Kaku banget sih jadi orang...

Apa aku ini terlalu banyak berpikir tentang mendahului orang lain?

Apa aku ini terlalu menjadikan orang lain sebagai tolok ukur?

Tidak. Jelas sekali aku akan bilang tidak. Aku tidak peduli, saat ini, sangat tidak peduli, mencoba untuk sangat tidak peduli pada orang lain. Tidak ada yang peduli padaku tentang itu juga sebenarnya. They just say hi. Dan berlalu begitu saja. Orang-orang singgah dan pergi tanpa bekas yang berarti.

Because we're a work of art! Not everyone will understand, but the one who do, will never forget about us. Dan belum, setidaknya aku masih percaya akan ada, orang yang mampu memahamiku, diluar diriku.

Dalam segala hal, aku selalu ingin tidak gagal. Siapa juga yang ingin gagal? Tidak ada kecuali kau orang yang terlalu baik. Dan aku tidak. Aku tidak baik. Aku tidak ingin jadi baik. Tidak juga jadi buruk. Aku ingin jadi diriku seperti ini, tanpa penilaian. Walaupun tidak mungkin aku menghindar dari penilaian dan pemahaman. Manusia memang punya naluri yang melekat tentang itu. Akupun begitu pada yang lain. Tapi aku tidak akan, tidak mau, lebih tepatnya tidak tertarik untuk ikut campur tentang apa yang akan orang-orang lakukan atas diri mereka sendiri. Apa aku itu apatis? Tapi apa aku juga yang harus peduli?

Aku hanya, dan hanya, melakukan apa yang ingin aku lakukan. Setidaknya untuk sekarang, saat ini saja barangkali. Aku sama sekali tidak membuat batasan akan sesuatu, dan kuharap akan begitu seterusnya. Dan kuharap juga orang-orang lain seperti itu. Tapi aku terus mematahkan pikiranku karena berpikir orang lain berpikir sama dengan apa yang aku pikir. Setidaknya mengetahui.

Mengapa aku terkadang begitu gelisah. Dan mungkin menyesal. Bukan tentang apa yang ada pada diriu. Tapi yang ada dan melekat di sekelilingku. Aku merasa berada di lingkungan atau apalah itu yang mengelilingiku ini tidak dalam satu koridor yang sama. Aku berjalan kemana, mereka kemana. Aku pun jatuhnya hanya diam. Setidaknya diam itu penilaian mereka. Pada dasarnya aku menari-nari, melompat, bermain theater, bernyanyi, berteriak, dan melakukan apapun yang hanya aku mau. Tapi kebanyakan menilaiku buruk hanya karena aku tidak melakukan hal yang sama dengan apa yang orang-orang biasa lakukan. Bukankah memang begitu?

Kupikir, dan hanya kupikir, mereka perlu memahami lagi tentang arti kebebasan. Setidaknya definisi kebebasan bagi mereka diubah. Lebih kepada sebuah penerimaan dan penghormatan tinggi pada kedaulatan diri. Tidak terlalu banyak terpengaruh dan memandang. Cukup berjalan pada pijakan yang otentik dari dalam diri mereka sendiri dan berhenti berpikir tentang dunia yang bulat saja. Maksudku, apakah mereka pernah berpikir tentang dunia yang bulat-bulat. Duniaku, dunianya, duniamu, dunia ini, dunia itu. Tapi itu juga dalam satu nomenklatur yang sama. I mean, just let me do me, and I’ll let you do you.

Kenapa aku sekaku ini, sih. Aku cuma mau ngobrol. Aku cuma mau menumpahkan apa yang sedang membludak di benak ini. Tapi jangan anggap ini secara paten. Jadi namaku dina, begitupun aku orangnya: dinamis. Haha. Ingin selalu menyesuaikan dan terbuka dan tidak kolot dan tidak terbatas. Tapi masih dalam satu konsistensi. Ya, kuncinya itu, konsisten. Konsisten gak berarti stuck kan. Ya begitulah intinya.

Tapi ya, akhir-akhir ini aku sedang malas-malasnya bersosialisasi dengan orang, dengan manusia. Aku malas membalas pesan dari teman yang aku sendiri heran kenapa aku menyebut mereka teman. Tidak ada teman. Hanya aku dan diriku. Belum, mungkin. Aku ini selalu bicara sendiri terus menampiknya. Bukan, bukan menampik, tapi melengkapi, menyempurnakan. Aku selalu ingin sesuatu secara lengkap, utuh dan tepat. Aku tak ingin ada kebencian. Itu saja. Tapi sepertinya aku keterlaluan jika terus-terusan berusaha menjadikan sesuatu sempurna dan tepat dan utuh dan lengkap seperti aku apa adanya. Padahal tadi kan aku bilang kalau aku dinamis, aku selalu berubah. Dan memang ingin berubah. Juga ingin selalu berbeda. Oh, ya. Aku tidak senang dengan persamaan. Aku ingin semua hal itu berbeda. Mungkin karena itu aku selalu membenci, lebih tepatnya tidak suka, dengan perbandingan. Semesta menjebak kita untuk itu. Semua disajikan dalam sudut pandang acuan. Mengutip ini, mengutip itu. Mengapa kita tidak berpikir apa yang telah keluar dan dibagi itu menjadi milik yang menerima, yang dibagikan juga. Ah, ribet, maksudku, langsung saja, mengapa kita tidak berpikir global, namun juga bertindak secara lokal. Asyiq.

Begini. Aku gak suka dengan kata asing dan orang lain. Kenapa dipisah-pisah begitu? Dalam hal ini tentang keberadaan manusia. Bukannya kita cukup bisaamemahami satu hal yang bisa menjadi alat pemersatu, bahwa kita sama-sama manusia. Kata kuncinya cukup kedaulatan diri, terbuka, dan penghormatan.

Yang ingin aku katakakan adalah aku ingin menuju kedamaian dan perdamaian. Dan tolong bantu aku, apa yang melekat padaku. Aku akui tidak bisa sendirian dalam hal ini, temannn. Lupakan penilaian dan acuan. Lupakan. Hidupilah hidupmu dalam duniamu, jangan terlalu banyak menuntut. Kita tak akan kehilangan sesuatu. Apa yang telah keluar darimu adalah bagian darimu, apa yang tidak, adalah tidak. Cukup itu saja, jangan banyak menyesal. Aku bicara juga pada diri sendiri. Hehe. Dan juga behenti berpikir kalau kamu berjalan di bumi yang sama, dan kamu adalah kamu yang sama. Cukup sadari apa yang telah kamu keluarkan dan bagaimana itu memberi makna pada kehidupan.

Sudah, aku sedikit lega. Tapi tetap saja, manusia beragam dan tidak semua punya telinga dan mata yang sesuai dengan suaraku. Ya tidak apa-apa. Intinya aku mau tetap menjadi diriku sendiri dan tidak senang dengan mental pengutip. Ups, sorry.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?