Sebuah Surat untuk Kamu dari Aku, sembilan belas masehi



Ketika ruang dan waktu belum juga berhenti memaksa akan keberadaannya, pagi berlalu menjadi malam. Kamu menutup lalu membuka mata. Kamu menghirup udara ke dalam tubuhmu lalu mengeluarkannya. Terus seperti itu sampai entah kapan akan berhenti. Kamu yakin akan itu, akan saat dimana semuanya berhenti. Semesta berhenti. Karena semesta adalah apa yang kamu sadari melalui dirimu. Dirimu adalah semesta, bukan bagian darinya.
Banyak yang berkata bahwa tempat dimana kamu berpijak ini adalah sebuah lingkaran, yang berputar seperti roda, yang membentuk sebuah siklus. Semuanya adalah tentang apa-apa yang bergerak. Tentang kakimu yang terus melangkah diatas pijakan yang juga berputar, bersama batasan masa, candra sangkala yang merangkak melebihi kencangnya perjalanan. Juga terkadang semua adalah tentang apa yang telah banyak dikatakan.
Namun, kamu tahu, semenjak penglihatanmu tak hanya bisa melihat, penciumanmu tak hanya mencium, pendengaranmu tak hanya mendengar, perabamu tak hanya meraba, pengucapmu tak hanya mengucap, dan perasamu tak hanya merasa, di dalam kejauhanmu yang paling dekat, teramat sangat kamu sadar bahwa tak ada entitas lain selain dirimu yang kamu yakini, setidaknya membuatmu untuk sedikit berpegangan teguh. Sebanyak apapun mereka. Segalanya adalah tentang yang berada di dalam, bukan sekedar yang telah keluar atau dikatakan.
Kamu selalu merasakan kediaman itu, walau seluruhnya, indera dan perangaimu acap kali menari-nari. Terkadang terlihat tak sendiri, bersama entitas lain yang tanpa kendalimu menyuguhkan interpretasi mereka padamu. Bahkan secara gamblang namun gamang, definisi atas dirimu tergelar begitu saja di hadapanmu. Mengitarimu dimanapun kamu merasa ada. Sama sekali kamu tak memiliki apapun yang tetap untuk mendefinisikan siapa dirimu. Apakah dirimu hidup saja kamu tak berani berkata benar. Setiap aliran darahmu, udara yang masuk kedalam tubuhmu, detakan demi detakan jantungmu, rasa dalam kalbumu hingga jalan pikir yang kamu lewati tidak ada yang pasti, tidaklah sama seperti sebelumnya. 

Kamu selalu berubah. Bahkan untuk menyebut dirimu adalah “kamu”, adalah nama yang mencoba mewakilimu, adalah kosakata apapun yang pernah kamu terima, tidak ada alasan untuk tidak ragu.
Kamu selalu berucap retoris pada cermin. Kadang dengan nada setengah memekik, kamu meminta seseorang dibalik cermin benar-benar berdiri di hadapanmu, memberi pantulan sorot matamu yang sebenarnya. Nihil. Pertanyaan tentang mengapa tak ada pantulan yang kamu kenal mebuatmu terus bertanya, bercakap dengannya, hingga larut dalam perbincangan yang menyisakan tanda-tanda tanya. Tapi kamu menyukainya. Kamu mengenalnya, mengenal segala apapun yang hinggap di seputarmu berkat tanda-tanda tanya, bukan karena titik-titik yang mematikan kata.
Hingga kini, kamu yang sadar akan keberadaanmu telah berjalan bersama masa. Entah sampai ujung mana kakimu akan berhenti melakukan perjalanan, setidaknya kamu selalu menemukan rasa di setiap jedanya. Untuk segala kekosongan yang menyesakkan memenuhi rasa-rasamu, untuk kelesahan dan ketidakkaruan yang memberi kepastian akan angan-anganmu, untuk lingkar dialektika yang menyadarkan akan batas-batasmu, untuk segala gerakmu yang mendiamkan sang akal, dan untuk segala kejadian serta keadaanmu yang tak henti mengabur pada realita, teruslah berubah untuk tidak berubah. Teruslah mencari kata-kata dalam hidup yang juga matimu, dalam realita yang juga khayalmu.
Walau, kadang kala, kamu terlampau lebar membuka mata. Menangkap apapun yang terpapar didepan indera. Maka, pernah kamu rasakan yang disebut luka maupun cinta. Tiap hadir, kesemuanya bagai rinai hujan yang menetes tepat di atas parasanmu sehingga menciprat menjadi banyak rintik. Sulit untuk diurai, semuanya hadir satu-satu atau bahkan secara bersama. Lebih pelik dari spektrum bianglala. Tak usah risih untuk mengungkapkan apa yang dirasa, keduanya membuatmu memahami manusia. Dan perihal memahami manusia, manusiakan dirimu pula sembari kamu menyelami definisinya.
Tak usah takut akan pandangan-pandangan mata. Muntahkanlah apa yang membuatmu mual. Peluklah apa yang membuatmu hangat. Gerakkan diammu. Tanpa peduli cepat atau lamban, gelap atau terang, temukan kata-katamu sendiri. Tak ada yang benar-benar berdiri tepat di atas kakimu ketika tak ada pijakan nyata, bahkan bayang-bayangmu. Tak ada kecuali Aku, yang sadar telah tercipta, untuk memahamimu bagaimanapun kamu adanya.


salam damai
dari yang selalu ada untukmu, Dina.
(13 Januari 2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?