Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?

 

https://www.onlinedissertationwriting.co.uk/images/data/image_upload/1506947758Value%20of%20Introverts.jpg


Media baru, lebih-lebih media sosial, kini memiliki kekuatan yang cukup besar untuk menggiring agenda dari sebuah media. Topik-topik pembicaraan tidak benar-benar hadir dari media itu sendiri. Bahkan kita cenderung mengonsumsi suatu informasi yang datang dari lini masa media sosial kita. Saat ini sedikit dari kita yang mengakses informasi, khususnya berita, melalui pencarian langsung. Semua cuplikan berita sudah dengan runut digelar di depan mata kita melalui lini masa. Itu pun, apa yang muncul akan selalui sejalur dengan apa yang cenderung kita sukai dan ikuti. Kita seperti berada di bilik masing-masing. Asyik dengan pembahasan yang itu-itu terus. Dan kita akan selalu merasa dipuaskan, dicekoki dengan algoritma internet yang semakin hari semakin menguat berkat klik jempol kita.

Fenomena itu senada dengan sebuah riset konsumsi media yang dilakukan pada Juni 2017 lalu. Dari sebanyak 300 mahasiswa Gen-Z di 30 kampus se-Jakarta ditemukan bahwa konsumsi berita cenderung melalui penggunaan aplikasi tukar pesan seperti WhatsApp dan Line, maupun news feed yang disediakan Facebook dan Line Today. Selain informasi yang kita akses muasalnya adalah dari fitur sharing di media sosial, artinya konten informasi tersebut merupakah hal-hal yang sifatnya ringan serta mudah menjadi sensasi. Atau yang kini kita sebut sebagai sesuatu yang “lagi viral”.

Media massa setelah orde baru memang melejit, dari media cetak hingga media digital seperti saat ini. Bahkan jika dilihat dari persaingannya media sudah seperti pasar yang riuh menwarkan informasi sebagai dagangannya. Dan tak dapat dipungkiri, kita adalah generasi yang haus akan informasi. Di media sosial yang merupakan lapaknya inilah kita berselancar bebas dan mengonsumsi banyak hal.

Bahkan verifikasi yang merupakan kunci jurnalisme, kini pun menjadi tanggung jawab kita sebagai pengonsumsi informasi. Sebab tak jarang praktik-praktik jurnalisme yang dilakukan oleh banyak media menaruh prinsip disiplin verifikasi di belakang setelah suatu berita diunggah. Ini dapat kita jumpai dari beberapa kasus media, bahkan media arus utama, yang lebih mementingkan umpan klik. Seperti yang pernah diungkapakan Yulis Yulianto, manajer tribunnews.com menyatakan bahwa mereka memang mementingkan kecepatan dalam meproduksi suatu berita.

Ketergantungan media massa pada isu-isu yang bergulir di media sosial itulah menurut saya, membuat kita seringkali “mabuk” oleh informasi media. Segalanya tumpah ruah di sana dan bahkan etika jurnalisme dikesampingkan. Tak jarang, dengan mudah malah isu-isu yang penting, tenggelam oleh pembicaraan media sosial yang kurang perlu. Terlebih, hal yang dibahas berlarut-larut tersebut membentuk pendapat kita yang semakin dikuatkan oleh sentimen tertentu.

Namun, itu semua memang tak bisa dibendung lagi. Semua seperti arus deras. Maka dari itu, informasi yang kredibel menjadi sesuatu yang perlu kita perjuangkan di era digital semacam ini. Itu dapat kita upayakan dengan sikap skeptis. Sehingga kita dapat secara aktif mengecek kembali apa yang kita lihat di media, khususnya media sosial.

Menurut saya, dunia digital ini tidaklah sama persis dengan realita yang ada di masyarakat. Media memiliki peran kekuatan dalam membentuk pola pikir kita yang terpapar suatu informasi. Hal ini yang perlu disadari. Tidak semua informasi yang kita konsumsi adalah representasi dari kenyataan di lapangan. Apa yang kita saksikan di dunia digital layaknya kehidupan di dunia parallel baru yang berisi potongan-potongan atau headline saja.

Keriuhan semacam itu yang membuat saya membatasi akses “begitu saja” terhadap satu informasi atau berita. Tautan-tautan yang bergulir dan banya dibagikan belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menghindari kehanyutan terhadap arus lini masa, pencarian informasi secara langsung melalui satu pintu menjadi satu cara bagi saya untuk meminimalisir trejadinya banjir disinformasi. Seolah apa yang muncul di lini masa adalah bagian dari diri kita. Selain itu, saya merasa media sosial cukuplah menjadi tempat yang nyaman bagi kita saling berinteraksi satu sama lain. Tidak menjadi tempat melapak para “pedagang berita” yang ramai. Sehingga media sosial kembali pada esensi awalnya, sebagai media bersosialisasi, tempat bertukar pendapat maupun membagikan cerita dan hobi kita. Informasi-informasi yang paling dekat dan berkenaan dengan kehidupan kita sehari-harilah yang menurut saya mestinya menjadi konten bermedia sosial sesuai dengan kapasitas awal platform tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?