Gaslighting: Ketika Kita Menjadi Begitu Payah
Beberapa waktu yang lalu aku membaca ulasan di Quora
tentang bentuk pelecehan emosional atau penyiksaann mental. Dan aku tertarik
untuk menguliknya lebih jauh. Pelecehan tersebut membuat seseorang secara
emosional berada dalam kegamangan yang luar biasa. Pikiran kita bisa
dimanipulasi sedemikian rupa oleh orang lain. Sehingga kita selalu dalam
kondisi meragukan diri sendiri. Kita terus mempertanyakan, mencari kepayahan
dalam diri kita. Bahkan kita tak yakin dengan ingatan, sudut pandang dan
kewarasan diri kita sendiri. Semua ini dapat terjadi. Dan pemantiknya adalah
perlakuan manusia lain. Dalam istilah psikologi, inilah yang disebut gaslighting.
Aku percaya bahwa setiap orang memiliki kekuatan dari
dalam dirinya. Namun kita kan tak hidup sendirian saja di dunia ini, kita
berelasi dan saling memengaruhi. Itu hal fundamental, dan banyak dari kita tak
menggubrisnya. Kita sering mengabaikan bahwa kita dengan yang lain saling
terkoneksi. Sehingga apa yang kita atau mereka lakukan, saling memantul. Seperti
gema suara. Seperti sebuah pancaran cahaya. Semua berhubungan. Maka penting
bagi kita untuk mempertimbangkan apa yang kita utarakan dan perlakukan pada
segala apa yang hidup di dunia ini.
Di sisi lain, diri kitalah yang menjadi titik tolak
pertama dalam bertindak. Penting untuk kita memiliki terang pikir. Pelecehan mental
bernama gaslighting tadi dapat terjadi
dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Bisa jadi keluarga, teman, kekasih, rekan
bekerja, seorang tokoh, bahkan orang asing di internet. Seorang pelaku gaslighting merupakan pribadi yang cenderung
narsistik. Dalam satu artikel bahkan menyebutkan bahwa mereka bisa jadi
memiliki benih sosiopat maupun psikopat.
Aku memandang hal ini seperi semacam spektrum. Pelecehan
mental ini tak akan berlangsung lama, baik dari sisi pelaku maupun korban. Asalkan
kita menyadarinya dan segera mentas dari kungkungan tersebut. Kita bisa mulai
dengan menyadari impuls yang ada dalam diri kita. Kunci dari hal itu adalah
dengan bangkit untuk menghimpun kekuatan murni dari dalam diri.
Seseorang yang melakukan gaslighting seringkali adalah mereka yang paling terlihat mengenal
diri kita dengan baik. Pelaku gaslighting selalu merasa mereka “knowing you”. Karena memahami diri kita
mereka pun dapat mengetahui apa yang menjadi kekuatan kita. Mereka tahu sumber
kebahagiaan kita. Gaslighter mencoba
menyalahgunakan kekuatan itu. Misalnya, kamu memiliki tabiat ramah dan supel. Kemudian
seseorang justru datang membuatmu minder dengan tabiat yang kamu miliki. Ia mengatakan
berulang-ulang bahwa kamu seorang people-pleaser
yang lemah, tak berkarakter, atau tidak sepantasnya bertindak seperti itu. Atau
bahkan ia membandingkanmu dengan orang lain. Sehingga percaya dirimu lambat
laun akan runtuh.
Seringkali pelaku gaslighting ini menancapkan semacam
doktrin kedalam dirimu. Mereka memutarbalikkan segala apa yang telah kamu patri
sebagai prinsip hidupmu. Tindakan mereka melebihi kenyamananmu. Ketika kamu
berusaha memperbaiki diri dan mendengarkan intuisimu gaslighter akan berkata, “Sudahlah, keburukanmu itu normal.” Atau ketika
kamu meminta saran, bisa jadi ia memberikan pendapatnya panjang lebar dengan
penuh keyakinan bahwa hal tersebut satu frekuensi denganmu. Tujuannya adalah
supaya kamu percaya, bahkan bergantung padanya. Kalaupun kamu mulai skeptis,
semuanya justru dikembalikan pada dirimu. Terkadang gaslighter merendah untuk meroket. Setelah semua pikiranmu kalut
dan campur aduk meragukan diri sendiri, mereka malah berkata, “Mungkin aku yang
berlebihan, sih.” Kamu pun semakin gamang dan tak yakin dengan kata hati
nuranimu.
Gaslighter lihai sekali dalam menyembunyikan hal. Umumnya mereka
manipulatif, bisa begitu baik dan bersikap tak bersalah. Sikap ini yang membuat
kita berada dalam titik lemah dan mempertanyakan nilai diri sendiri. Seolah-olah
pusat dari peristiwa yang terjadi adalah karena dirimu. Atau bahkan ketika sebenarnya
tak terjadi apapun, si gaslighter
membuatmu berpikir ulang tentang masalah abstrak yang muncul. Ia membuatmu
bingung dan tak pasti.
Namun satu hal yang kugarisbawahi, seorang gaslighter sebenarnya sedang
memproyeksikan kesalahan atau kekurangan dirinya pada kita. Aku berpikir ini
mirip dengan rasa cemburu. Seorang gaslighter
sebetulnya sedang dalam kondisi lemah, namun sebagai bentuk pembelaan diri dan
menutupi kekurangan, mereka menyakiti mental orang lain. Bahkan mereka bisa
saja melibatkan orang lain dalam hidup kita untuk memvalidasi sikapnya. Dari susdut
pandangnya kamu adalah yang bertanggungjawab dalam satu masalah. Kemudian pandangan
itu diamini oleh orang lain yang telah dipengaruhi. Atau si gaslighter ini melibatkan orang lain
dalam polemik yang sama. Seolah permasalahannya adalah kamu versus mereka. Kemudian
muncul pemikiran bahwa orang lain juga sedang membicarakanmu di belakang. Kamu jadi
merelakan dirimu memohon maaf, meski kamu tak menemukan letak kesalahanmu.
Seorang gaslighter
terlihat sebagai orang yang paling memahamimu, mereka tahu kepekaanmu. Sehingga
dengan momen yang tepat, mereka bisa mengambil kendalimu dan berkata, “Aku
sudah mengatakan padamu berulang kali, jangan sampai kamu menyesal.” Kamu ditempatkan
di tepi jurang. Rasa-rasanya kamu segera jatuh dan si gaslighter yang charming
itu adalah juru selamat. Namun ketika terjadi konfrontasi, umumnya mereka
menjadi pihak yang memutus hubungan dan mengelak dari banyak hal.
Fenomena gaslighting
ini tentu bukan berada dalam tataran teoritis psikologi saja. Hal ini benar
adanya. Bahkan istilah gaslighting
ini muncul dari satu lakon yang dimainkan dalam film. Di kehidupan sehari-hari
kita pun gaslighting bertebaran di mana-mana. Ini semua bergerak di bawah alam
sadar yang tak kasat mata. Dampak yang kita rasakan adalah pada kesehatan
mental kita sendiri. Bahkan dengan tekanan yang besar, kita bisa menjadi korban
yang depresi. Kita menjadi pribadi yang ragu pada diri sendiri, ragu pada
kesadaran dan kewarasan. Padahal, satu-satunya kekuatan yang dapat merawat kita
adalah diri kita sendiri.
Aku pun tak luput dari penyiksaan mental ini dan
membuatku tak memiliki pikiran yang terang. Aku pernah di titik meragukan nilai
yang kupegang teguh hanya karena seseorang yang kupikir dekat dan mampu
memahami diriku, justru menancapkan duri yang berbalut bunga.
Pun aku percaya, mereka para gaslighter adalah manusia yang juga menyimpan luka. Toh, kita semua
adalah dari luka. Namun dengan impuls yang berbeda luka itu bisa tumbuh beragam
ke dalam spektrum warna gelap hingga terang. Semua manusia memiliki
kecenderungan atas warna itu.
Jika kamu merasa kehadiran gaslighter itu, mereka juga manusia, tak perlu mendendam. Cukup berdamai
dengannya dan cari kebahagiaan yang lahir dari dalam dirimu. Sebab tak ada yang
mampu merawat dirimu, selain Diri-mu sendiri. Temukan dirimu dan berpeganglah
yang erat. Kehidupan ini menghembuskan banyak musim...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.