Sedap Malam




Tak ada apapun sebesar dunia yang kau inginkan. Cukup pendar hangat dan dekat di pusat batin, yang kau dekap setiap saat. Tapi kau menangisinya. Hanya pada segala yang lembut dan halus, kau menyambutnya. Sehingga tak ada apapun yang besar menyilaukan, menggelegar, menyengat, menyentak, yang dapat kau terima. Begitulah dirimu yang liliput. Kenapa kau menangisinya? Kenapa kau justru menciut?


***


Aku tak menyangka akan tersedu sedan begini. Tak menyangka juga membiarkan susah hati yang berlarut ini nampak dalam derik-derik tulisan, yang entah bakal beredar di internet, atau menumpuk saja di arsip personal seperti biasanya. Aku masih tak menyangka, si sedih menetap begitu lama tanpa kuajak bicara. Selama ini aku ke mana?


Kadang-kadang aku merasa habis, meski dada rasanya ingin membuncah. Dan aku selalu mengakhirinya dengan menulis. Syukurlah masih tenggang untuk mengurai kasak-kusuk yang tak karuan ini. Selalu ada momen jeda untuk menepi. Menafsir setiap hal menjadi bahasa, menjadi ruh, yang kuamati lamat-lamatnya. Agak sulit untuk tak metaforis, tapi nyatanya aku sudah kehabisan daya ungkap yang paling mewakili untuk sekadar bisa menjerit.


Suatu malam, aku pulang larut. Menghabiskan separuh malam bersama seorang kawan dekat. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, obrolan kami tak punya akhir. Seperti mau membahas semua masa yang pernah lewat sepanjang hidup, seperti ingin menyingkap apapun yang selama ini mengendap. Soal kepribadian, pekerjaan, siasat hidup, relasi dan urusan-urusan yang masih berserakan. Dan tentu tak bakal selesai, kami beranjak pulang sebelum berbusa-busa. 


Motor melaju pelan. Lampu merah. Jalan Kusumanegara yang nampak lengang membuatku ingin menerobos rambu. Tapi di pertigaan itu aku berhenti. Sekian detik kubiarkan lamunan hanyut seperti lembaran-lembaran yang terbuka pelan diterpa embus malam. Perbincangan malam itu membawaku pada perenungan yang juga tak bakal selesai. Aku hanya menyadari bahwa ternyata dalam beberapa momen aku sulit paham pada perasaanku sendiri. Semuanya nampak abu-abu, dan kalau sudah begitu, aku pasti akan merasa amat pilu. Tapi aku tak mau menjadi payah hanya karena pergumulan soal perasaan atau prasangka-prasangka yang hidupnya cuma di awang-awang. Tak menapak tetap di manapun. Kubiarkan buyar dengan sendirinya. Lampu hijau. Aku memotong jalan, berhenti di toko bunga. Entah kenapa kawanku tadi juga ikut berhenti. 


Setiap pulang larut, jika batin runyam, aku membeli kembang sedap malam. Saat sedang merindu dan mengharap, aku membeli kuncup mawar merah yang merekah. Dulu, aku biasa beli di toko bunga Alexandria di Jalan Selokan Mataram. Di sana aku kerap mendapat secara cuma-cuma sebuket krisan atau mawar putih buat pelengkap mawar merahku. Kini semenjak pindah tempat tinggal, aku sudah jarang ke sana. Tapi aku berjembar hati karena ada pasar kembang di sepanjang jalan dekat kontrakan. Hanya belum menemukan langganan toko yang sreg. Kebiasaan yang baru saja membuatku berterima kasih pada diriku sendiri, atas segala upaya untuk terus tegar dan tabah. Atas welas asih yang ternyata masih kurawat tipis-tipis. Dan malam itu aku hendak membeli sedap malam. Sudah kupegangi, kuciumi, mana yang paling segar dan semerbak, tapi penjualnya tak nampak. Kami panggil-panggil, sampai berakhir maklum. Sudah dini hari. Agaknya tidur lebih tepat daripada jualan kembang. Kami pun pulang.


***

Rasanya bingung setengah modar untuk bisa bicara panjang lebar. Aku selalu tak pandai–atau malah menolak–untuk menggambarkan diri sendiri pada siapapun. Biarlah yang nampak, dimaknai sesuka hati.  Bahkan saat menulis dengan sudut pandang orang pertama begini, sebenarnya membuatku banyak menimbang. Rasanya terlalu karib untuk dibaca. Aku selalu merasa tak perlu menjelaskan apapun tentang diriku. Aku benci nampak terlalu personal. Tapi sekarang siapa yang peduli? Betapapun aku berkelit, segala hal yang dekat buatku: menulis dan yang personal, menjadi penuntun kesadaranku buat mengalami dan mencatat kehidupan. Pelan-pelan aku mengibarkan bendera damai, menerimanya sebagai bagian dari arsip hari-hari.


Sore itu aku merasa jadi manusia paling masygul. Sebetulnya aku selalu melankolis pada banyak hal, tapi seperti pitawat Bu Dini, kesedihan tidak untuk dipampangkan kepada semua orang, seharusnya diimpit-diindit, diselinapkan di balik lapisan penutup. Pun, bagiku kemuraman hanyalah siklus. Aku bersyukur ia acapkali jadi tanda datang bulan. Jadi sinyal tubuh untukku berhenti ngelayap. Untuk mencukupi air, asupan batin dan raga. Dalam keseluruhan hidup, satu-satunya yang membuatku lemah adalah mondar-mandir tanpa arah, tanpa ingat mempersenjatai diri, tanpa jeda yang senyap. Aku mesti menghela napas, menata batin. Sampai benar-benar sanggup keluar.


Tapi sore itu aku pulang dari sebuah kegiatan sukarelawan dalam kondisi hati yang pilunya tak karuan. Sejak bangkit dari kasur aku sudah malas keluar. Tapi aku harus. Berbekal nasi sayur lodeh, bihun, ayam goreng dan segelas es jeruk, aku pergi. Di sana berkerumun banyak manusia. Semua menyebalkan di mataku. Sementara aku tetap berjalan pelan seolah paham ke mana aku mesti menuju. Duduklah aku di ujung kafetaria. Segerombolan di depanku berbicang keras, bertepuk, terbahak seperti dunia hanya milik mereka. Di sampingku seorang anak perempuan dan ayahnya, yang entah kenapa tergesa-gesa menyuruh putrinya segera menghabiskan satu gelas float yang mestinya disesap pelan-pelan sambil berbincang hangat. Di seberangnya, seorang lelaki bule fokus pada buku bacaanya, kelihatan keren, cuman aku tahu ia bosan dan pikirannya tak benar-benar ada di tempat itu karena hanya dalam hitungan seperempat jam dia langsung berdiri dan pergi. Manusia lain nampak mondar-mandir, dan mereka yang asing sepertiku pelalak-pelilik mencari kenalan. Sementara aku tak ingin berkutik. Tak ingin memulai obrolan pada siapa pun yang tak kukenal. Hanya duduk, sambil sesekali menyimak obrolan di grup WhatsApp tentang apa-apa yang mesti dilakukan relawan siang itu. Acara segera selesai, aku menyapa dua orang yang kukenal, menjabani foto dengan satu teman baru, tersenyum dan melengos balik, sebelum musang ekor sembilan dalam diriku mengamuk.


Aku mengerti segala gamang dan kalut berasal dari tempurung kepalaku sendiri. Dari duga-duga yang kutangkap dan kukepul jadi satu gumpalan mendung yang mengitari pikiran. Pangkalnya, aku muak pada banyak seringai kepalsuan yang kujumpai akhir-akhir ini. Di perjalanan pulang aku memutar arah, berhenti di toko bunga paling ujung. Toko itu nampak sepi. Seorang penjual perempuan murung berpangku tangan. Rautnya berubah saat mendengar mesin motorku berhenti tepat di depan kembang berjejer-jejer. Tak ada yang kulirik selain sedap malam. Aku tak sempat menanya harga, apalagi menawar. Berapapun harganya, sore itu tak boleh sama kecewanya dengan malam sebelumnya. Tapi perempuan itu segera bilang, “Buat Mbak, cuma delapan ribu, boleh pilih yang mana aja.” Aku tak sadar sempat memberi senyum atau tidak, tapi rasanya bungah, tangan dan hidungku sibuk memilih kuncup yang paling rembuyuk. 


Sampai di kamar kubilas bunga itu, kutaruh dalam botol berisi air segar. Jantungku seperti tersendal pelan, tepat ketika aroma sedap malam itu merambah meruap ke dalam diriku lewat dua lubang hidung. Dari kepala menjalar ke semua badan. Perasaan ini aneh. Tapi aku tidak peduli dan meyakini banyak petanda yang kujaga hanya dalam alam batin. Sesalku luntur berbarengan dengan sesenggukanku yang tak masuk akal. Tentu akan jadi cerita menyedihkan, seorang perempuan menangis sendirian sambil membauni bunga sedap malam. Aku menangisi kata-kata yang gagal kuungkapkan. Betapa selama ini aku terlampau berhasrat mewakilkan diri pada lisan. Sementara harum hanya bisa dicecap dengan indra pembau, tanpa mesti dijelaskan pada siapapun, semerbaknya akan menyebar dan berharga. Bersama wangi sedap malam itu, aku mengucap rapal sampai seduku mendidih, menyeruak, mengerubungiku. Moga-moga hanya kata-kata yang kutindakkan dan kualami saja yang terujar. Tak ada lagi yang kuingin, selain berlaku jujur, berpikir terang, dan berhati lapang.


Doa itu selalu kumohonkan, meski dalam titik paling rendah dan tak punya siapa-siapa untuk dipercaya. Tak mendamba apa-apa untuk didekap. Tak memandang ke mana-mana untuk berserah. Biarlah hari itu, beserta ampasnya yang tersisa hari ini, menjadi suasana paling sedih. Kehilangan demi kehilangan laksana sinar yang meruyup, menjadi gelap. Tapi di sana aku memiliki sedap malam, yang harumnya mengembalikanku pada jiwa yang murni, pada asihku yang subur tersirami. Ke mana pun parannya, aku dan jiwaku, melewati kelam kabut, kami bersemayam di dalam embun esok hari.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?