Kelas Menengah Gudang Garam

 

orang-merokok.jpg (1200×778) (wordpress.com)


Beberapa bulan lagi rumahnya bakal didatangi banyak tamu. Akan ada pesta besar semalaman suntuk. Seisi desa berbondong-bondong turut mempersiapkan acara itu. Dan Bapak-Tua itu tak ingin mengecewakan siapapun. Meski pandemi masih eksis, itu bukan apa. Putra pertamanya tetap akan melangsungkan pernikahan di tahun depan. Bapak-Tua itu optimis hari akan semakin membaik. Kondisi segera pulih dan semua orang dapat berkumpul merayakan pengantin baru. Segala perintilan tradisi pernikahan kejawen harus masuk daftar “rampung”. Setidaknya sebulan sebelum hari-H tiba. Biaya tak menjadi hal. Prinsipnya, yang penting semua lancar dan banyak orang bersenang-senang.

Bapak-Tua itu adalah tipikal pria loyal. Ia tak peduli apapun—termasuk uang—jika itu demi kepentingan lain yang menurutnya lebih esensial, “Kenapa tidak?”

Suatu ketika, ia menyuruh putranya untuk membeli sepasang cincin pernikahan secara langsung. Ia bersedia merogoh uang berapa saja, asal putranya memilih cincin yang terbaik. Sebagai anak yang musti menuruti kata ayahnya, lelaki muda itu manggut-manggut saja. ia tahu, toko emas di masa pembatasan sosial sekarang ini mengharuskan pelanggan mengantre dengan menjaga jarak. Hal itu memakan waktu yang lama. Sehingga ia memutuskan untuk memilih cincin melalui katalog yang digelar di akun media sosial toko tersebut.

Namun, si Bapak-Tua berkukuh untuk menyuruh anaknya datang dan memilih langsung. Sulit baginya untuk percaya pada gambar yang diperlihatkan di layar ponsel. Tidak ada yang tahu itu asli atau tidak. Katanya. Namanya membeli sesuatu ya harus datang langsung ke toko dan membayar tunai saat itu juga. Pembelian melaui internet tak memberikan kepuasan baginya, lebih tepatnya, ia tak mau menaruh percaya.

Ketidakyakinannya pada kebaruan-kebaruan cara hidup masa kini tak hanya sekali saja. masih dalam momen mempersiapkan pesta pernikahan dan membeli barang. Saat itu ia pergi bersama keluarganya untuk mencari pakaian batik. Pertama masuk toko, tanpa melihat-lihat terlebih dahulu, ia meminta salah satu petugas penjaga toko untuk mencarikan batik yang ia mau. Batik motif Truntum. Kainnya harus tebal. Penjaga toko menyarankan kain yang menurutnya berkualitas cukup bagus dari sisi kenyamanan memakai, kainnya mampu menyerap keringat dan ringan. Bapak-Tua itu mengerutkan dahi. Kain yang bagus menurutnya adalah yang tebal.

Soal kepemilikan barang, Bapak-Tua itu pun tak mau berganti-ganti layaknya orang masa kini. Satu barang akan ia kenakan sampai sudah benar-benar tak layak. Meski terlihat kolot, ia termasuk konsumen yang setia atas suatu produk. Sekali menemukan merek yang kualitasnya cocok dengan selera, itu yang terus dipakai. Butuh waktu lama untuk berpindah haluan. Bapak-bapak ini masuk dalam kategori konsumen settler. Ia hidup dalam kemapanan ekonomi dan bertahan di zona nyamannya.

Ibarat rokok, pria tua yang juga perokok aktif ini, adalah rokok. Sama seperti merek primadonanya: Gudang Garam, ia sendiri sama seperti merek produk itu. Klasik.

Tidak ada yang bisa mendebat. Akhirnya kain motif Truntum teballah yang tetap menjadi pilihan.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?