Tentang Paradoks Batu
Paradoks.
Paradoks menurut pemahaman saya adalah sebuah kata untuk
mewakili keadaan yang disana terdapat beberapa premis, dimana premis-premis
tersebut kontradiktif dengan apa yang sebelumnya biasa ada dan dianggap benar.
Paradoks pada bayangan saya adalah seperti cabang-cabang yang bercabang-cabang tak
ada ujung, seperti lapisan-lapisan yang berlapis-lapis tak ada habis.
Pernah dengar omnipotence
paradox?
Paradoks yang mempertanyakan tentang kemahakuasaan Tuhan,
seperti halnya “The Paradox of Stone”:
Bisakah Tuhan menciptakan sebuah batu
yang sangat berat hingga dia sendiri tak dapat mengangkatnya?
Apa yang saya tangkap adalah sebenarnya paradoks tersebut
berangkat dari entah pertanyaan atau pernyataan tentang kemampuan Tuhan
menafikan dirinya.
Hal itu dapat kita lihat dari presmis-premis pokok dari
paradoks ini yang menggiringnya pada jawaban iya dan tidak. Jika iya, bahwa Tuhan bisa menciptakan batu
yang sangat berat hingga dia sendiri tak dapat mengangkatnya, itu artinya Tuhan
tak maha-kuasa, karena dia tak dapat mengangkatnya. Jika tidak, itu artinya Tuhan tak maha-kuasa, karena tak dapat
menciptakan batu tersebut.
Jika yang dimaksud berat
disitu adalah mengenai besarnya ukuran, gaya tarik, tekanannya atau kosakata
apapun itu untuk mewakili hal semacamnya, maka secara jelas terlihat bahwa
“sang penanya” dari paradoks tersebut memahami Tuhan sebagai sesuatu materi yang setara dengan hal
yang memiliki berat,seperti halnya sebuah batu, sehingga dapat dipertemukan
dalam suatu kontradiksi. Namun, siapa yang tahu definisi berat itu sendiri secara pasti? Siapa yang tahu berat-nya Tuhan? Siapa yang tahu
kosakata lain diluar “berat” yang ada pada Tuhan?
Jika saja kata berat itu
diasumsikan sebagai entitas lain yang lebih dari sesuatu yang dapat ditangkap
oleh panca indra, maka bukankah pikiran atas batu yang sangat berat hingga Tuhan tak dapat mengangkatnya itu
sendiri lebih berat dari beratnya
batu itu?
Tapi, lagi-lagi itu juga hal yang pada hakikatnya “berbeda”.
Pikiran dengan batu berbeda, begitupun(apalagi) halnya dengan Tuhan.
Diantaranya sama sekali tak dapat beririsan. Semua adalah tentang batasan dan
ketidakbatasan.
Paradoks itu hanya sebuah spekulasi, hanya per-jika-an saja, yang sering berangkat dari
apakah lalu menggiring kita untuk
membatasi realitas antara iya atau tidak.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.