Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?
Media baru, lebih-lebih
media sosial, kini memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menggiring agenda
dari sebuah media. Topik-topik pembicaraan tidak benar-benar hadir dari media
itu sendiri. Bahkan kita cenderung mengonsumsi suatu informasi yang datang dari
lini masa media sosial kita. Saat ini sedikit dari kita yang mengakses
informasi, khususnya berita, melalui pencarian langsung. Semua cuplikan berita
sudah dengan runut digelar di depan mata kita melalui lini masa. Itu pun, apa
yang muncul akan selalui sejalur dengan apa yang cenderung kita sukai dan
ikuti. Kita seperti berada di bilik masing-masing. Asyik dengan pembahasan yang
itu-itu terus. Dan kita akan selalu merasa dipuaskan, dicekoki dengan algoritma
internet yang semakin hari semakin menguat berkat klik jempol kita.
Fenomena itu senada dengan
sebuah riset konsumsi media yang dilakukan pada Juni 2017 lalu. Dari sebanyak 300
mahasiswa Gen-Z di 30 kampus se-Jakarta ditemukan bahwa konsumsi berita cenderung
melalui penggunaan aplikasi tukar pesan seperti WhatsApp dan Line, maupun news
feed yang disediakan Facebook dan Line Today. Selain informasi yang kita akses
muasalnya adalah dari fitur sharing
di media sosial, artinya konten informasi tersebut merupakah hal-hal yang
sifatnya ringan serta mudah menjadi sensasi. Atau yang kini kita sebut sebagai
sesuatu yang “lagi viral”.
Media massa setelah orde
baru memang melejit, dari media cetak hingga media digital seperti saat ini.
Bahkan jika dilihat dari persaingannya media sudah seperti pasar yang riuh menwarkan
informasi sebagai dagangannya. Dan tak dapat dipungkiri, kita adalah generasi
yang haus akan informasi. Di media sosial yang merupakan lapaknya inilah kita
berselancar bebas dan mengonsumsi banyak hal.
Bahkan verifikasi yang
merupakan kunci jurnalisme, kini pun menjadi tanggung jawab kita sebagai
pengonsumsi informasi. Sebab tak jarang praktik-praktik jurnalisme yang
dilakukan oleh banyak media menaruh prinsip disiplin verifikasi di belakang
setelah suatu berita diunggah. Ini dapat kita jumpai dari beberapa kasus media,
bahkan media arus utama, yang lebih mementingkan umpan klik. Seperti yang
pernah diungkapakan Yulis Yulianto, manajer tribunnews.com menyatakan bahwa
mereka memang mementingkan
kecepatan dalam meproduksi suatu berita.
Ketergantungan media massa
pada isu-isu yang bergulir di media sosial itulah menurut saya, membuat kita
seringkali “mabuk” oleh informasi media. Segalanya tumpah ruah di sana dan
bahkan etika jurnalisme dikesampingkan. Tak jarang, dengan mudah malah isu-isu
yang penting, tenggelam oleh pembicaraan media sosial yang kurang perlu.
Terlebih, hal yang dibahas berlarut-larut tersebut membentuk pendapat kita yang
semakin dikuatkan oleh sentimen tertentu.
Namun, itu semua memang tak
bisa dibendung lagi. Semua seperti arus deras. Maka dari itu, informasi yang
kredibel menjadi sesuatu yang perlu kita perjuangkan di era digital semacam
ini. Itu dapat kita upayakan dengan sikap skeptis. Sehingga kita dapat secara
aktif mengecek kembali apa yang kita lihat di media, khususnya media sosial.
Menurut saya, dunia digital
ini tidaklah sama persis dengan realita yang ada di masyarakat. Media memiliki
peran kekuatan dalam membentuk pola pikir kita yang terpapar suatu informasi.
Hal ini yang perlu disadari. Tidak semua informasi yang kita konsumsi adalah
representasi dari kenyataan di lapangan. Apa yang kita saksikan di dunia
digital layaknya kehidupan di dunia parallel baru yang berisi potongan-potongan
atau headline saja.
Keriuhan semacam itu yang
membuat saya membatasi akses “begitu saja” terhadap satu informasi atau berita.
Tautan-tautan yang bergulir dan banya dibagikan belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan. Untuk menghindari kehanyutan terhadap arus lini masa,
pencarian informasi secara langsung melalui satu pintu menjadi satu cara bagi
saya untuk meminimalisir trejadinya banjir disinformasi. Seolah apa yang muncul
di lini masa adalah bagian dari diri kita. Selain itu, saya merasa media sosial
cukuplah menjadi tempat yang nyaman bagi kita saling berinteraksi satu sama
lain. Tidak menjadi tempat melapak para “pedagang berita” yang ramai. Sehingga
media sosial kembali pada esensi awalnya, sebagai media bersosialisasi, tempat
bertukar pendapat maupun membagikan cerita dan hobi kita. Informasi-informasi
yang paling dekat dan berkenaan dengan kehidupan kita sehari-harilah yang
menurut saya mestinya menjadi konten bermedia sosial sesuai dengan kapasitas
awal platform tersebut.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.