Bukan Cerita Werkudara dan Arimbi
“It is difficult because you’re not here for the lust, inflation, quantity, comparison, competition, or constant experiences. You’re here for solidarity, peace, tranquility, soul, deepness, love and empathy.”
***
Silakan tertawa atau bergidik-gidik selepas kalimat yang kutulis ini selesai. Tak apa dan perlu kuakui terang-terangan: setelah sekian abad, akhirnya aku berani menyatakan–setidaknya pada diriku sendiri dan teman dekat–bahwa aku jatuh hati. Seperti di film-film. Persis di cerita-cerita novel. Dimana aku akhirnya memenuhi syarat untuk masuk dalam definisi jatuh cinta: ketika kamu mengagumi seseorang, bahkan sejak pandangan pertama, lalu jantungmu deg-degan, ada perasaan membuncah dan meletup-letup, ada obsesi dan ambisi untuk terpikat dan memikat.
Sejauh ini aku menganggap relasi yang kupunya dengan setiap manusia begitu beragam. Dan sangat amat rumit untuk dikategorikan dalam konstruksi-konstruksi yang sudah ada. Aku lebih-lebih memandang dan mengukurnya dari seberapa kuat ‘koneksi’ yang kita miliki. Makanya, barangkali itulah mengapa aku tak pernah cepat-cepat mendeklarasikan pada siapapun, bahwa “Hey, aku naksir dia!”. Perasaan kagum pada liyan selalu timbul-tenggelam, dan frekuensinya sangat sedikit. Kalaupun tengah merasa simpati pada seseorang, tak pernah ada syarat yang terpenuhi untukku bisa mengatakan bahwa aku menginginkan orang lain, mendamba seonggok makhluk hidup bernama laki-laki buat jadi kekasih. Di lain sisi, aku cenderung impulsif untuk mengutarakan dan menunjukkan kepedulian secara langsung, secara terang-terangan, tanpa mengharap apapun. Kadang-kadang, itu terjadi begitu saja dan seumur-umur aku amat merasa aman dengan definisi cinta kasih yang luas itu. Tak memusingkan romansa seperti di film-film.
Empat tahun lalu, aku mengenal orang itu. Kami punya satu momen saja yang bisa dikenang–setidaknya dalam ingatanku sendiri–yakni ketika aku mewawancarainya untuk sebuah liputan panjang yang kukerjakan sewaktu di pers kampus. Impresi awalku, orang itu punya banyak wawasan tentang alam dan pembawaannya santun. Itu saja. Waktu berlalu dan momen itu sama sekali tak membekas sehingga tak pernah kubawa-bawa dalam ingatan hari ini. Lalu tibalah pada hari dimana kami berpapasan. Ini bagian yang menurutku “Yaelah, apa-apaan sih Din?!”. Tidak ada interaksi lain selain saling lempar pandang. Kurasa kami sama-sama ragu menyapa. Aku bahkan tak yakin seratus persen dia adalah pria yang pernah kutemui empat tahun lalu, hanya saja rasanya tidak asing. Perasaan tidak asing ketika melihat satu orang itulah, yang secara instan membuatku terpana. Di momen itu, aku hanya mengamati gerak-geriknya sembari mencerna dengan baik bayangan apa saja yang muncul dalam kepalaku.
Sungguh aneh tapi nyata. Hari-hari setelahnya aku membangun angan bila saja aku dan dia menjadi teman hidup. Membayangkan bagaimana menikmati dan menghadapi dunia berdua. Pembawaannya yang santun, entah kenapa sudah cukup untuk membuatku kulo nuwun pada diri sendiri untuk membuka gembok dan menyusun siasat kedepan. Aku membayangkannya seperti Werkudara. Hanya mengamati dari caranya berjalan, segera kutahu bahwa tak hanya santun, manusia satu itu tampak begitu teguh. Tiap langkah yang diambil begitu mantap dan tidak minggring-minggring. Meski aku tahu dunia kami berbeda, aku sudah mempersiapkan ruang-ruang penerimaan itu. Sampai tibalah pada niat yang selama ini tak pernah terbesit di kepalaku, mengupayakan untuk bisa dekat dengan orang lain. Sejauh ini aku tak memandang jauh-dekatnya hubungan satu sama lain adalah hal yang harus diupayakan. Kurasa segalanya terjadi secara natural. Bahwa yang dekat perlu kurawat, yang jauh dan merenggang pun kubiarkan terjadi secara wajar. Dalam tahap hidup yang sangat baru ini, barulah aku memiliki pandangan lain. Setidak-tidaknya, sebagai langkah yang serius, aku mesti mengenalnya. Begitu sebaliknya. Hampir-hampir tak ada sesuatu yang dapat melantari langkahku buat pedekate. Tapi saat itu aku merasa tidak main-main. Yang terbesit dalam benakku, aku juga harus meyakinkan diriku sendiri bahwa perasaan itu benar-benar ada dan nyata. Aku mencari-cari tahu tentangnya dari segala sumber yang dapat kuakses. Jadi kususun rencana untuk mendekati orang itu: aku akan menanyakannya pada seorang teman, meminta bantuannya untuk menjembatani, mengajaknya bicara, dan mengungkapkan ketertarikan yang aneh padanya dan bermaksud untuk mengenal lebih jauh. Tinggal setelahnya, biar kususun lagi kepingan-kepingan yang masih kosong. Terdengar mulus sekaligus ganjil. Tapi setidaknya, niat atas upaya-upaya itu sudah cukup jadi modal awal buatku merangkai kisah romansa yang sungguh-sungguh. Aku tak ingin waktuku habis hanya untuk menerka-nerka dan mengagumi orang. Saat itulah aku membuka gerendel hatiku dan satu jangkah kuambil untuk melengok keluar. Bersiap mencipta tatanan dunia baru bersamanya. Aku gidik sendiri menemukan diriku yang seperti ini tapi kuhargai setiap pengalaman yang datang dan tak berusaha menampik perasaan-perasaan yang hadir.
Hari berganti. Malam itu aku menghabiskan waktu dengan satu sahabat. Dengannya aku cerita soal perasaan yang asing ini. “Kayaknya aku jatuh cinta deh, Za.” Begitu mengucap kata-kata itu, aku sendiri seperti mendengar suara lain yang keluar dari tenggorokanku. Ibarat, desir di lautan tiba-tiba pecah jadi kecipak. Seperti ada transisi layar sepersekian detik di antara ucapanku dengan respons temanku itu. Tentu saja dia kaget setengah terbahak, dan pertanyaan pertama pasti: sama siapa?
Aduh. Sudah jelas aku spill. Belum apa-apa, cerita-cerita secuprit tentang pertemuan singkat dan dalihku menyukai manusia itu saja sudah bikin asdfghjkl. Sepertinya ada yang gak beres, batinku malam itu. Persentasenya nol koma lima persen dari total keseluruhan hidupku, membicarakan laki-laki. Tapi ini sebuah peningkatan, pikirku. Ini sikap yang umumnya dialami para gadis di luaran sana yang melewati masa puber, jadi tak apa merasakan letupan-letupan begini, aku menepuk-nepuk pundakku sendiri.
Alur kisah romantis belum juga terjadi, sudah berubah jadi komedi. Belum sampai aku menghubungi teman yang bakal menghubungkanku dengan pria jangkung nan santun itu, satu fakta menohok mencegah langkahku. Malam itu, temanku menemukan satu undangan pernikahan ketika menelusuri pencarian nama lengkapnya di internet. Sangat di luar prediksi BMKG. Dia sudah menikah Mei lalu, tahun ini! Ombak pecah bergulung-gulung, menghempas karang jadi gemuruh. Kusergap tautan undangan itu, kubaca satu-satu detailnya. Tak lagi bisa kubantah fakta seterang itu. Aku belum melangkah, tapi harus mundur. Werkudara telah menemukan permaisurinya. Di Kerajaan Pringgadani itu, ternyata aku bukan Arimbi yang tertambat pada pandangan pertama Sang Bimasena. Bubar kabeh! Aku menggerutu–sekaligus sejujurnya amat bersyukur. Meskipun pada momen itu aku mendapati hati seperti sempal, aku lega segalanya dijawab secara kontan.
Enam bulan belakangan pedalamanku kacau. Jika biasanya aku dapat menepi dan kembali tegar, hari-hari itu aku selalu sesenggukan dan bengong. Aku jadi jarang sekali sanggup menilik diriku sendiri. Banyak hal belum selesai yang mengelebati langkahku. Dan aku tak punya siapa-siapa untuk kupercayai. Anehnya, saat itu aku merasa sekelilingku begitu ramai. Sampai-sampai rasanya aku malas keluar. Dunia, Jogja apalagi, begitu sempit, di mana aku selalu bertemu orang-orang yang saling kenal dan mengenalku. Dunia begitu palsu di mana hampir semua orang seperti tengah bersandiwara menjadi ini dan itu. Dan di dunia hipokrit itu, aku lelah ditempatkan dalam posisi di mana akulah yang mesti memulai, mesti bicara, mesti bereaksi–untuk sesuatu yang tak seorang pun benar-benar terdorong hatinya. Aku muak pada banyak manusia yang terus-terusan membicarakan soal faedah-faedah, soal nilai-nilai, soal keuntungan, soal maslahat, soal urutan, kerangka, tatanan, jenjang, organisasi, figur dan kata lain-lain yang tai kucing banget. Banyak sekali urusan yang melalui tak sedikit liku-liku hanya karena mereka sengaja saling menyulitkan satu sama lain.
Hari-hari itu, aku memupuk ketidakpecayaanku pada banyak manusia. Bahkan saat mereka melakukan suatu hal yang ‘positif’ sekalipun, seperti menunjukkan harapan dan doa-doa--yang biasanya diungkapkan dalam forum dan sambutan acara–aku keheranan. Mengapa orang-orang selalu berdoa untuk meminta hal-hal remeh pada Tuhan? Dan setelahnya, setiap pencapaian kecil yang diterima selalu digembar-gemborkan sebagai berkat Tuhan, meskipun misalnya, aku tahu itu hasil mereka memaksakan banyak kehendak. Sementara aku selalu pulang dan berangkat tidur dengan doa yang diluar mampu siapapun, kecuali Tuhan. Aku tak mau memohon barang sepele, pada Tuhan yang menghamparkan banyak hal di dunia yang selalu ajaib. Bahkan, aku tak memohon surga setelah mati, jika dalam hidup ini telah ada surga, aku ingin Tuhan menunjukkannya padaku, menuntunku pada setiap hal yang dapat kuhayati penuh.
Aku menghabiskan sebagian besar umurku sendirian. Melempar pandang pada objek-objek yang bergerak lambat. Kadang-kadang aku merasa seperti delusional. Kepalaku menjadi tempat aneh yang kugandrungi. Karenanya aku selalu nyaman diam saja dan mengamati. Tetapi aku terbentuk oleh pengalaman dan pengertian. Aku selalu paradoks. Kadang aku menjadi pribadi yang diam, kadang rasanya jadi begitu cair. Meski saat membelot pada banyak aturan, aku seketika menyadari bahwa hatiku tak pernah benar-benar menetap di manapun.
Aku belum pernah siap menaruh hati pada apapun dan siapapun. Apalagi dalam kehidupan romansa yang kuanggap sebagai side show to the main event. Tapi dalam ketidaksiapan itu, beberapa manusia datang tanpa aba-aba. Beberapa bahkan lancang. Menyerupai sosok lain demi bisa dilirik dan disanjung. Tak mengatakan maksud dengan gamblang. Membuatku kian risih dan tak menyukai lagu lama soal rangkaian kisah asmara. Hubunganku dengan manusia seperti itu jadi aneh dan aku tak mau terus berlanjut menjadi ikatan-ikatan yang tak masuk akal, dimana keseluruhan interaksi hanya diisi dengan memuja-memikat, permisi-melarang, dan yang paling gila, ia memandangku bak bidadari tanpa cela. Aku, tak benar-benar dipandang dan dipahami dengan terang sebagaimana seonggok manusia yang tinggal di bumi. Ia merancang-rancang gambaran tentangku, dan mencintainya sendirian. Tanpa kesalingan yang berarti.
Hatiku hancur hampir saban hari untuk banyak kenyataan yang kusaksikan, justru bukan dari kubangan kesedihanku sendiri. Entah mengapa aku merasa senang dan sendu di saat yang sama, sepanjang waktu. Rasanya seperti mengalami berbagai macam emosi secara bersamaan. Aku bisa nampak bungah dengan banyak alasan, tetapi juga melankolis untuk perkara dunia yang terjadi tepat di depan mata. Aku jemu pada banyak manusia, tapi juga welas asih dan menyesap derita yang sama dari mereka yang berada di sekitarku.
Tak menyambut cinta yang dinyatakan dengan menggebu-gebu itu, tentu menimbulkan kemurungan sendiri di benakku. Aku menolak keintiman yang mengusik dan, berupaya mengekang. Mengapa aku tak bisa memilih untuk tidak banyak menimbang rasa hanya untuk menerima orang lain mendekat? Mengapa aku, dalam banyak momen, sulit sekali melantari kebahagiaanku sendiri lewat cara-cara romantis? Apa susahnya mencoba dan berpura-pura hidup di negeri dongeng?
Gejolak itu, barangkali mengantarkanku pada perasaan aneh yang kutulis di awal. Rupanya, itu semua responsku dari gabungan perasaan ‘terusik’ yang kualami berkali-kali. Aku tidak jatuh cinta, aku hanya sedang mencari rasa aman, yang ternyata semu. Aku pernah mendengar sebuah video wawancara dengan mantan pelaku klitih di Jogja. Katanya, hanya ada dua orang yang tidak bakal jadi target incaran bacok serampangan: pengendara yang memakai jas hujan, dan orang pacaran yang berboncengan.
Di malam yang larut, saat berita soal klitih marak di banyak tempat, aku selalu pulang motoran mengenakan jaket tebal dan mantel, meski tidak ada hujan.
Betapa payahnya dunia ini memandang seorang perempuan yang lajang, sampai-sampai ia terus diusik dan dilekatkan banyak prasangka, kecuali dia sudah jadi milik laki-laki. Itu pun hanya di permukaan, sisanya perempuan tak bisa menghindari syak wasangka, ke mana pun ia pergi.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.