Ketidaksepakatan sebagai Kunci Pluralisme
Ketidaksepakatan
sebagai Kunci Pluralisme
Perbedaan
adalah kodrat bagi manusia. Tak ada satu pun elemen di dunia ini yang tercipta
sama. Bayi kembar identik sekalipun, memiliki banyak perbedaan. Baik itu dari
letak tahi lalat hingga watak pribadinya. Latar belakang yang berbeda itu pula
yang menyebabkan manusia berbeda-beda dalam berpikir dan mengambil
keputusan.
Seorang
pembawa acara wawancara Candid Insight, bernama Sahil Badruddin dalam sebuah
pidatonya di TEDx Talks 30 Januari lalu menyatakan bahwa perbedaan, khususnya
perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah. Ia mengungkapkan, ketidaksepakatan adalah bagian yang
tak terhindarkan dari kondisi manusia, namun sering kali disertai dengan
konflik. Tanpa perbedaan dan ketidaksepakatan, tak akan mungkin muncul keragaman
intelektual atau pluralisme.
Pluralisme seringkali dihadapkan dengan konteks
sosial yang
didefinisikan secara umum sebagai bentuk keberagaman masyarakat, baik dari
segi adat istiadat, suku bangsa, religi/kepercayaan/agama,
bahasa, kebiasaan, kesenian, maupun dari segi sistem ekonomi, sistem
organisasisosial, sistem pengetahuan
dan lainnya. (B. Malinowski. 1964)
Pluralisme menyangkut pada hal-hal primordial seperti keberagaman
ras, budaya, kewarganegaraan, bahasa hingga agama. Namun pluralisme ide
intelektual, seperti yang diebutkan oleh Sahil, meliputi keberagaman ide, sudut
pandang, opini, pandangan dunia maupun nilai-nilai yang dianut. Dan kita sebagai
manusia terlahir dengan pluralisme itu.
Namun demikian, keanekaragaman sosial ini menjalar ke semua segi kehidupan masyarakat, termasuk juga keanekaragaman atau pluralisme ide, rasa atau selera serta kepentingan.
Dengan
kata lain, jika kita semua sudah sepakat, tidak ada warna lain yang kita sebut dengan perbedaan.
Lebih banyak ketidaksepakatan
berarti lebih banyak keanekaragaman intelektual, lebih banyak pendapat, lebih
banyak ide. Kedamaian dan kemajuan, dengan demikian sebagaimana dikatakan Sahil dalam pidatonya bertajuk
“Disagreement: An Essential Part of Pluralism” itu,
bahwa tidak
pernah dapat dicapai dengan menekan perselisihan. Akan tetapi sebaliknya, dapat dicapai dengan merangkul dan
menghargai apa yang orang lain
representasikan.
Ketidaksepakatan merupakan bentuk penyampaian pesan
dan pengaruhnya terhadap perubahan suatu kondisi. Pengaruh dan perubahan inilah
yang berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Sedangkan dalam rangkaian
dunia pluralis ini, tidak akan berjalan secara harmonis ketika setiap individu
dengan latar belakang masing-masing membawa keteguhannya masing-masing untuk
mengambil keputusan bersama. Dalam hal ini sosok pengambil keputusan, sosok
yang memegang pengaruh utama dalam kehidupan bersama diperlukan. Sehingga
keberagaman dapat dirangkul tanpa sentimen-sentimen tertentu. Perangkul inilah
yang disebut seorang pemimpin.
Kepemimpinan atau bagaimana seorang pemimpin memimpin
sendiri memiliki
ragam definisi dari berbagai ahli. Ini dapat ditilik dari berbagai sudut
pandang dan disiplin ilmu.
Menurut George R. Terry "Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang
lain untuk mencapai tujuan kelompok secara sukarela". Walter C Wright
dalam bukunya Relation Leadership
mengatakan bahwa: kepemimpinan adalah suatu hubungan dimana seseorang berusaha
untuk memengaruhi pikiran, kebiasaan, keyakinan atau nilai-nilai dari orang lain.”
(Sudono, 2005:2021).
Lebih
lanjut, beberapa penelitian mengenai kepemimpinan sejauh beberapa dekade ini
mulai mendemonstrasikan pengaruh dari sebiah sudut pandang dan persepsi.
(Ayman, 1993, Bolman & Deal, 1984; Chemers & Ayman, 1993). Bahwa secara
sosial, kepemimpinan dikonstruksi oleh masyarakat, yang mana bergantung pada
latar belakang masing-masing. Tergantung pada keberagaman primordialnya.
Kepemimpinan
berkelindan dengan moral yang mana hal itu melekat pada diri tiap individu.
Segalanya dimulai dari diri sendiri. Hal besar akan dimulai dari hal kecil,
dari lingkup paling dekat. Tak ada yang paling dekat selain diri sendiri. Berkaitan dengan diri pribadi, individu manusia
memiliki pembawaannya masing masing. Pendek kata, latar belakang seseorang termasuk
moral di dalamnya pun adalah bagian dari pluralisme. Seseorang yang memiliki
jiwa kepemimpinan ialah yang dapat menghargai dan menampung segala pluralitas
tersebut. Kata kuncinya, seperti kata Sahil, ialah “respect”.
Kemampuan seseorang memimpin salah satunya diukur
melalui bagaimana sebuah keputusan yang berpengaruh diambil secara tepat. Lalu
di belakang ketepatan ini, terdapat kualitas moral dan karakter yang
menaunginya. Sebab inti dari pengambilan keputusan adalah moral dan karakter.
Pengambilan keputusan yang baik akan memberi pengaruh sampai kepada tercapainya
tujuan bersama yang telah ditetapkan.
Lalu,
siapapun
yang menjadi pemimpin pasti berhadapan dengan tantangan, tidak hanya tantangan
pluralisme sosial tetapi juga tantangan dari berbagai kepentingan atau lebih masuk lagi ke dalam diri
personal-pluralisme intelektual. Untuk itu, seorang
pemimpin tidak hanya dituntut cerdas secara intelektual tetapi juga dituntut
cerdas secara emosional, spiritual, ketahanan mental akan penderitaan, dan
untuk menghindari ketegangan.
Untuk itu, pertanyaan atas “siapakah diri kita” haruslah menjadi hal pertama yang
dijawab oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin, sebagai individu, haruslah
selesai dengan dirinya sendiri,
dengan moral, pandangannya-latar belakangnya. Tak ada ruang
dan waktu lagi untuk sepenuhnya memikirkan diri sendiri. Siapa diri kita itu
sangat menentukan bagaimana kita mengambil sebuah keputusan, apalagi ketika
kita menjadi orang yang dapat memberikan pengaruh atas pengambilan keputusan
tersebut. Sebab esensi
dari memimpin adalah pengaruh.
Langkah
yang dilakukan seorang pemimpin adalah demi pengaruh yang ia adakan. Sebab, latar belakang dan
pengalaman berkaitan erat dengan apa yang dapat kita definisikan mengenai
konsep kepemimpinan. Perbedaan-perbedaan yang berasal dari latar belakang
beragam tadi membentuk sebuah sudut pandang itu.
Jason
Lase dalam jurnalnya berjudul “Kepemimpinan dan Tantangan Pluralisme Sosial”
menulis bahwa seorang pemimpin hendaknya terus-menerus
mengasah diri agar semakin cerdas dalam memimpin. Artinya, seorang pemimpin itu
hendaknya semakin bekerja keras dan semakin juga menjadi cerdas. Seorang
pemimpin yang sukses apabila dia mampu meningkatkan kesejahteraan para
pengikutnya dan mampu meningkatkan keteraturan dalam masyarakatnya. Tidak ada
seorang pemimpin yang dicintai oleh para pengikutnya, jika di bawah
kepemimpinannya tidak terjadi perubahan menuju yang lebih sejahtera dari pada
sebelumnya.
Kepemimpinan
secara tradisional dekat dengan kekuasaan dan kekuatan. Berpusat pada kekuatan suatu gagasan
untuk mengurai perbedaan-perbedaan. Kekuasaan, meski demikian hendakya digunakan sebagai kendaraan dalam
meratakan pengaruh dari gagasan yang diusung bersama. Dalam kesadaran
pluralitas, pengaruh harus tumbuh dengan tanpa intervensi dari pihak manapun.
Di sisi lain, ketidaksadaran akan
keberagaman atau pluralitas
menuntun pada ketidakefisiensian, sedikit produktivitas, kurangnya kualitas dan
ketidakmampuan untuk mencapai tujuan bersama.
Sebaliknya,
pengetahuan akan keberagaman memperkuat hubungan kerja sama, efektivitas, dan
kemampuan mecapai tujuan bersama. Hal-hal itu dapat dicapai dengan terbuka pada segala
sudut pandang. Secara wajar menghadapi ketidaksepakatan yang terjadi dari
tiap-tiap individu dan merangkulnya.
Sahil mengatakan dengan istilah, bahwa pola
pikir intelektual
pluralis yang matang ialah ketika mampu dengan tulus dan rendah hati terlibat
dengan pandangan-pandangan
lain. Atau
dengan meminjam frasa Oscar
Wilde: “playing gracefully with ideas”.
Sebab
dalam banyak hal,
sebuah kemajuan
datang dari tanggung jawab sosial, pandangan divergen, pandangan kita menghadapi ketidaksetujuan atas sesuatu. Semua itu berpengaruh dan adalah lingkup seorang
pemimpin.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.