Menyoal Budaya Menonton Bersama Eric Sasono #Interview





Eric Sasono adalah salah satu pendiri Indonesian Film Society, London, yang menyelenggarakan pemutaran film Indonesia secara reguler di London. Ia menyelesaikan pendidikan doktor bidang kajian film di King’s College, London dan pernah menjadi anggota dewan pengawas Indonesia Documentary Film Centre atau InDocs (2009-2019) dan JIFFest (2009-2011). Menjadi international advisor board Asia Film Award, Hong Kong (2010-2014). Saat ini sedang menyelesaikan buku mengenai film Islam di Indonesia rentang tahun 1960 sampai 2018.

Ia beberapa kali terlibat dalam Festival Film Dokumenter dan kembali menjadi salah satu juri dalam kompetisi kategori Panjang Internasional sekaligus pembicara diskusi dalam DocTalk Platform Daring dan Disrupsi Tontonan FFD 2020.

Saya berkesempatan untuk mewawancarai Eric pada Rabu, 9 Desember 2020, dan berbagi banyak perspektifnya tentang film kompetisi yang ia nilai hingga budaya menonton masa kini.


Sebagai seorang yang sudah banyak berkecimpung di dunia film, bagaimana impresi Anda tentang beberapa film dokumenter yang terpilih dalam kompetisi kategori Film Panjang Internasional FFD 2020 ini?

Secara umum saya merasa banyak sekali inovasi dalam cara bercerita, bahkan sebetulnya model yang lama yang dianggap lazim dalam film dokumenter yaitu ekspositori sudah tidak ada dalam sepuluh film terpilih. Tapi itu bukan berarti bagus. Inovasi tersebut beberapa tidak memiliki cerita yang kuat. Ada kecenderungan untuk menjadi liris atau puitis menurut saya tidak masalah, tetapi dasar ceritanya ada yang menurut saya lemah dan agak susah untuk membela posisi storytelling-nya. Karena menurut saya itu tidak membantu materinya yang lemah.


Bagaimana sebuah film dokumenter mampu mempengaruhi posisi penonton sebagai bagian dari kehidupan sosial?

Persoalannya itu bertanya dalam posisi dia dalam kehidupan sosial politik. Tapi kan tidak semua film dokumenter ditujukan untuk membuat advokasi atau opini yang menginginkan penonton seperti itu. Mungkin kalau dalam film tertentu seperti Aswang, terasa ada aspek yang immediate supaya penonton bersikap terhadap kekerasan politik ekstra yudisial seperti itu. Tapi kalau film seperti Tender misalnya, itu pun sebenarnya fiksi atau dokumenter kita tidak bisa membedakan dan itu tidak penting. Dimaksudkan seperti itu oleh si pembuat film yang lebih banyak melakukan pertanyaan-pertanyaan bersifat sinematik menurut saya.  Konsep ingatan, kenangan, masa lalu, masa sekarang, hal-hal semacam itu yang juga ada di fiksi.


Di era disrupsi seperti sekarang ini, kehadiran new media membuat pilihan menonton menjadi sangat beragam. Orang-orang juga kini memiliki preferensi masing-masing. Menanggapi budaya sinema semacam ini, bagaimana tanggapan Anda? Poin dari disrupsi itu sendiri menurut Mas Eric apa sih?

Menurut saya, bagaimanapun menonton film secara kolektif itu tetap penting seperti distribusi dan eksibisi digital. Meskipun sudah ada fasilitas-fasilitas new media. Terbukti bahwa orang-orang masih ingin pergi ke bioskop. Karena bioskop itu kan orang menyaksikan secara bersama-sama, dalam ruang gelap, dalam situasi yang sifatnya khusus. Itu sesuatu yang tidak bisa didapat dari hanya menonton sendirian di laptop. Misalnya seringkali kita tertawa pada sesuatu yang mungkin tak terlalu lucu kalau kita menonton sendirian. Tapi kalau di bioskop rasanya lebih lucu karena penonton lain ketawa. Itulah aspek afektual. Respons tubuh kita dipengaruhi oleh atmosfer sekitar kita. Itu sesuatu yang tidak bisa digantikan dengan metode menonton secara digital perorangan.

Dengan demikian sebetulnya apa yang terjadi adalah diversifikasi model menonton. Yang membedakan mungkin sekarang model menonton dalam bentuk digital melalui perangkat pribadi, dilakukan sendiri di rumah masing-masing akan menjadi semakin banyak. Biasanya akan ada kecenderungan orang yang menonton untuk sharing di media sosial . Hal itu sebenarnya ingin membangun kolektif juga, ingin mencari afirmasi, mencari solidaritas dalam menonton kalau dia merasa tergerak dengan tontonan, atau semata ingin menjadi bagian dari fandom yang lebih besar. Itu semua tak terhindarkan bahwa menonton film sebagiannya bersifat kolektif. Jadi gak bisa dikatakan semata-mata orang berpindah dari bentuk teknologi digital, seperti streaming dan berbagai macam perangkat,  menonton menjadi persoalan individual.


Dikaitkan dengan budaya menonton saat ini, film-film mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Apakah Anda melihat persoalan lain yang muncul terkait aksesibilitas menonton?

Soal akses, ini sebenarnya kita hidup di zaman yang berbeda. Kalau dahulu, katakanlah dua puluh atau tiga puluh tahun lalu, kita hidup di the age of scarcity yaitu masa dimana segala sesuatu jarang. Sehingga kita mencoba untuk mencari, menemukan, bahkan mengoleksi.

Sekarang adalah the age of abundance, dimana segala sesuatu itu berkelimpahan. Informasi, rekomendasi tontonan, fasilitas dan sebagainya. Tetapi kalau kita memandangnya hanya itu saja, disitu ada bias. Bahwa tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap itu semua. Ada digital divide: perbedaan kemampuan untuk mengakses infrastruktur, juga waktu menonton yang merupakan bagian dari manajemen waktu luang. Tidak semua menggunakan waktu luang untuk menonton.

Semua ini adalah faktor yang mempengaruhi ketersediaan yang begitu banyak. Yang jelas dengan akses sebanyak itu, maka rekomendasi menjadi lebih penting. Hal yang selama ini menjadi patokan itu bisa jadi berubah. Misalnya selama ini orang mengandalkan pada familiarity yang dasarnya adalah genre.

Orang akrab dengan genre action, horor dan lainnya. Sekarang orang sudah berpikir berbeda, memilih rekomendasi berdasarkan algoritma atau rekomendasi teman. Kalau dalam musik itu sudah terjadi dengan adanya playlist, kita tidak mencari band tertentu tapi mengikuti playlist tertentu. Yang menentukan pola industri sekarang. Ini yang mengubah preferensi orang, preferensi jualan, preferensi musisi, bahkan mempengaruhi estetika.

Dalam film juga demikian. Misalnya bagaimana genre berubah. Orang tidak lagi mengikuti apakah ini fiction, action, ataukah ini genre apa, hal itu longgar sekali sekarang. Padahal itu dulu menjadi hal yang begitu penting, pendefinisiannya begitu ketat. Jadi kalau bicara akses dan penonton kita masih bicara begitu.


Terkait akses bagi difabel bagaimana?

Kalau bicara dengan orang-orang yang memiliki fungsionalitas tubuh yang berbeda, menurut saya itu faktor yang lain lagi. Metodenya juga sampai sekarang itu masih belum ada, belum menjadi sesuatu yang dianggap menjadi bagian dari estetika produksi. Orang masih membuat film dengan asumsi bahwa manusia bisa mendengar dan melihat, baru kemudian dilengkapi dengan sesuatu yang berbeda. Masih dengan asumsi bahwa manusia masih bisa berjalan pergi ke bioskop. Asumsinya masih asumsi mainstream yang digunakan dalam produksi.

Kita tidak bisa bicara peningkatan akses sebelum asumsi yang minor ini dimasukkan dalam bagian dari produksi. Artinya, ada film yang dibuat untuk orang yang bisa melihat, ada film yang dibuat untuk orang yang tidak bisa mendengar, kan gak ada.


Adakah catatan penting Anda soal nasib film, khususnya dokumenter di tengah situasi seperti sekarang ini dan kedepannya?

Fenomena ini masih sangat baru. Kita masih melihat bagaimana platform-platform daring yang sudah ada. Bagaimana pola-pola yang terjadi dan bagaimana mereka kewalahan menampung ledakan kunjungan dan pemrograman pada saat pandemi seperti ini. Misal, Viddsee kewalahan dengan aplikasi festival. Festival Scope tiba-tiba meledak dengan aplikasi untuk membuat festival bersama mereka. Platform daring ini mengalami hal seperti itu. Akhirnya, menurut saya kedepan ini akan menjadi lebih stabil dalam melakukan The Long Tail, seperti yang dikatakan Chris Anderson.

Dia memperpanjang distribusi, usia film. Tetapi apakah ada budaya yang berubah, atau sejauh apa dia akan terus bertahan, masih sangat ditentukan oleh banyak hal terkait pandemi. Tidak hanya oleh kultur menonton itu sendiri. Tetapi juga bagian dari kultur bepergian, kebijakan-kebijakan terkait kesehatan dan seterusnya.

Sekarang bioskop sudah mulai dibuka, orang mulai datang, tetapi orang sangat berhati-hati dalam menonton. Menurut saya selagi kondisi angka infeksi masih ribuan, itu masih terjadi. Sebetulnya ada upaya-upaya alternatif seperti drive in, atau misalnya sinema di dalam tenda. Tetapi bisa dibilang belum berhasil karena kualitas suaranya yang jauh. Jadi akhirya orang masih ke online

Ini pun seperti yang saya katakan tadi, bahwa tidak semua orang punya waktu luang untuk menonton. Dan ini semakin menyulitkan, karena lebih mudahnya orang berpindah pilihan. Berbeda dengan orang yang berniat pergi ke bioskop, beli tiket. Itu kan protokolnya adalah protokol going out. Ada prosedur untuk menonton yang dijalani sebagai sebuah ritual. Menurut saya ritual itu masih belum kembali  dalam waktu cepat. Kebiasaan menonton itu tidak bisa membangun ritual yang sedemikian kuat. Itu yang menurut saya masih perlu perumusan ulang kedepannya.


Cerita yang kuat itu yang seperti apa?

Aswang adalah cerita yang kuat menurut saya. Juga Nan dan La Vida en ComĂșn. Cuma saya bayangkan misalnya Yu Gong, itu sketchy banget. Tentang masuknya China di Afrika, kemudian dia mengumpulkan footage-footage dari berbagai negara, interview dan membuat kesan yang mitologis dan puitis dengan mengulang-ulang kisah tentang Yu Gong. Menurut saya dia bercerita tentang sesuatu yang berulang-ulang tanpa ada progresi terhadap cerita. Isinya keheranan orang Eropa Jerman terhadap masuknya China di Afrika. Itu 40-50 tahun yang lalu terjadi juga ketika kita semua heran dengan orang Eropa masuk ke Asia. Terus sekarang dia yang kaget. Klise.

Matanya masih menganggap bahwa kalau Eropa itu normal-normal saja masuk ke sana, sedangkan kalau China harus dipertanyakan. Menurut saya itu satu pandangan yang masih berbau kolonialis. Itu kritik poskolonial terkait itu.

Atau misalnya juga film spanyol Malditos. Film itu bayangan saya seperti Big Brother aja. Kalau gak ada filmnya, gak ada event juga. Semua disusun untuk keperluan sinematis. Akhirnya konfliknya dibuat sedemikian rupa, dibikin latar belakang cerita. Menurut saya dia tidak fair terhadap tarian. Tarian yang menjadi bagian utama pertunjukan itu diedit untuk keperluan narasi sedemikian rupa. Sehingga tidak menyenangkan nonton tariannya. Atau bahkan tidak menimbulkan kesan apa-apa. Semua untuk kepentingan narasi. Bagi saya itu ceritanya tipis. Cerita secara visual juga biasa-biasa saja, secara tema juga tidak ada yang baru, tidak immediate sama sekali.

Sebaliknya dengan Aswang yang sangat immediate, extrajudicial killing, dan menggambarkan makna ketakutan bagi sebuah bangsa. Bagaimana melawan ketakutan itu secara bersama-sama, bisakah itu dilakukan? Itu semua kan pertanyaan yang penting sekali ya, karena berkaitan dengan hal yang nyata setiap hari. Itu kan sesuatu yang menurut saya immediate sekali untuk diceritakan. Kita di manapun di dunia bisa relate.

Apalagi dokumenter seperti yang disebutkan sebagai makhluk sosial ketika menonton, ya memang pada saat seperti itulah kita berpikir juga. Misalnya dalam konteks Indonesia itu kayak apa, kaitannya dengan ekstra yudicial killing atau apapun. Itu kan mirip tahun 1983, pernah dilakukan di Indonesia terhadap kriminal.


Bagaimana Anda melihat perkembangan FFD? Apa yang patut diapresiasi dan apa yang perlu dibahas ulang?

Dulu itu selalu ada kesan pemakluman di FFD kalau berjalan dengan tidak lancar, karena ini adalah kegiatan komunitas, kegiatan student. Ini diakui oleh pelaksana maupun pendiri FFD. Ini kan tempat belajar, gapapa lah salah-salah. Etos semacam itu ada.

Sekarang saya melihat itu sudah jauh berkurang sebetulnya, sejak 2016 saya ke sana terakhir. Sebenarnya sejak 2012 sudah kelihatan FFD sudah mendapat kepercayaan begitu besar dari komunitas film. Sejak 2002 pertama kali dibuat sampai sepuluh tahun di tahun 2012, event-nya agak besar sampai ada eksibisi-eksibisi luar ruang.

Kemudian tahun 2016 pelibatan seni rupa untuk mendesain merchandise. Itu semua jauh sekali bedanya ketika FFD 2009, ketika saya masih juri. Meskipun semangat komunitasnya masih. Artinya ini community based festival yang menurut saya sudah mendapat kepercayaan yang cukup besar dari kalangan film tidak hanya di Indonesia. Karena selalu ada juri internasional. Lalu ada filmmaker Asia Tenggara maupun Asia yang menengok pada FFD.

FFD adalah tempat yang cukup prestisius untuk diikuti. Ketika datang pun suasana komunitasnya terasa, susana festive-nya terasa. Karena kan kita cukup tersentral lokasinya. Itu salah satu keunggulan dari festival film di Jogja, suasananya pun suasana yang komunal yang relatif berpusat di societet terus melebar ke sekitar. Itu sangat menguntungkan.

Apalagi tahun ini sampai ada 200-an submission untuk internasional saya dengar. Itu luar biasa menurut saya, sangat luar biasa. Karena produksi lebih banyak, beberapa film yang masuk pun sudah di festival besar terus disubmit lagi.. Ini salah satu tanda kemajuan festival. Bahwa orang-orang mulai mau internasional premiere di sana, menurut saya tinggal menuju ke sana sih FFD.


Haruskah terbiasa dengan pemutaran daring semacam ini?

Iya betul, ini menjadi peluang sebetulnya. Meskipun gak harus orang selalu nonton full. Tetapi setidaknya jauh lebih diatas dari biasanya ketika offline. Sekarang tidak hanya Jogja, tapi Jakarta, Manado, Pekanbaru, Medan bisa ikut nonton. Itu diakui oleh Akbar Rafsanjani dari Aceh Menonton, bahwa sekarang kerjanya memburu film aja. Padahal selama ini kalau dia di Aceh gak bisa kemana-mana buat nonton festival. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?