari dalam lubuk hati, kata Thich Nhat Hanh, berasal dari anak yang terluka dari dalam diri. Menyembuhkan luka dari anak dalam diri akan mengubah emosi negatif.   Setiap diri kita, terdapat seorang anak, anak kecil yang menderita. Kita semua pernah mengalami masa-masa sulit sebagai anak-anak dan banyak dari kita yang mengalami trauma. Untuk berlindung dan bertahan dari penderitaan di masa depan, seringkali kita berupaya melupakan masa-masa penuh luka itu. Setiap kali kita berhubungan dengan pengalaman menyakitkan, kita tidak yakin bisa menghadapinya, dan kita menjejali perasaan dan ingatan semacam itu jauh ke dalam alam bawah sadar. Hal itu mungkin karena kita tidak berani untuk menghadapi anak dalam diri tersebut selama bertahun-tahun. Namun, bukan berarti anak dalam diri itu tidak ada hanya karena kita telah mengesampingkannya. Anak yang terluka itu selalu ada, berupaya mendapat perhatian kita. Anak itu mengatakan, “Aku disini. Aku disini. Kamu tak d

Je Suis Grise

Je suis Grise J'ai vu comment ses yeux étaient fixés sur la chambre du cœur mort Le faisceau de lumière était gris Il n'y a pas de reflet même si ses yeux sont un miroir Il marchait lentement avec ses mains rampant sur le mur Les murs sont faits de mots parfois bruyants et coulants Marcher sur un déversement une tasse de larmes Le point culminant de la lumière grise l'a amené à marcher pour me voir Puis juste devant mes yeux, je ne vois que du gris /// Aku-Abu Aku melihat bagaimana matanya menatap lekat-lekat pada ruangan hati yang mati lampu Sorot cahaya itu berwana abu-abu Tidak ada pantulan meski matanya adalah cermin Ia berjalan pelan dengan tangan yang merambat pada tembok Tembok-tembok terbuat dari kata-kata yang kadang bising dan runyam Diinjaknya bekas tumpahan secangkir air matanya Sorot cahaya abu-abu menuntunnya berjalan menemuiku Lalu tepat di depan mata aku hanya melihat aku yang berwarna abu-abu

Bukan Sepotong Senja untuk Pacarku

Setidaknya aku ingin seperti Sukab yang memberi sepotong senja untuk Alina Andai kedua mataku dapat memotret apapun yang kujumpa Setiap sepersekian detak akan kucetak apapun yang bermakna Berikut apa yang aku pikirkan tentangnya Akan ada ribuan potongan berikut judul dan keterangannya dan bukan hanya senja Seperti potret kabut sunub yang musnah sebelum berjumpa dengan tanah Udara yang berlari dikejar udara dari mulut manusia Atau apapun itu misalnya Dan bersamanya akan kau beri potongan-potongan itu makna Setidaknya kau tak akan seperti Alina Kau akan lengkap dan tak akan berpikir bahwa dunia ini fana Kau akan memaknaiku dengan selengkap-lengkapnya Selayaknya aku memberi makna pada apapun yang kujumpa Kamu tak akan membaca kata-kata lain selain yang kutulis pada potongan berikut judul dan keterangannya Tapi kau dan aku tahu bahwa andai selalu bertemu namun di dunia yang kata Alina fana Mataku tak dapat memotret dan tentu saja kau bukan Alina Maka berseraklah ka

Sebelum Tahu Rasa

Kemarin lusa aku membawa seonggok daging di depanmu seperti kapas Besok lusa aku membawa seonggok daging lagi dengan tulang-tulang keras Aku datang pada ruang dan waktu yang sama tapi kau tak bernapak tilas Kemarin lusanya besok lusa aku membawa seonggok daging lagi Di depanmu tanpa tulang Di tanpamu bertulang-tulang Aku datang pada ruang dan waktu yang sama dengan daging yang sama tulang-tulang kaku dan keras pula Kau yang tak ada