Kesadaran Kreatif dalam Komunikasi Kenabian
Meskipun ilmu sosial profetik menjadi upaya
Kuntowijoyo dalam mengimbangi paradigma orientalisme pemikir Barat, bukan berarti kita harus menutup diri dari kerangka keilmuan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana ia memaknai konsep yang terkandung dalam Surah Ali-Imran ayat 110. Ia menafsirkan ayat tersebut sebagai pemantik
ilmu sosial profetik. Ada narasi besar yang diusung, yaitu humanisasi dan
emansipasi (amr ma’ruf), liberasi (nahiy munkar), serta transendensi (tu’min billah). Interpretasi ini tak
hanya berada di permukaan, tapi juga harus mewujud dalam aksi.
Paradigma ini dapat dikatakan sebagai reaksi
atas dampak modernitas—dehumanisasi. Hakikat manusia telah berputar arah sangat
jauh dengan adanya industrialisasi. Martabat tak lebih dari instrumen industri dimana
manusia dihargai sebatas dari produk yang dihasilkan dan semua serba materi. Di
sinilah Kuntowijoyo ingin membawa kembali spirit transformatik keilmuan,
khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Sebab keterbelakangan tidak lahir begitu
saja. Hal itu bermula dari tercerabutnya manusia dari sekelilingnya. Sehingga tak ada koneksi antara ilmu dan realita. Berkaca pada umat Islam dewasa ini, ada
pandangan bahwa ilmu keagamaan justru gaal atau sama sekali tak dapat menyentuh
problem yang terjadi di masyarakat. Ilmu-ilmu agama dikelilingi tembok tebal,
berkutat pada urusan rigit baik-buruk. Dan ketersinggungan makin menjadi-jadi. Masing-masing
tradisi keilmuan itu merasanya nyaman di dalam bilik sendiri. Belum ada
komitmen bersama untuk memperbaiki kondisi masyarakat.
Di sinilah kita dapat menemui poin yang diusung dalam
ilmu sosial profetik: emansipasi umat. Pegangan eratnya adalah kemanusiaan. Ada
semangat untuk mengubah keadaan yang sedang dihadapi menjadi lebih baik, tidak
hanya seperti busa-busa di lautan. Menampakkan diri dan hilang, kemudian
terombang-ambing.
***
Nafas pembebasan itu pun dibawa dalam Ilmu Komunikasi Profetik.
Ilmu ini lahir sebagai upaya melepas
dikotomi keilmuan agama dengan ilmu lain. Komunikasi profetik membawa substansi
yang sama, yaitu humanisasi, liberasi, dan trensendensi.
Agama dan ilmu pengetahuan seringkali dibenturkan. Acapkali
kita mendengar polemik pemikiran antara “islam fundamental” dan “islam liberal”.
Kecenderungan untuk menafsirkan teks keagamaan secara kaku atau menginginkan
islam yang sepenuhnya tekstual, mestinya perlu digali dan ditafsirkan ulang. Lebih-lebih
kita hidup dalam era global di tengah-tengah modernitas. Jawaban problematika
dalam masyarakat masih perlu dicari dan semua itu tentu tak lepas dari sejarah
perubahan peta politik dunia.
Komunikasi profetik sendiri salah satunya lahir dari
peristiwa Isra’ Miraj. Apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad setelah peristiwa
besar itu sebenarnya membentuk satu kesadaran kreatif bagi kita. Hal itu
diungkapkan oleh seorang pemikir Muhammad Iqbal yang mengutip ucapan Abdul Quddus,
seorang sufi besar Islam dari Ganggoh.
Komunikasi sebagai fakta sosial empiris menjadi ceruk
nilai profetik itu dalam ranah akademik. Nalar, akal, rasio dan pengalaman
empiris secara adil ditempatkan sebagai alat tafsir wahyu Tuhan atas realitas
yang ada. Dan wahyu itu pun menjadi sumber terbentuknya konstruk sosial. Nilai-nilai
etis ini dapat dikatakan sebagai nilai universal. Berlaku bagi seluruh umat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.