Dah Lah

 

Entah dari mana juntrungnya. Atau memang segala hal di dunia ini ada begitu saja dan kita tak perlu banyak bepikir soal awal akhir dan sebab akibat. Aku selalu seperti berada dalam sebuah pengembaraan yang panjang tanpa ujung. Beberapa hal kukenali dengan sangat akrab, beberapa begitu asing. Meski sebenarnya kita semua sendirian. Kita sendiriannya beramai-ramai!

Hidupku banyak sekali kebetulannya. Dan aku masih sangat heran. Bagaimana bisa itu terjadi? Banyak hal terkait-kait. Sepertinya aku bergerak atas satu tuntunan. Meski ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja kupilih, ada saja sesuatu yang datang. Barangkali inderaku yang kebobolan, ataukah mati rasa?

Jujur saja, aku enggan berlarut-larut dalam banyak permenungan. Lebih-lebih ketika aku sedang dalam keramaian. Terkadang kita dibuat untuk saling bercengkerama dan cukup hidup. Meski kita semua terbuat dari luka, kepedihan dan kelinglungan yang teramat sesak, berceracau gembira adalah penyelarasnya. Hidup akan terus ganjil jika kita seperti patung Le Penser.

 Ada kalanya sesuatu berjalan begitu saja dan wajar. Memang kesedihan itu ada dan akan terus ada. Bahagia itu ada. Tapi satu hal yang ingin kusadari adalah, semua akan berlalu. Aku hanya ingin menikmati semuanya.

Beberapa orang mengutuk rasa sedih. Seolah duka itu tak sepatutnya hadir dalam hati kita. Dan aku bertanya, akan sehambar apa jika hidup tanpa luka? Tak bisa kubayangkan diri ini mati karena terlampau dalam kebahagiaan yang mapan.

Sungguh kita semua terlahir dari luka. Luka itu tumbuh dan menjadi penguat yang luar biasa hebat. Ah, jika luka itu berwujud, akan kupeluk erat ia dan kuucapkan terima kasih tak bertepi. Ia selalu datang dan membuatku benar-benar merasakan hidup. Ia memberiku pegangan jika sewaktu-waktu diterpa angin kencang.

Dan bahagia datang menyirami benih-benih luka yang telah disemai. Membasuh jiwa yang hampir-hampir mengering. Terima kasih. Aku senang berada dalam pengembaraan tanpa tepi ini. Dan diriku yang kusebut “aku” itu telah melangkah bersama bekal harapan, serta keberanian. Untuk terus hidup dan tak menyerah pada yang semu.

Benar pedih. Rasanya seperti dicabik-cabik. Dan sesaat kemudian ketika momen-momen dalam hidup merenggut harapan-harapan yang sebelumnya bercahaya, kita tinggal seorang diri. Berjalan dalam lorong yang sunyi dan panjang. Meraba-raba jalan sambil sesenggukan. Mengutuk pada ruang hampa. Gelap. Tidak nyata. Sia-sia.

Oh, mengapa pula kita ini memiliki konsep pemikiran yang rasa-rasanya tak selaras dengan realita. Sehingga segalanya seperti bertolak. Jauh dari titik temu. Terpatri dalam diri, bahwa apapun “kudu” memiliki awal dan akhir. Dan itu didukung oleh waktu yang berputar tanpa henti.

Semuanya seperti punya batas. Sedangkan realitanya, tak ada batasan.

Ilusi?

Tak apa. Ayo jalan...

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?