Menengok Batas dalam Diri yang Melindungi



Begini. Selama ini yang kukenal, aku punya berlapis-lapis ruang pembatas tebal yang mengelilingi diriku. Dan kupikir tak hanya aku. Semua manusia yang hidup dan banyak bicara ini, pun memiliki batasan itu. Setidak-tidaknya. Tidak semua orang dapat menembusnya. Tak semua orang pantas, kau semua harus tahu itu. 

Seseorang merasa mengenalku, bahwa tabiatku begini atau begitu. Tabiat itu bukan berarti tepat seperti bagaimana diriku sendiri mengenal diriku. Bisa sama sekali meleset. Ini sangat wajar. Jangan mengerutkan dahi. Setiap dari kita—manusia yang sulit membuka telinga ini—memiliki warna dan lakon hidup masing-masing. Kita bertumbuh dalam petak tanah kita sendiri. Mana mungkin semua sama rata?! 

Jika kau inginkan yang sama, tak ada yang bisa kau lakukan selain berebut. Potensi konfrontasi. Dan kau tahu sendiri, kita ini sebagai manusia tak pernah mau ada konflik. Hidup terus dan teruslah dalam kenyamanan, bukan? Jadi ketika seseorang mengenalku, menginterpretasiku, aku mafhum. Begitulah diri di mata mereka. Begitulah senyata-nyatanya. Dan begitu sebaliknya, tak usah bersungut-sungut jika saja definisi orang lain atas dirimu berbeda dengan apa yang kau lihat pada dirimu. Perlu kau ingat lagi bahwa esensi kenyataan tak hanya satu. Perlu kau tanya juga barangkali, sudah tepatkah diri mengenal diri sendiri? Bahkan saat kau bercermin, tangan kananmu berada di sisi kirimu... 

Mungkin, misal, seseorang mengenalku sebagai manusia brangasan, kriminil, semaunya sendiri, tak taat aturan, atau kata sifat sepadannya. Aku menerimanya dengan sangat-sangat tersenyum lebar. Bagaimana tidak? Itu benar! Barang kali di satu latar dan momen kehidupanku (dari banyak momen yang kujejaki), ia melihat aku sedang mengumpat atau melanggar tata tertib buatan manusia. Dan berdasarkan kesepakatan bersama, definisi kata sifat kriminil itu adalah pelanggaran terhadap hukum, tak mengikuti peraturan. Nah, itu di luar kontrolku. Konsensus terlanjur melekat di benak masing-masing. 

Atau barangkali bagi seseorang dan orang lain lagi aku ini kaku, tertutup, anti-sosial, sibuk dengan dunianya sendiri? Sebab padanya telah tertancap, “sosial” adalah yang tahu segala apa yang terjadi dalam kehidupan orang lain. Urun rembug dalam segala seluk beluk masalah dia dan dia dan dia. Sepele atau serius, bahkan kepedulian sudah ada definisinya. Hanya karena aku tak mengatakan dan menguliknya, klaim-klaim mengalir atas diriku. Namanya hak. Aku menerimanya dengan sangat-sangat tersenyum lebar. Bagaimana tidak? Itu benar! 

Lalu di latar momen lain, seseorang lagi mengenalku sebagai manusia militan, tertib, manut and so on. Katanya aku sangat menggebu-gebu terhadap sesuatu dan manut pada segala tatanan yang ada di suatu tempat. Aku menerimanya, tersenyum lebar dan itu benar! Berdasarkan apa yang dia lihat dan pahami jauh di belakang tempurung kepalanya, definisi militan adalah seseorang yang berhaluan keras. Penuh pengabdian. Pemahaman itu melekat padanya atas diriku. Bagaimana caranya aku menuntut untuk menidak? 

Kemudian di satu latar dan momen lain lagi. Ah, lihat hidup ini penuh dengan momen ya, anyway... Seseorang lain mengenalku sebagai manusia lemah, people-pleaser, mudah dimanfaatkan, terlalu polos dan seterus-terusnya. Sebab di satu latar momen, beliau melihatku sedang berkata “iya-iya”. Dan jauh dalam lubuknya, sekarang atau nanti aku akan menanggung derita. Oh, baiknya, beliau mengasihaniku. Sebab aku tak dapat mengungkap alasan dari segala yang kubuat, atau mungkin beliau yang tak menangkap alasan dari pedalaman diriku. Dan definisi kuat baginya berbeda denganku. Aku menerimanya dengan sangat-sangat tersenyum lebar. Bagaimana tidak? Itu benar! 

Pernahkah kau dengar, seorang seniman berkata kasihan adalah wujud lain dari kesombongan? Ingin sekali kukatakan, mengasihani sama artinya kau merendahkan. Tak apa jika kau mau kata sifat itu melekat. Dan merendahkan itu sah-sah saja. Tentunya agar diri ini lebih tinggi. Hmm, benar-benar... manusia melihat dunia sebagai sebuah pertempuran antara menang dan kalah.  Tapi tak apa, sombong juga perlu. Hidup kan harus seimbang dan tidak hitam putih? 

But the point is, can’t you see? Manusia-manusia memiliki interpretasi yang berbeda. Dan jika dilihat dari momen yang mereka lihat, semua punya alasan untuk dikatakan benar. Sayang, benar menurut siapa?? 

Lantas, tak berarti dunia ini adalah hari kebalikan seperti di serial Spongebob! Kalau ada yang berkata aku itu lemah, aku harus keras? Jika katanya aku tertutup, aku harus terbuka? Yang kutahu, maaf harus kuungkapkan, bagiku hidup tidak semenye-menye itu. 

Oh, manusia yang budiman dan banyak maunya, mari sejenak kita sareh sumeleh. Tarik nafas dalam-dalam dan anggap permisalan di atas sekadar permisalan. Adalah urusanmu jika ada kesamaan rekaan. Kendurkan otot kakumu. And what does life really mean? 

Begitulah lakon hidup. Setiap latar dan momen, diri lah yang menapaki sendiri seutuhnya. Kemudian hanya dalam satu titik yang disaksikan, manusia lain menciptakan definisi atas diri kita. Begitulah. Begitulah. Kita saling menyapa, kadang sambil menancapkan duri, kadang sambil menebar bunga. 

Tapi aku pun—sebagai manusia yang hidup—sungguh memiliki nilai yang kupegang teguh. Punya berlapis-lapis pembatas yang melindungiku. Punya kekuatan yang sangat terang dan memancar dari dalam diri. Begitupun aku percaya dalam setiap diri manusia lain. 

Maka, jika seorang filsuf pernah berkata bahwa manusia lain ialah neraka. Aku setuju. Namun tak serta merta aku mangguk-mangguk. Jika orang lain adalah neraka, apakah kita bagi yang lain juga harus jadi neraka? 

Aku menidak. Bagiku, biarlah. Satu-satunya yang kutahu, aku perlu merawat segala yang melindungiku tadi. Dan esensi dari itu semua adalah bahwa semua merupakan teman. Semua: yang menancapkan duri maupun yang menebar bunga. Tapi, aku sangat mencamkan pada pedalaman diriku, setiap manusia punya pijakannya masing-masing. Dalam setiap interaksi, kita saling bercengkerama saja. Bagiku, adalah sangat-sangat-sangat lancang jika sebagai manusia kita memaksa sesuatu atau seseorang seperti apa yang kita kehendaki persis, apalagi sampai mindik-mindik mendekat dan mencubit ginjal orang lain. Hehe.. kau ini siapa? 

Perlu untuk diri ini tahu, siapa, dimana dan dengan apa gerangan manusia lain mengenal kita. Namun kita pun tetaplah menetap bersama batas pelindung kita. Entah seseorang mengenal kita hampir dekat dengan lapis pembatas, atau sangat jauh di luar pagar, atau jauh sekali di balik bukit, atau begitu jauhnya dari atas langit. Melihat dan mengenal kita menggunakan mata telanjang, kacamata, sedotan atau teropong. Kita sangat perlu tahu itu. Begitupun sebaliknya, diri pada yang lain. Saling. 

Maka, mbok sing sareh lur, sedulur... urip sak madyone wae. Karena saat ini nampaknya aku jemu juga soal hal ini dan ingin bicara satu-satu. Tapi hidup ini sibuk, banyak urusan. Kita kan bertemu untuk saling tertawa saja. Tak mengapa, memanglah refleksi itu datang pada sedikit momen dalam hidup kita. Hidup ini adalah ladang bermain dan bergembira bukan? Oh, bukan? Kalau begitu apa? Ya, kau akan tahu “adalah”mu sendiri. Dan biarlah kita saling menyambangi dan memaklumi. Ah, biarlah kita semua tetap berteman sampai di sini. Sampai di pagar rumah masing-masing, dan kamar kita: hanya kita yang memasuki. Jangan salah kamar! 

Rasa-rasanya lakon hidupku, juga lakonmu mungkin, dirundung banyak sekali pertanyaan. Sampai bikin kalut dan jalan jadi limbung. Kadang dunia—yang materi ini—rasanya gelap dan suram. Sekecap mulut manusia lain bicara, pertanyaan di kepala tidak ada habisnya untuk sepekan hidup. Pikiran itu menggelayut dan tak akan hilang dalam sekali pejaman mata pada dini hari. Wah, wah, betapa hebat perkataan manusia. Karenanya aku menepuk pundak diri sendiri. Syukur aku kalau bicara terbelit-belit dan kaku. Jadi jika perkataanku menancap tepat di benak seseorang, kuharap itu hal baik. Kalau itu buruk, kuharap kata-kata itu akan tersendat-sendat bersama prasangka baiknya. Nah, lagi-lagi watak si manusia penghindar konflik muncul. 

Kata-kata itu kuat sekali. Dengan bahan bakar pikiran jenuh mereka punya kekuatan untuk menyedot habis energi dalam diri. Maka aku katakan pada diri sendiri, bangkitlah! Juga pada diri yang lain, bangkitlah! Tak perlu memayah-mayahkan diri sendiri. Hidup dan tetek bengek relasinya yang semrawut bukan tanggung jawab kita jika kita telah mengungkap diri sejujur dan sewajarnya. Jika kita telah tampil sebagai diri sendiri, interpretasi biarlah interpretasi. 

Untuk itu aku percaya, kita semua—manusia yang banyak maunya ini—punya lapis ruang pembatas. Batas-batas itu melindungi kita dari tatapan dan mulut-mulut yang berduri. Sadari penuh. Rawat batas itu baik-baik! Tetaplah hidup dan menghidupi. Begitu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?