Sepa-Ruh

 

Beberapa malam ini, ujung telapak kaki tanganku biru. Dingin menjekut seperti tak punya darah. Hari ini aku sengaja keluar pagi-pagi tanpa sarung tangan dan jaket supaya badanku terkena sengat siang hari. Tapi tadi kuamati kulitku mengkerut. Punggung tanganku keriput kering. Pucuk jari-jari dingin. Kuku-kuku seperti terbalut lilin beku.

Di tengah jalan pulang, aku bertemu ruh yang ratusan tahun kukenali tapi belum juga kupahami. Ratusan tahun kami berjalan dekat beriringan, disekat kabut. Kadang tipis, kadang tebal. Saat kabutnya tipis, aku bisa menangkap pesan yang ia sampaikan, senyap dan terang. Kosong dan tenang. Saat kabutnya tebal, aku sepenuhnya dijuluki sebagai makhluk bernama manusia. Punya nama, punya sandangan, dan punya banyak kebutuhan-keinginan. Sepenuhnya dungu dan tak bisa bicara apa-apa tentang dirinya. Mencari bahasa lewat kata-kata, dalam puisi, potongan gambar atau larik-larik di buku serta bait lagu yang paling mewakili.

Semuanya sengkarutan seperti tak punya gaman apa-apa. Tak punya kemampuan apapun kecuali menangkapi bahasa lewat pengulangan dan persamaan. Ia menjadi pola, lalu bebas diterka-terka.

Ruh yang selalu kutemui tak pernah berhenti bicara. Kami butuh waktu jutaan cahaya untuk punya satu kosakata yang sama. Aku menyangka ia hadir dalam suasana yang lamat-lamat, dalam bahasa dan upayanya menjadi ungkapan-ungkapan. Mereka itu terkumpul di lapis paling belakang tempurung kepala. Menyembul-nyembul, tapi keluarnya hanya kadang kala. Melewati beragam sangkaan untuk sekadar ditemukan maknanya. Maka aku kerap mengambil jalan pintas dan simpulan paling sederhana: dingin di ujung jari kuanggap sebagai akibat tak minum cukup air, kulit kering tandanya aku luput pakai calir.

Konon malam ini dan sepanjang bulan kedepan jarak matahari berada di titik paling jauh dengan bumi. Puncak musim kemarau datang sepanjang Juli dan penghujung September. Angin bakal berhembus sendirian, tanpa uap dan air. Karenanya, langit dihiasi awan yang terang, bulan nampak tegas semburatnya. Begitulah sampai badanku keriput kedinginan sepanjang hari.

Dalam momen jeda, aku tak lagi manusia. Ruh itu tak lagi bicara, sebab aku sepenuhnya bahasa. Tak lagi mengirim tanda. Aku, embun upas yang hinggap bersama cuaca. Hinggap di ujung bulu mata. Di tepi cuping. Di garis dan lekuk kulit paling luar. Gatal-gatal kecil di sekitar jerawat. Aku, tak lebih besar dari pori-pori. Bisa merasuk, menembus batin. Seperti tiup embus menyentuh filtrum.

Mataku hilang, katupnya sirna. Aku tak lagi manusia. Aku menjadi dengung gemuruh. Memelan jadi kersik gemerisik. Aku berjalan di antara bunyi nguuuuungggg dan shhhhhhhhkkk. Sampai pada suasana yang sayup-sayup, aku menemukan surat yang tertulis dalam bahasa ruh, di atas permukaan segala hal yang liliput. Surat itu tidak ditulis dalam aksara yang mewakili ujaran manapun yang pernah kusaksikan. Hanya derik-derik yang berpendar-pendar dan bergetar-getar. Surat itu belum selesai, seperti ada sesuatu yang entah seperti kursor berkedip pada tiap ungkapannya. Aku membacanya seperti buta dan tuli sekaligus memahaminya seperti nabi.

Aku mengepul pesan-pesan dalam surat itu secara bercecer-cecer, seperti bocah menjimpit bebijian berserak di atas telapaknya yang mungil. Di saat itulah ruh itu kutemui lagi. Aku pun kembali jadi manusia. Berkaki dua jenjang. Bersikudidi. Berjinjit ke sana dan ke mari. Dan kudapati ujung telapak kaki tanganku biru. Dingin membeku seperti tak punya darah.

Ruh itu menderap sekitar 30 sentimeter dari badanku. Di antara jarak itu ada partikel-partikel serupa cahaya, gelombang dan panas yang mengitariku. Lagaknya aku mulai menjadi manusia yang berkedip-kedip dan menyebut angka-angka, menyebut jenis-jenis, rupa-rupa, nada-nada. Surat yang belum selesai kupunguti pesannya tadi tersempal entah ke mana.

Kami, aku dan entah siapa, mendengar senandung malam yang jauh: Sluku-sluku batok. Batoke ela-elo. Sri Rama menyang Solo. Oleh-olehe payung mutho. Mak jentit lolo lobah. Wong mati ora obah. Yen obah medeni bocah. Yen urip goleko duwit.

Aku telah hampir sampai dari perjalanan pulang. Jaraknya terlipat. Dan sekonyong-konyong kudapati jasadku utuh berbaring. Aku kembali menjadi generasi-generasi, menjadi prosesi-prosesi, menjadi bangsa-bangsa. Ruh yang kutemui di jalan pulang, duduk seorang diri di lembah kenangan-kenangan yang bersembunyi, yang kadang-kadang kulihat sangat jauh di gigir lekuk awan atas sana, sangat dekat di atas gesekan telapak dan bulu saat kuoleskan calir di kulit, atau di bunyi glek! saat aku minum air putih di tenggorokan sini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hantu Pulang

Bukan Cerita Werkudara dan Arimbi

Lakuning Srengenge