Jangan Benci Dia



Pagi itu aku berjalan cepat menuju ruang kelasku yang baru. Pada awalnya kelasku terletak di bangunan gedung  selatan sekolah, namun karena kelas dua belas sudah melaksanakan ujian dan sudah bebas, kelas-kelas yang berada di gedung selatan sebagian dipindah ke gedung utara. Ya, sekolahku terdiri dari dua gedung yang terpisah. Dan itu sungguh menyulitkan.

Ada berapapun gedung di sekolahku itu tak penting. Yang terpenting adalah letak kelasku. Bodohnya aku, mengapa aku sama sekali tak ingat pengumuman hari sebelumnya.  Aku hanya ingat bahwa kelas sebelas B1 terletak di lantai dua, jadi aku harus mengelilingi koridor lantai dua. Aku sendiri menggerutu, mengapa kelasku berada di lantai dua, demi apapun, aku tak suka naik-turun tangga.

Aku berjalan sambil mencari plakat “XI B1” di atas pintu kelas. Kesalnya tak juga ketemu. Saat berjalan aku sedikit tersentak karena tiba-tiba aku melihat seseorang berjalan di belakangku. Seseorang itu tak asing, dia adalah Restu, temanku satu kelas. Aku senang karena aku bisa menuju kelas dengannya dan tak perlu bersusah payah mencari di mana letak kelasku.

“Ya ampun, Restu! Bikin kaget aja kamu,” kata ku padanya sambil berusaha berjalan berdampingan dengannya. “Ke kelas barengan ya, kamu tahu letak kelasnya kan? Soalnya aku tuh dari tadi keliling  sekolah gak ketemu-ketemu.”

“Yakin mau ikut denganku?” jawabnya dengan nada datar dan tatapannya pun tetap ke depan.

“Ih, apa coba, cuma ikut jalan ke kelas aja kenapa harus ditanya yakin apa tidak. Eh, ngomong-ngomong sepatu kamu pake hak atau apa? Perasaan kamu lebih tinggi dari biasanya, deh?” tanyaku sambil menunduk melihat ke arah sepatunya.

Tapi, belum sempat aku melihat sepatunya tiba-tiba bu Erni memanggilku, “Kirana! Ngapain kamu nunduk-nunduk begitu? Ayo cepat masuk kelas, ini sudah hampir bel masuk.”

“Gak apa-apa Bu,  ini mau masuk tapi belum tahu kelasnya di mana,” kataku sambil meringis kepada guru konseling killer bertubuh ramping tersebut.

“Memangnya kenapa gak tahu? Makanya kalau ada pengumuman itu didengarkan atau paling tidak berusaha bertanya ke teman di hari sebelumnya, kamu itu pemalas,” katanya panjang kali lebar sama dengan luas. Aku benci dengan guru semacam itu yang terlalu banyak peraturan dan tuntutan.

“Ya sudah, ayo sama saya, saya juga mau ke kelas kamu.” Ajaknya.

Aku dan Restu pun mengikutinya. Kita bertiga berjalan menuju ruang kelas yang ternyata terletak di paling pojok dan dekat toilet. Huh, kenapa juga kelasku berada di paling pojok?! Karena biasanya kelas pojok itu paling gelap, pengap dan sedikit horor, apalagi dekat dengan toilet.

Suasana kelas yang sangat ramai serta aktivitas siswa yang tak karuan-ada yang tiduran di lantai, ada yang berdiri di meja, ada yang mencorat-coret papan tulis, ada yang saling pukul dengan buku yang digulung dan aktivitas abnormal lainnya seketika terhenti ketika kami masuk. Lebih tepatnya setelah bu Elin masuk.

Aku meletakkan tas di meja paling depan dan langsung duduk menyusul Suci, teman satu bangku abadiku yang sudah anteng. Dia menyikutku dan berbisik, “Aduh, ada masalah apa lagi kelas kita, Kir? Gak bosen itu guru killer ke kelas ini.”

“Tau tuh, aku juga belum tahu. Semoga aja jamkos dan hanya dikasih tugas. Ngomong-ngomong tadi aku bertemu dengan Bu Erni di depan sama. . . eh-”

Aku teringat sesuatu, bukankah aku tadi menuju kelas ini bersama Restu? Ke mana perginya anak itu sekarang? Pandanganku mengelilingi seisi kelas mencari keberadaannya. Aku menengok ke arah luar kelas dan dia tidak ada.

“Ada apa Kir?!” tanya Suci yang bingung dengan kebingunganku.

“Di mana Rest-“

“Selamat pagi semua,” kata Bu Erni memotong perkataanku.

“Pagi Bu...” jawab semua murid serentak.

“Kalian tidak usah tegang, saya di sini hanya ingin menyampaikan surat ijin dari teman kalian,” beliau membuka amplop berisi surat dan membacakan nama siswa yang mengirim surat ijin. “Restu-Kamalia-sakit-tifus. Jadi, teman kalian hari ini tidak masuk karena sakit tifus dan sedang dirawat di rumah sakit sejak kemarin sore. Sebagai wujud simpati, kalian bisa mengumpulkan iuran dan perwakilan kelas supaya membesuk nanti sepulang sekolah.”

Restu?!

Aku merasa seperti ada sesuatu yang keras menghantam pikiranku dan menciptakan semacam keringat dingin ketakutan. Kalau hari ini Restu tidak masuk, lalu siapa yang aku temui di depan tadi? Akal pikiranku tak sampai untuk menjawab pertanyaan itu.

Setelah menyampaikan surat ijin tersebut bu Erni pergi meninggalkan kelas dan masuklah Pak Riyanto, guru mata pelajaran Matematika yang sudah menunggu di luar selama Bu Elin di dalam. Sebelum menyampaikan materi, beliau bertanya tentang seorang murid yang sedang duduk di luar. Beliau menatapku dengan aneh dan berkata, “Nah, kapan kamu masuk?”

Aku tak merespon pertanyaan itu. Otakku tak sanggup mengirim kata-kata untuk dilontarkan lewat mulut. Mataku terus melotot dan keringat dingin terus bercucuran di sekujur tubuhku. Aku tak percaya ini dunia nyata atau mimpi.

Seharian penuh itu aku tak banyak bicara seperti biasanya. Aku tak menceritakan apa yang kualami kepada siapapun, termasuk kepada Suci. Bahkan ketika jam istirahat aku tidak keluar kelas. Tak biasanya aku merasa seperti ini, rasa takut atau khawatir atau entah apa aku tak tahu rasa apa ini.

Sebenarnya aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kejadian ganjil itu, namun entah mengapa kejadian itu seperti sebuah pembuka atas kejadian-kejadian ganjil lainnya yang kualami. Semenjak kejadian ganjil itu aku sering mengalami hal aneh, seperti mendengarkan suara-suara berisik, suara tangisan dan tawaan di kelas yang hanya aku saja yang bisa mendengarnya serta perasaan tiba-tiba ketakutan tanpa aku ketahui apa sebabnya.

Waktu itu aku masuk ke kelas yang paling awal dan kebetulan hari itu adalah jadwalku untuk piket. Akupun berjalan menuju ke belakang kelas untuk mengambil sapu. Ketika aku akan meraihnya, sapu itu begitu berat seperti sedang tersangkut sesuatu atau bahkan seperti digenggam oleh seseorang padahal jelas-jelas sapu itu hanya tersandar di pojok tembok tanpa terikat atau tersangkut sesuatu.

Lagi-lagi perasaanku tidak enak jadi aku mengurungkan niatku untuk menyapu dan buru-buru membalikkan badan untuk keluar kelas. Tapi, betapa terkejutnya aku ketika melihat ada seseorang sedang duduk di kursi guru dengan menenggelamkan kepalanya. Mukanya tak terlihat karena tertutup rambut panjangnya yang terurai. Yang kulihat seseorang itu memakai seragam sekolah yang tidak seperti yang kupakai sekarang, seragam guru pun kurasa bukan. Lalu siapa dia?

Aku memberanikan diri melangkahkan kaki perlahan menuju seseorang itu.

Sambil melangkah perlahan aku mengamati kakinya, apakah menapak lantai atau tidak. Dan ternyata tidak. Kakinya menggantung dari kursinya. Sependek itukah seseorang itu hingga kakinya tidak sampai untuk menapak lantai ketika duduk di kursi guru itu?

Aku mendelik dan mendekat. Tiba-tiba aku terkejut karena mendengar suara cekikikan dari orang itu. Akupun berlari keluar kelas namun pintu kelas itu tidak bisa terbuka. Aku berusaha keras menarik gagang pintu itu dan menggedor-gedornya dengan keras. Entah mengapa aku sama sekali tak bisa bersuara bahkan berteriak.

Suara cekikikan itu masih terdengar dan kurasa semakin mendekat. Aku tak berani menoleh ke belakang. Bibirku terus komat-kamit tanpa suara mengucapkan berbagai doa.

Tidak. Aku akan baik-baik saja. Dia manusia.

Dia manusia.

Dia manusia.

Dia manusia dan aku akan baik-baik saja.

Ya, aku akan baik-baik saja.

Suara cekikikan itu semakin keras dan berubah menjadi suara tertawa yang menggelegar.

Dia mendekat.

“Tenanglah, Kirana. Dia manusia dan aku kau akan baik-baik saja.” Kataku pada diri sendiri.

Dia semakin dekat.

Seseorang kumohon datanglah.

Mengapa pintu ini sulit sekali dibuka!

Aku merasa dia sudah sangat dekat dan tepat berada di belakangku.

Demi apapun aku tak berani menoleh.

Aku memejamkan mataku. Aku berusaha teriak, namun suaraku sama sekali tak keluar.

Suhu di ruangan ini semakin pengap dan panas. Keringat dingin terus bercucuran di seluruh tubuhku.

Walaupun agak berat, mau tak mau aku berusaha melirik ke belakang.

Aku melihatnya.

Pemandangan yang tak ingin lagi aku lihat selama-lamanya.

Wajah pucat mengerikan dengan mata sangat cekung dan tatapan kosong penuh amarah serta kesedihan dan mulut sedikit menganga yang mengeluarkan sesuatu semacam asap.

“Jangan benci dia!” Kalimat itu yang aku dengar dari mulutnya.

Pintu pun bisa terbuka dan aku bergegas lari keluar sekencang-kencangnya dengan jantung yang sepertinya sudah berpindah ke perut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?