Senyum Tanpa Suara


Pandangan gadis bertubuh mungil dengan rambut lurus terurai sebahu itu sebenarnya tak lepas dari pemuda yang duduk di kursi sebelahnya. Mereka tak saling kenal, tetapi tak asing satu sama lain karena sudah hampir dua tahun mereka selalu bertemu di dalam bus yang sama ketika berangkat sekolah. Gadis itu sudah seperti seorang intel yang terus mengamati setiap gerak-gerik korbannya. Barangkali merasa risih karena terus diperhatikan, sesekali pemuda itu menoleh ke arahnya dan gadis dengan name tag Kayla Arsyda pun berpura-pura mengalihkan pandangan ke arah jalan atau membaca buku bahkan memejamkan mata seolah ia sedang tidur. Pemuda itu tersenyum tiap kali melihat tingkah lakunya, namun Kayla tak menyadarinya.
Hampir setiap hari ia melihat pemuda yang terlihat sebaya dengannya itu menaiki bus dan duduk di kursi yang sama dengan penampilan yang sama pula. Pemuda itu selalu menggunakan jaket berwarna merah, celana abu-abu SMA, earphone yang tersumpal di telinganya, dan terkadang sebuah buku tebal dibacanya-entah buku apa.
Kayla tersentak ketika tiba-tiba Salsa menepuk pundaknya dan beranjak berdiri. Kayla pun dengan cepat memasukkan buku catatan Antropologinya yang sejak awal menaiki bus sampai akan turun  belum juga terbaca olehnya. Padahal jam pertama nanti akan ada ulangan mata pelajaran tersebut. Namun, dia sama sekali tak merasa khawatir. Ia adalah tipikal pelajar yang terlalu santai. Jarang sekali ia terlihat benar-benar belajar di depan buku dan menghafalnya sampai khatam seperti para juara di kelasnya. Entah karena malas belajar atau pasrah pada kemampuannya atau bahkan keduanya. Kayla tak begitu peduli. Beruntungnya, sejauh ini ia selalu masuk ranking lima besar di kelasnya. Ia tak mau tahu mengapa dan bagaimana ia bisa seberuntung itu.
“Kalau kamu gak turun juga tidak apa-apa La,” bisik Salsa dengan nada menyindir sembari melirik pemuda yang sedari tadi tak lepas dari pandangan Kayla.
Kayla pura-pura tak mendengar perkataan sahabatnya itu. Lantas dengan susah payah ia berjalan menuju pintu bus sambil berteriak, “Pertigaan SMA, Pak!”
“Yo! SMA! Awas-awas Mas, Mbak kasih jalan, kasih jalan!” teriak sang kenek bus dengan mengulang-ulang perkataanya sambil mengetuk kaca bus dengan sebuah koin sebagai intruksi  kepada sopir untuk memberhentikan busnya.
“Bentar-bentar! Rombongan-rombongan! Gak bisa lewat!”
Kali ini kenek bus turun tangan untuk mengatur posisi penumpangnya yang berdiri. Kayla dan Salsa tidak bisa lewat karena begitu berdesak-desakkan. Dengan kasar kenek bus mendorong penumpang yang berdiri dan berdesak-desakkan untuk bergeser ke depan agar mereka berdua bisa turun. Seorang kenek bus acap kali bertindak semaunya kepada penumpang seolah  mereka adalah binatang ternak. Kayla mendengus kesal.
Dan akhirnya mereka bisa bernapas lega setelah turun dari bus yang penuh itu. Salsa tak henti-hentinya mengumpat. Gadis berpenampilan tomboi itu bahkan menyalahkan Kayla.
“Demi apapun, aku tidak akan naik bus tua itu kalau bukan ajakan darimu! Pengap, bau keringat, keneknya kasar pula!”
Kayla merespon keluhan sahabatnya hanya dengan mengelap peluh di keningnya dengan tangan dan berkata, “Tidak satu kali saja kan kita naik bus itu, lagi pula semua bus juga keadaannya seperti itu, Sal.”
Salsa memicingkan kedua matanya ke arah Kayla. “Ah iya, kamu berkata seperti itu, karena ada udang di balik batu.”
Kayla lantas melipat kedua bibirnya menjadi satu garis lurus dan menaikkan kedua alis tebalnya. Salsapun berdecak kesal.
Kayla sendiri sebenarnya tidak suka dengan keadaan bus yang melebihi muatan seperti itu. Selain membahayakan, kondisi bus yang berdesak-desakkan sangat tidak nyaman serta rawan tindakan kriminalitas. Bagaimanapun,  pada pagi hari semua orang akan pergi untuk memulai hari mereka. Mereka seolah berpacu pada matahari yang semakin meninggi. Semakin matahari naik, semakin mereka tergesa-gesa. Maka dari itu, tak peduli sepenuh apapun bus yang ada, mereka akan naik  agar tidak terlambat ke tempat tujuan.
Kayla bersama Salsa berjalan menuju gerbang sekolah dengan langkah gontai. Setibanya di depan tangga mereka saling melambaikan tangan dan berjalan melewati koridor menuju ruang kelas masing-masing. Walaupun sempat mengalami perselisihan kecil, kedua gadis itu tak terlalu menyimpannya ke dalam hati. Mereka bersahabat cukup lama dan sudah memahami karakter satu sam lain.
Sejak di bangku SMP mereka bersekolah di sekolah yang sama dan juga kelas yang sama. Ketika memasuki bangku SMA, mereka memutuskan untuk bersekolah di sekolah yang sama pula. Namun, mereka memilih program yang berbeda.
Salsa adalah kelas sebelas program Ilmu Sosial sedangkan Kayla kelas sebelas program Ilmu Bahasa dan Budaya. Walaupun berbeda kelas, kebetulan jarak ruang kelas mereka tidak terlalu jauh, terpisah oleh satu lapis atap saja.
Salsa pernah berkata, “Aku suka mapel Sejarah, dan kelak aku ingin menjadi seorang hakim.”
Sebenarnya itu adalah sebuah alasan yang sama sekali tidak berkesinambungan, namun cukup masuk akal.
Kayla sendiri tidak suka dengan Matematika, baik mata pelajaran ataupun gurunya. Seperti terdapat kutukan turun-temurun bagi para pengampu mata pelajaran itu. Entah mengapa ia sendiri merasa sangat terpuruk ketika mengadapi mata pelajaran yang menjadi momok para pelajar kebanyakan itu.
Karena begitu tidak sukanya pada Matematika, ketika SMP ia pernah bertanya langsung pada gurunya,“Sebenarnya apa tujuan utama Matematika, Pak? Angka-angka itu diam saja tapi mengapa kita harus bersusah payah mengolah-olahnya dengan rumus?”
Kayla menutup kedua matanya mengingat hal itu.
Maka dari itu, ia mengambil program yang ia pikir tidak ada mata pelajaran terkutuk itu. Menurutnya itu adalah alasan terkonyol yang pernah ia pikirkan.
Sekarang ia merasa sedikit kecewa. Bukan kecewa karena salah mengambil jurusan, tetapi karena ia baru menyadari bahwa ternyata Matematika adalah mata pelajaran wajib dan semua program mendapatkannya. Tetapi, disisi lain ia merasa beruntung karena setidaknya ia tidak mendapatkan mata pelajaran Fisika yang menurutnya jauh lebih rumit dari Matematika. Sekarang ia menyukai dunia literasi dan bercita-cita menjadi seorang novelis. Ia bersyukur karena ia tidak salah masuk kandang seperti teman-temannya yang sering mengeluh tentang hal itu.
“La, fokus ulangan ya! Jangan fokus ke bus terus!” Teriak Salsa dari lantai atas.
Kayla melangkah masuk ke dalam ruang kelasnya dengan wajah tersipu. Bayangannya jauh menerawang pada pemuda di bus itu. Ia sendiri bingung, ada apa dengan dirinya.
Ia bukanlah seperti kebanyakan gadis SMA lainnya. Teman-teman sebayanya mengoleksi lagu-lagu, drama dan film paling hits, ia mengoleksi novel-novel yang belum dibacanya. Teman-temannya membicarakan tentang kisah cinta manis mereka, ia membicarakan tentang kehidupannya yang begitu-begitu saja. Diantara teman-temannya, hanya dia yang belum pernah memiliki kekasih. Ia bahkan belum terlalu mengerti apa itu jatuh cinta yang katanya terjadi pada usia-usia seperti dirinya.
Tentang pemuda itu, ia tak tahu-menahu apa yang sedang terjadi pada dirinya dan ia hanya melakukan apa yang ingin ia lakukan saja.

* * *

Dua bus sudah lewat di jalan raya depan warung Mbak Win, tempat Kayla biasanya menunggu bus untuk berangkat sekolah. Ia sengaja tidak menaiki kedua bus itu karena memang ada satu bus yang ia tunggu-tunggu.
Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Tanpa harus melambaikan tangannya, bus itu sudah berhenti di dekatnya karena ia sudah berlangganan. Ia menaiki bus lalu melihat sekeliling mencari tempat duduk yang kosong dan tidak ada. Alhasil ia harus berdiri.
Kayla berinjit-jinjit dan seperti sedang mencari sesuatu. Ia mencari pemuda itu.
Biasanya pemuda itu duduk di kursi paling belakang pada sisi kiri. Namun, kali ini ia duduk di kursi depan. Kayla menghela nafas. Ia melihatnya duduk dengan seorang ibu paruh baya yang memangku tas belanja besar. Kayla mendelik dan menyibakkan rambut poni yang menutupi telinganya. Sejauh ini tak ada pembicaraan antara mereka.
“Turun di mana dek?” Tanya ibu itu.
Pemuda itu hanya menjawab pertanyaan si ibu dengan senyuman. Ibu itu tersenyum kikuk dan dahinya yang memang sudah keriput itu bertambah keriput karena ekspresinya.
Setiap kali Kayla melihat pemuda itu, ia merasa penasaran dengannya. Ada sesuatu dari pemuda itu yang ingin dimengerti olehnya. Kayla sendiri tak tahu.
“Pak, pasar!” Teriak ibu paruh baya itu.
Ia pun beranjak berdiri dan akan turun di pasar.
Setelah ibu itu turun, bangku sebelah pemuda itu kosong dan di bus itu hanya Kayla yang berdiri.
Kenek bus berkata padanya, “Di situ kosong, duduk, Mbak.”
Kayla sedikit ragu-ragu. Kenek bus bertubuh gempal itu mendelik padanya. Seorang kenek bus akan merasa kesal apabila penumpangnya tidak mau duduk, padahal ada kursi yang kosong. Sebuah bus akan terus mencari penumpang sampai busnya benar-benar penuh, bahkan sampai ada yang berdiri di dekat pintu. Jadi, bisa dikatakan penumpang harus memanfaatkan tempat yang ada. Akhirnya ia duduk di sebelah pemuda itu juga.
Baru sekali ini setelah dua tahun ia selalu berangkat satu bus dengan pemuda itu, ia duduk tepat di sebelahnya. Tak seperti biasanya, pandangannya justru lurus ke depan atau ke sebelah kanan melihat pemandangan jalan. Ia tak berani mengamati pemuda itu dengan kontras seperti biasanya. Sesekali ia hanya melirik.
Banyak pertanyaan-pertanyaan yang berputar di otaknya. Ia ingin bertanya siapakah namanya, ia kelas berapa, sekolah di mana, mengapa ia selalu memakai jaket dan tidak pernah menampakkan identitas sekolahnya, mengapa ia selalu tersenyum ketika ditanyai serta tidak pernah terlihat mengobrol dan berbagai pertanyaan yang ia simpan selama dua tahun ini ia mengamatinya.
Kayla hanya membuka dan menutup kancing tas yang dipangkunya. Ia menunggu kata-kata yang keluar dari mulut pemuda itu. Sedangkan pemuda itu membaca buku. Rasa ingin tahu Kayla memaksanya untuk melirik apa judul buku yang dibacanya. Ketika melirik, pandangan Kayla bertemu dengan pemuda itu. Seketika pemuda itu tersenyum kepada Kayla tanpa ada rasa canggung. Kayla lantas membalas senyuman itu dengan kikuk.
Kayla tidak berani lagi menatapnya. Pandangannya terus menoleh ke arah pemandangan jalan sebelah kanannya sampai akhirnya ia turun dari bus.
Setelah turun ia merasa begitu menyesal karena tidak bertanya. Ia melambaikan tangan cepat di depan wajahnya seolah mengapus segala hal tentang pemuda itu. “Sudahlah, itu tak penting,” gumamnya.

***
Hari itu matahari seolah ingin membuktikan bahwa dirinya benar-benar panas dan mampu membakar kulit siapa saja yang berani berlama-lama berdiri di bawahnya. Kayla pernah berpikir, apakah setiap harinya matahari semakin dekat dengan bumi dan suatu saat nanti akan bertabrakkan lalu seluruh isi bumi akan terbakar seperti dalam film-film tentang kiamat yang pernah ia tonton. Kayla sama sekali tak ingin kulitnya terbakar. Ia bergidik ngeri dan berjalan dengan langkah kaki seribu menuju rumahnya sambil sesekali melirik anak panah terpanjang dari jam tangannya yang masih menunjuk angka sebelas.
Setelah sekitar tujuh menit ia berjalan kaki menuju rumahnya, akhirnya ia sampai. Tak biasanya Kayla pulang dari warung Mbak Win dengan berjalan kaki. Ia biasanya dijemput oleh ibu atau kakaknya. Namun, karena sudah menunggu terlalu lama dan daripada ia pingsan karena menahan dahaga serta suhu yang sangat panas, ia lebih memilih untuk berjalan kaki. Padahal sebelumnya ia telah mengirim pesan kepada ibunya untuk menjemputnya.
Sesampainya di depan rumah, dengan gerakan lemas ia menarik pagar besi rumahnya. Ia berdiri di depan pintu dan agak terheran karena tak biasanya pintu rumahnya tertutup. Ia mencoba membuka pintu rumahnya akan tetapi terkunci.
“Assalamualaikum? Ibu?! Kak Dimas?!” teriak Kayla sambil mengintip dibalik kaca jendela rumahnya. Sama sekali tak ada jawaban yang terdengar.
Ia pun menuju pintu belakang rumahnya. Di dekat pintu itu terdapat sebuah pot bunga Anthurium besar yang biasanya digunakan keluarganya untuk menyimpan kunci jika mereka akan pergi. Ia lantas mengais-ngais tanah dalam pot bunga itu. Namun, tidak terdapat kunci apapun di sana.
Entah mengapa ada perasaan tidak enak di benaknya. Pikirannya menebak-nebak hal buruk yang mungkin terjadi pada keluarganya.
Ia mengambil ponsel di saku roknya dan memanggil ibunya. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Ia mencobanya berkali-kali dan ternyata ia mendengar suara dering ponsel ibunya di dalam rumah.
Kayla meletakkan tasnya dengan kasar lalu ia duduk di teras dan melepas sepatunya. Di depan pintu, ia melihat secarik kertas. Ia meraihnya dan membaca tulisannya. Hatinya berdebar setelah membacanya.
Kayla, ibu ke rumah sakit Medisa. Cepat menyusul,kamu cari di kamar nomor 13...
Ia tak tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia lalu meminta bantuan tetangganya untuk mengantarkannya.
Setibanya di rumah sakit ia lantas mencari kamar di mana ibunya berada.
Terlihat ibu dan kakaknya sedang duduk di kursi ruang tunggu. Kak Dimas berpangku tangan dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kayla berlari ke arah mereka. Ibu memeluk anak gadisnya dengan erat dan terisak. Tak tahu apa yang terjadi, Kayla pun terisak. Satu nama yang ada di benaknya, ayah. Ada apa dengan ayahnya?
“Ayah?” Kayla menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca.
Ibu duduk kembali di kursi tanpa menjawab pertanyaan anaknya.
“Ayah kecelakaan La, ia menabrak seorang pejalan kaki...” sahut Kak Dimas.
“Bagaimana keadaanya?”
“Ayah? Atau pejalan kaki?” Kak Dimas menatap adiknya dengan alis terangkat sebelah.
Kayla memejamkan matanya sekejap. Mengapa dalam keadaan seperti ini sifat menjengkelkan kakaknya itu masih bisa muncul. “Ya ayah lah,”
“Ayah terluka agak parah di bagian tangannya serta kepalanya sedikit terbentur hingga membuatnya pingsan,” kata Kak Dimas dengan muka muram.
“Pejalan kaki itu, sudah meninggal,” lanjutnya.
Mendengar hal itu Kayla merasakan ada hantaman keras di dadanya yang membuat matanya meneteskan air mata.

* * *
Kayla berangkat sekolah tak seperti biasanya. Tak ada semangat di setiap langkah kakinya. Ia masih memikirkan keadaan ayahnya.
Di dalam bus, entah mengapa hatinya juga merasa sedih lagi. Ia tak melihat pemuda itu. Apakah ia menaiki bus lain?
Kayla lalu mengeluarkan novel berjudul Persuasion karya Jane Austen, penulis favoritnya. Ia lantas membacanya untuk menghibur diri. Ia yakin dengan membaca novel sebagian kesedihan yang ada dalam benaknya sedikit runtuh. Ia juga tak pernah bosan untuk membaca berulang-ulang novelnya yang pernah ia baca, terutama novel karya penulis favoritnya itu.
Setibanya di sekolah ia bertemu dengan Salsa di kantin ketika jam istirahat.
“La, kamu hari ini terlihat jauh lebih cantik dari biasanya, tahu? Jadi, agar kamu selalu terlihat cantik, wajah kamu murung terus aja, pasti nanti ada yang melirikmu,” canda Salsa sambil menyenggol lengan Kayla.
Sebenarnya Salsa tahu apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya itu, tapi ia tak mau membahasnya. Ia tahu Kayla adalah tipikal orang yang suka memikirkan sesuatu secara berkelanjutan dan berlarut-larut. Ia juga tidak suka apabila sahabatnya itu selalu murung karena pada dasarnya dirinya sendiri adalah lawan dari orang yang pendiam. Maka dari itu, ia mencoba mengalihkan sedikit pikiran sedih Kayla dengan bercanda.
Kayla terkekeh. Ia menampik tangan Salsa yang sedang memegang satu tusuk sate telur puyuh. Sate telur puyuh malang itu terjatuh dengan anggun karena tampikan tangannya.
“Telurkuuuu...,” teriak Salsa dramatis.
Mereka berdua lalu tertawa lepas. Rasa sedih di hati Kayla tertutup oleh tawa itu. Ia bersyukur memiliki seorang sahabat seperti Salsa.

* * *

Dua hari setelah kecelakaan, setelah ayah Kayla pun sudah siuman, keluarga Kayla berkunjung ke tempat orang yang tertabrak oleh ayahnya. Kedua belah pihak mengambil jalan damai dan tidak mempermasalahkan kejadian itu ke pihak hukum. Ayah Kayla pun berjanji akan menanggung hidup keluarga yang ditinggalkan, seorang ibu paruh baya dengan satu orang lagi anak perempuan kecil berumur lima tahun. Suami ibu tersebut sudah lama meninggal dan membuatnya harus membanting tulang seorang diri sebagai buruh di sebuah pabrik untuk membiayai anak-anaknya.
Ketika berkunjung itu, hati Kayla merasa seperti dikerutuki oleh bebatuan-bebatuan panas yang mencairkan seluruh bendungan air matanya.
“Dia seumuran denganmu, Nak,” kata ibu itu kepada Kayla. Ibu itu menceritakan seluruh riwayat anaknya.
“Dulu, dia selalu malu dengan apa yang ia miliki dan malas pergi ke sekolah, namun, entah mengapa dua tahun terakhir ini dia semangat berangkat sekolah dan alhamdulillah selalu berprestasi, dia-” Ibu itu berhenti bercerita, suaranya tercekat oleh tangis.
Ibu itu menunjukkan sebuah earphone. “Ini yang selalu ia kenakan, ia ingin menunjukkan...”
“Ia ingin menunjukkan, bahwa tanpa suara ia bisa mendengar suara.” Tangis ibu itu pun pecah.
Semua orang menunduk, termasuk Kayla. Ia sangat terisak.
Kayla melihat foto yang dipegang oleh ibu itu dan ingatannya tepat terhenti pada pemuda yang selama ini ia lihat di bus.


Sekarang tanpa harus bertanya lagi, semua pertanyaan yang berputar-putar di benaknya terjawab. Ia pun tahu sekarang, kalaupun ia waktu itu bertanya, pasti hanya senyuman yang tersirat pada pemuda itu. Dalam hati Kayla berdoa, semoga pemuda itu bisa tersenyum dengan suara di surga.



P.S : Cerpen ini awalnya tuntutan tugas sekolah Bahasa Indonesia bab memproduksi cerpen. Kalau gak di share rasanya gatel... juga sekalian buat ngisi-ngisi blog hehe...
kalau mau copas, sertakan link yaa. Terimakasih :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?