Dear Sore, Urip Mung Saderma Nglakoni
![]() |
| potret sore |
Tapi dari sana, satu-satunya hal yang kusadari tidak pergi ke mana-mana, yang selalu tersisa, adalah batin dan perasaanku sendiri yang kusematkan pada momen dan orang-orang itu: memori. Dari sini aku memahami bahwa waktu, betapa pun berlalu teramat cepat, kadang-kadang terasa hanya ilusi yang tak punya arti ketika segalanya kujalani dan kuhayati sepenuh hati. Ia bukan lagi berjalan linear, tapi ‘memantul, melingkar dan berlapis-lapis’.
Entah bagaimana aku mesti mencari ungkapan yang tepat untuk menjelaskan tentang konsep waktu.
Permenungan soal logika waktu ini muncul ketika kemarin aku baru saja menonton film Sore: Istri dari Masa Depan (2025). Aku tak begitu gemar film-film romansa, kecuali ia punya alur yang kuat, karakter yang menggugah, atau punya satu isu unik yang diangkat. Film gubahan Yandy Laurens ini menurutku tak cuma berkutat pada kisah cinta-cintaan tokoh utamanya, Sore dan Jo. Lebih dari itu, film ini membawaku kembali merenungi soal konsep waktu, yang kemudian merembet soal aspek spiritualitas–takdir pada manusia.
Aku merasa sedih sepulang menonton. Setelahnya kuhabiskan waktu dengan seorang teman yang menonton bersamaku. Walaupun sebetulnya aku pengen segera pulang saja dan memproses perasaanku sendiri. Kami duduk dan ngobrol sejenak di satu Warmindo rekomendasinya. Kalau suasana hati sedang tak enak, biasanya aku berubah jadi kayu lapuk. Akan susah menyambung obrolan dan bawaannya ingin diam sepanjang waktu, karena pikiran bercabang ke mana-mana, kata-kata tidak bisa keluar dengan jelas. Pada akhirnya, aku sering disalahpahami. Apalagi jika aku memaksakan diri bicara. Ini semacam masalah menahun yang sepanjang hayat masih pelan-pelan aku belajar mengendalikannya.
Kami mendiskusikan film itu, membahas banyak. Meski seperti biasanya, aku bingung mengartikulasikan maksud hatiku padanya. Tapi biarlah, kami punya pemahaman yang berbeda soal logika waktu, dalam konteks film ini.
Secara keseluruhan, temanku itu menyukai setiap film garapan Yandy Laurens, termasuk Sore. Dia kuamati memang suka dengan tipikal film-film melodrama, berbalut romansa, yang beralur sederhana serta menyentuh. Walau mengaku tak bisa menangis, aku tahu ia laki-laki yang subtil, mudah terenyuh dan menghargai kisah hidup yang dekat dengan keseharian. Dalam film, kulihat ia jauh lebih menikmati bagaimana interaksi antar karakter dan menyoroti emosi yang muncul.
Sementara aku ragu memberi rating film Sore sampai angka sembilan. Film itu serasa ‘tanggung’ buatku yang menilai satu karya yang layak mendapat bintang lima semestinya bicara lantang soal satu isu penting, yang menggerakkan, yang membawa perubahan. Tapi toh menilai karya tak terbatas pada angka rating. Ada banyak aspek yang bisa diuraikan.
Aku bisa saja menikmati film-film lamban dan sentimental, bahkan gemar dengan film slice of life atau tema-tema personal. Tapi Sore, mengusung konsep waktu sebagai latar yang menurutku belum cukup untuk membuatku tersentak. Pesannya begitu kabur, untukku yang menganggap satu sinema akan menyandang gelar ‘masterpiece’ ketika punya pesan kuat dan membicarakan hajat orang banyak alias mengangkat isu sosial dan masalah struktural.
Ini hanya soal sudut pandang dan selera, yang setiap manusia beragam. Aku harap temanku itu memahaminya ketika aku nyatakan opiniku tentang film-film apa yang kuanggap bagus. Well it’s a good thing, saat ia berusaha memahami dengan bertanya judul-judul film yang menurutku oke.
Tapi aku cukup terusik dengan perkataannya (yang mendorongku untuk segera menulis ini). Dia bilang, “Coba deh dilogika, dipikir lagi.”
Kalimat itu keluar setelah aku nyeletuk, “Harusnya judulnya bukan Sore: ‘Istri dari Masa Depan’, tapi dari ‘Istri dari Masa Masa Lalu.”
Padahal, aku seperti melihat ada bagian dari diriku di diri Sore. Cuman, alih-alih menangis saat keluar dari bioskop, aku bilang pada temanku: “Kesel banget, Jo kenapa tolol! Sore juga tolol.” Kadang cacian keluar lebih mudah daripada perasaan yang sesungguhnya. Sore yang tolol adalah aku, yang terjebak ‘masa lalu’ dan berhasrat mengubah ‘masa depan’ yang di luar kendali. Jalan menuju penerimaan begitu panjang dan memilukan.
Temanku itu melihat waktu dengan logika, yang berjalan maju dan linear. Ada masa lalu, masa sekarang, masa depan. Sementara, yang bergumul di kepalaku saat menyaksikan film semacam Sore, yang mengangkat tema ‘time travel’, adalah bahwa waktu bukan berjalan maju. Tapi bisa jadi jalan bersamaan.
Apa yang terjadi pada kisah Sore dan Jonathan hanyalah kiasan. Bahwa tokoh Sore adalah individu yang belum selesai dengan ‘masa lalu’, dengan takdir yang sudah terjadi dan tak bisa diubah. Film ini, secara keseluruhan adalah tentang perjalanan Sore menerima takdir, menerima Jo, hingga akhirnya, menerima dirinya sendiri.
![]() |
| selfie di toilet sehabis nonton :) |
![]() |
| notes random di film yang sempet aku catet |
Beda Waktu
Sudah sejak lama, si waktu memang kita anggap menjadi sebuah ukuran perubahan. Kita cenderung melihat adanya waktu karena sesuatu berubah. Dari semula kecil, tumbuh menjadi besar. Muda jadi tua. Kosong jadi penuh. Kayak nasi sudah jadi bubur, jika waktu sudah berjalan, maka tidak bisa diulangi, apalagi diubah.
Aku jadi teringat dengan teori kuantum yang nauzubillah susahnya dimasukkan logika itu. Di dunia kuantum, Einstein menyebut waktu bersifat relatif. Jadi yang ada hanya masa kini. Masa lalu dan masa depan bisa terjadi dalam satu panggung yang sama.
Dunia ini tak lebih dari kumpulan peristiwa. Sama seperti satu cuplikan video utuh, begitulah takdir yang tersemat di setiap manusia. Kita tak bisa mengubah apa-apa karena semuanya sudah dan bakal terjadi, terputar penuh dalam durasi yang sudah ditentukan.
Aku pengin mengungkapkan pada temanku itu, bahwa ada banyak cara pandang terhadap waktu. Tapi keinginanku untuk cukup mendengarkannya jauh lebih besar. Dia si anak akal sehat. Sementara aku si kepala runyam.
Waktu yang linear, yang kita pakai sekarang, adalah logika modern Barat. Beda lagi dengan cara pandang Jawa misal, yang memandang waktu bersifat siklikal dan spiritual. Mungkin agak mirip dengan pandangan Buddhis yang melihatnya sebagai samsara, yaitu daur kehidupan dan kematian yang abadi, yang kaitannya dengan karma.
Saat menonton versi serialnya di Youtube, aku tidak menemukan perenungan filosofis begini kecuali hanya terhibur oleh kisah Sore dan Jo yang jenaka. Tapi versi film ini berhasil bikin pikiranku bercabang-cabang begini. Di awal aku agak bingung dan belum bisa menangkap bagaimana alurnya. Mungkin baru di separuh film aku “ngeh”, tentang tujuan perjalanan waktu yang dilakukan Sore untuk mengubah takdir.
Sampai satu scene monolog yang kuingat, ketika Sore bilang, “Dia marah.” lalu pingsan, dan terbangun kembali, mengulang adegan yang sama berkali-kali.
Miss Focus
Bagiku film adalah satu medium unik yang menyimpan banyak makna dari setiap detail yang dimunculkan. Kalau bahasa waktu kuliah dulu, ada makna di balik tanda-tanda tertentu, alias kita nyebutnya semiotika.
Sampai menit ke 30, film berjalan normal, mulus-mulus aja. Ada bagian yang hampir bikin bosan, tapi untungnya Yandy Laurens selalu pintar merebut lagi atensi penonton lewat musik. Lagunya Adhitia Sofyan mengalun, jadi nambah suasana yang… warm feeling banget. Sudah seperti video klip musik romantis yang bikin senyum-senyum, ketika Jo dan Sore menghabiskan waktu bersama, jogging, masak, seru-seruan bareng di bukit.
Secara semiotik, aku ngelihat film Sore secara rapih manjahit “clue” jadi satu jalinan kisah. Tentu ditangkap berbeda di tiap benak penonton. Di benakku, ada hal-hal yang kutandai dan menimbulkan banyak terkaan. Misalnya, dari warna-warna baju yang dikenakan Sore, tone-nya terkesan hangat: oranye, krem, coklat, tapi kita tahu dress yang dipakai Sore sejak awal berwarna kontras dari tone itu: biru navy, seperti warna langit legam menuju malam. Perhatian penonton secara gak langsung dibentuk dari nuansa warna-warna di film. Ada kesan sederhana, hangat, dan melankolis di film ini. Warna dress navy Sore barangkali merepresentasikan apa yang dikatakan Jo ketika bertanya kenapa senja selalu menyenangkan.
“Kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka, tapi langit selalu menerima senja apa adanya.”Dan, si Sore seharusnya menjadi langit itu, yang menerima apa adanya.
Selain notice soal warna, beberapa dialog juga kuingat menyimpan pesan tersembunyi. Salah satunya ketika Sore ngasih tunjuk karya foto Jo buat membuktikan bahwa ia benar-benar istrinya dari masa depan. Pada akhirnya Sore membantu Jo mengambil keputusan foto yang bakal diajukan untuk mengikuti sebuah pameran. Di adegan ini, ada satu dialog yang bikin aku penasaran. Jika Sore hadir berkali-kali ke satu masa di mana Jo menjalani kehidupan, katakanlah masa lalu itu, kenapa Sore belibet ketika mengatakan “antara frame ke 28 atau 29 miss focus”? Sementara sepanjang film digambarkan saking seringnya Sore “mengulang waktu”, semua bagian dari adegan hidup Jo dia hafal, bahkan lancar berbahasa Kroasia. Tapi hanya bagian ini lah, Sore keliru. Bagian ini juga berkaitan sama adegan ketika Sore menemukan amplop di lemari Jo yang isinya notes tentang perasaan Jo ke ayahnya. Aku menebak, ini jadi satu pesan bahwa ternyata, ada bagian dari diri Jonathan yang luput dari Sore. Selalu ada sisi dari orang lain, sedekat apapun itu, yang tersembunyi dan tak kita pahami. (Ya gak sih? Duh, Mas Yandy Laurens tolong dijawab dong.)
Manifestasi Jo
Jo ini potret karakter yang ambisius, fokus ke karir, dan tipikal laki-laki perfeksionis. Ada tendensi kalau ia ingin hidupnya selalu lebih baik dan mapan. Jo punya standarnya sendiri tentang kualitas hidup yang ia mau. Kebalikannya, meski punya harapan dan semangat itu, ada satu blok mental yang melekat pada dirinya. Sebenarnya aku gak melihat akar konfliknya cuman tentang kebiasaan merokok dan pola hidup gak sehat yang menjadi persoalan Jo dan Sore. Aku sepakat sama ucapan temanku bahwa kebiasaan buruk itu ‘lumrah’ jadi masalah kebanyakan manusia yang sulit ditinggalkan. Lebih tepatnya sepakat buat memaklumi. Tapi aku melihat ada bagian dari diri Jo yang belum selesai. Ada luka yang belum kering, ada janji yang belum tunai, ada kemelekatan yang belum terbebaskan. Merokok, mabuk, begadang (kecanduan game juga gak sih dia?) atau segala kebiasaan tak sehat yang dilakukan Jo, hanyalah bentuk eskapisme alias pelarian. Jo, adalah laki-laki yang dilingkupi rasa takut, pada wajahnya sendiri yang utuh dan telanjang.
Alih-alih berfokus pada perjalanan Sore mengulang waktu, film ini juga patut dimaknai sebagai perjalanan Jo menyadari dirinya. Persis seperti konsep waktu dari kacamata “karma”. Adakah yang kepikiran soal gimana posisi Jo saat Sore terus-terusan mengulang waktu? Di mana Jo berada? Di lini waktu bagian mana ia ketika Sore ‘ambruk’ dan ‘bangkit’ lagi? Apa logika waktu yang linear: ‘masa lalu, masa kini, dan masa depan’ masih berlaku?
Barangkali, film ini adalah manifestasi dari harapan Jo. Deep down, Jo gak ingin mati cepat. Dia masih ingin terus hidup lebih baik setiap harinya, menatanya satu-satu. Barangkali, Sore hanyalah wujud lain dari hasrat Jo, untuk mengubah takdirnya sendiri. Siklus ini akan terus berulang tiada henti, sampai ia membebaskan dirinya dari hasrat.
*Lagu Pancarona mengalun dari kejauhan~
Melihatmu Bersemi dan Bermekaran~
Sebagai karakter film, Sore ini agaknya perempuan yang lembut pada orang lain, tapi keras pada dirinya sendiri. Kalau ngikutin kisah romansa mereka, aku melihat seperti gak adil bagi Sore. Selalu gak adil bagi perempuan, yang menghabiskan sisa waktunya untuk sebuah pengorbanan. Gak adil bahwa ada perempuan yang menjaga dirinya, berkomitmen untuk tak menjalin hubungan dengan siapapun sebelum benar-benar hatinya teguh dan yakin pada satu orang, yang entah di mana rimbanya. Sementara satu orang laki-laki dengan segala ragu yang melingkupi benaknya, bisa menjalin hubungan dengan siapa pun, sampai luka-lecet di mana-mana. Tak adil bahwa perempuan bergulat dan bergumul dengan batinnya sendiri setiap saat, dengan dukanya sendiri, untuk terus belajar dari pengalaman hidup, untuk belajar mencintai dan menerima semuanya. Sementara, ada laki-laki yang memilih tak ambil pusing pada pengalaman hidup yang ia alami hanya karena rasa kecewa oleh cinta, hanya karena duka yang tak mau ia hadapi. Dan mereka begitu bangga menyebut itu sebagai sebuah seni untuk bersikap bodo amat. Tapi ketika luka itu merebak ke permukaan, laki-laki menuntut pemakluman tanpa kira.
Tak adil, bahwa Sore senantiasa siap sengsara tiap kali mendapati Jo melanggar janjinya dan bilang, “Kita mulai dari awal ya, gapapa…”
Tapi betapa tak adilnya itu semua, menerima ada memaafkan adalah perjalanan batin yang amat panjang.
Sore patut lelah. Sore patut istirahat dan membiarkan Jo mengalir di dalam arus takdirnya sendiri. Sore dan Jo, perempuan dan laki-laki, patut berserah dan berpasrah di hadapan sang waktu. Ia mutlak. Dan kita patut menerima segala rapuh dan ketidakberdayaan kita di hadapan takdir.
Di balik itu semua, film ini ibarat air hangat yang kita teguk dan mengaliri batin kita. Sama sekali tak ada yang patut kita khawatirkan. Segalanya berjalan sesuai lininya. Pepatah Jawa pernah bilang, urip mung sadermo ngelakoni.




Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.