Pesan
Kemarin sore dalam perjalan pulang dari rumah
Simbok, sebutan untuk nenekku, aku naik motor dengan ibu ke arah barat. Saat itu juga, aku
tak bisa lepas pandang dari bulatan cahaya oren. Matahari sore itu seperti
tak berhenti melihatku. Seperti punya suara. Sedang aku mencoba mendengarnya
melalui indera mata. Aku bahkan menyetir motor tanpa kesadaran penuh. Kami
melaju mengikuti jalan menikung, berliku ke arah kiblat. Aku terpana. Setiap
hari aku terpana melihat rupa-rupa matahari. Tak pernah kutemukan matahari seindah
hari itu dengan hari lain. Pun dengan matahari hari ini, hari esok dan esoknya
lagi. Setiap hari bagiku pesonanya tidaklah sama. Semua tampil dalam versi
terbaik.
Pada sebuah tanjakan di bawah pohon trembesi
aku berhenti. Mengajak ibuku benar-benar memperhatikan pemandangan itu. Ibuku
sekadar mengakui keindahannya, dan seolah merasa keindahan itu milik sang
matahari sendirian. Tidak untuk siapapun yang memandangnya. Ia turun dari
motor. Aku sedikit terhenyak dengan tingkahku sendiri. Tapi aku pura-pura untuk
tidak memikirkan apapun. Lalu tetiba saja ibuku sibuk sendiri memandangi
biji-biji trembesi yang jatuh. Kepalanya mendangak ke atas pada pohon besar
itu. Haha, ia memiliki kekaguman sendiri sekarang!
Sementara aku memotret cakrawala jingga itu,
ibuku memungut biji godril. Kulirik sebentar dan ia berbicara sendiri. Andai
pohon itu miliknya, pasti sudah ia bawa pulang biji yang tercecer sia-sia.
Aku memasukkan ponsel ke dalam tas dan memberi isyarat pada ibuku untuk
melanjutkan perjalanan. Lanskap matahari dalam ponsel sudah kukantongi sekarang.
Karena aku percaya, matahari itu juga milikku. Sedang ibuku tak membawa apapun,
tak ada yang ia anggap miliknya.
Sepanjang jalan aku terus bicara tentang
matahari yang begitu bulat dan tegas itu. Dalam hati, aku ingin ibuku mendengar
kembali suara itu. Suara cahaya yang hampir terbenam itu. Sesekali tertutup
semburat awan, cahaya itu tak behenti berteriak dengan tatapan berkobar. Dan
aku seperti dalam perjalanan membuntutinya untuk mencari
sebuah kepastian. Iya, di sana aku seperti mendengar kepastian yang didamba
oleh seluruh manusia. Tapi ternyata, saat akan sampai rumah, aku tak juga
sampai pada matahari itu. Ia terbenam dan hari berganti malam begitu cepat.
Belum sempat awan benar-menar menutupinya secara lengkap, ia sudah dengan
sendirinya pergi.
Terlintas dalam bayanganku wajah Simbok. Tadi
siang kami menjenguknya. Sebab kini badannya ringkih. Ia mengeluh sering
sempoyongan selepas bekerja. Perempuan tua itu barangkali tak mengakui kerentaannya.
Ia masih terus berkegiatan. Berkebun, membuat tempe, mencari kayu bakar,
mencari pakan ternak dan segala pekerjaan yang bisa ia sambut. Aku tahu semua
itu ia lakukan untuk mengalihakn segala macam pikiran yang menggelayuti hari
tuanya. Aku tahu. Hingga pikiran itu menjalar dari kepala ke tubuhnya yang
kurus. Tapi aku juga tahu, ia setangguh kobaran cahaya matahari itu...
-
Beberapa hari ini aku terpikir soal bagaimana
kita, manusia, terkoneksi dengan alam. Tentang suara-suara yang terus berusaha
berbicara pada kita. Tapi karena kebisingan dunia, kita tak pernah bisa
mendengarnya.
Setiap saat aku melihat langit. Setiap saat
juga aku mendengar sesuatu yang tak bisa kudengar. Aku yakin ada bagian dalam diriku yang mendengarnya.
Jika tidak, mengapa tetiba kepalaku reflek mendongak tepat ke arah bulan? Atau
kadang ke arah bintang? Atau ke arah gumpalan awan yang membentuk suatu isyarat
yang tak terungkapkan oleh kata apapun? Pola-pola itu kurasa membentuk sebuah pesan.
-
Ini musim panen bagi petani di desaku. Selama
menunggu hari baik untuk panen, mereka sibuk memasang segala macam benda di
sawah untuk mengusir koloni burung yang menyerbu padi. Orang-orangan sawah,
kaleng bekas, kaset bekas, umbul-umbul, hingga memasang jaring di setiap petak
sawah. Pagi siang sore mereka disibukkan dengan mengusir burung-burung yang mencari
makan.
Beberapa petani mengusir dengan cara ala
kadarnya. Burung-burung itu hanya makan dan tidak akan banyak merugi apabila
mereka membiarkannya. Namun beberapa petani lain menganggapnya sebagai sikap
pasrah. Peluh yang mewujud dalam sebutir padi terlalu berarti untuk sampai ke
perut burung-burung yang seperti tak punya kenyang.
Ibuku, serta kebanyakan petani didesaku memilih
sikap itu. Enggan membiarkan padinya berceceran tak utuh. Atau setidaknya,
sedikit saja ia merugi. Aku sekadar membantu pergi ke sawah dan melihat
burung-burung itu memakan biji padi. Itu juga milik mereka. Tapi aku tak
mengatakan apapun pada ibuku jika aku mengijinkan mereka memakan padi. Bukan
naif. Aku hanya malas berteriak-teriak di tengah sawah.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.