Pembelot



Sekarang kutanya padamu, mengapa titik mulainya ada pada malam menjelang pagi itu?

Waktu itu kamu tak dapat tidur. Terus hidup dan melayang-layangkan bayangan ke segala tempat yang mungkin kau jangkau. Itu hanya kemungkinan. Dan kau tak bisa mematenkannya.

Adalah kebiasaanmu membiarkan tirai jendela terbuka. Ibumu menggerutu. Membalut takut dengan keras hati. Anak-anaknya tak boleh jadi budak. Tindak-laku penindas tak akan diturunkan pada sanak-cucu. Biar. Biar satu yang menaggung. Semua harus perkasa. Pesannya selalu dengan dendam. Kutukan sudah terpancar ke setiap penjuru. Menguntit langkah-langkah dan deru nafas rahimnya. Dia mengutuk pada angin. Dan angin merasuki anak-anaknya pada setiap gerak. Anak-anaknya tumbuh bersama luka yang tak jujur. Semua-muanya bertirai. Dan kamu tak boleh, menyaksikan malam. Maka tiraimu hendaknya ditutup rapat ketika hari mulai gelap.

Jika cacing tersenggol saja menggeliat. Melawan diam. Maka kamu pun kudu berontak. Apabila penghianat menancapkan luka yang tak jujur, menentang adalah jalan paling santun. Ibumu mengajarimu untuk tak jadi layaknya malaikat. Ibumu mengajarimu untuk bertahan dan tangguh. Bahkan, kau tahu, ibumu menyandingkanmu dengan cacing! Artinya, jika kau mau diinjak, kau lemah. Anak-anaknya terlahir untuk jadi begundal yang terjigal-jigal. Dan satu-satunya cara untuk terus hidup adalah menggenggam erat pijakan diri sendiri. Mereka yang menebar duri berbalut beledu sama sekali tak pantas berada dalam pandangmu. Memang seterang itu. Jika tidak kau akan hancur. Dan jambret-jambret akan melanglang bahagia.

Itu soal kutukan.

Jika ibumu ingin kau jadi pembelot, maka kamu pun membelot, bahkan pada ibumu. Dan mulai saat itu, kau menuruti setiap kutukan yang terpatri padamu sejak udara terkutuk pertama memasuki jiwa ragamu. Pemberontakan dimulai.

Kau membuka tirai jendela itu lebar-lebar dan menyaksikan malam. Kau dekap erat diri dan teguhmu. Tak sudi terpejam! Menyiapkan cahaya-cahaya dendam. Kau menghadap langit-langit palsu hingga dendammu bertambah dalam. Langit-langit penuh kepalsuan itu. “Bongkar saja!” kau menggertakkan wajah gadismu. Suatu pagi nanti kau akan menghancurkannya. Kau tak akan melakukannya pada dini hari begini. Sebab manusia hanya akan hidup saat hari terlihat terang. Dengan begitu, kau akan saksikan gugusan bintang yang sebenarnya. Mereka yang selama ini menyentuh tanah tanpa harus membelai. Tegas lugas dengan kecepatan cahaya. Tepat pada tanah yang kau injak. Memberimu kekuatan untuk menjunjung langit. Melewati para serakah. Menghempas si brengsek yang merenggut hidup dan penghidupanmu.

Sekarang hanya itu titik mulainya. Saat kau mendekap diri dengan jendela tak bertirai. Rembulan mengintipmu. Kau menyentak. Jika hendak mendekat, mendekatlah! Lalu bulatan cahaya itu mengatakan sesuatu. Saling menyilaukan. Kau balas dengan kobaran dari dalam bola matamu. Ia menjadi teguh. Dan dengan kilatan yang tanpa kau sadari masanya, cahaya penjaga mersukimu. Lalu kau bisa menjaga dirimu sendiri. Pada setiap nafas, cahaya itu menancar. Setiap pancaran adalah persiapan menuju peperangan melawan penebar luka yang sembunyi di balik manusia di balik malaikat di balik perempuan di balik cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?