Sebuah Surat untuk Kamu dari Aku, dua puluh satu masehi
Apakah ada sesuatu yang hilang?
Adakah yang mati?
Terkadang dunia-dunia peri di dalam
dirimu menguncup. Telah cukup lama kamu selalu berbenturan dengan dunia liyan
yang jauh lebih besar, riuh dan lantang. Dunia peri itu dulu tak peduli dengan
apa-apa yang menghantamnya, ia tetap berputar dan membuatmu bahagia lewat mimpi-mimpi.
Ia selalu membuatmu meliuk-liuk lepas. Kini, makin lama kamu hidup, rasanya ada
yang mati. Pupus dan hilang arti.
Saat belia kamu berangan setiap jiwa
murni punya peran besar bagi setiap gerak raga dan polah manusia. Kamu menolak
tabiat-tabiat gelap. Bahwa setiap hal adalah baik. Segalanya punya cela untuk
dibela. Setidak-tidaknya dari benakmu, luka lahir tanpa sengaja. Kamu yang
belia adalah sosok jembar hati. Sebab telah ada dunia yang kau punya. Ada dunia
yang setiap manusia juga punya. Setiap kepala adalah dunia. Hingga saat
dunia-dunia itu dipaksa tak berputar pada porosnya, kau masih juga bertanya,
“mengapa?”
Setelah besar, dunia yang sedang
kamu tinggali ini kamu rasai sangat jahat. Terlampau banyak realita tak sebaik
yang kau kira. Sampai-sampai tak ada lagi kata yang dapat kamu rangkai bebas,
tanpa takut menjadi gila. Kamu telah banyak sekali dihempas dan terombang-ambing.
Sekuat tenaga kamu simpan sendiri tangis itu, atau jika diberi terang pikir kamu
alihkan pada realita lain. Kamu pandai menyimpan rasa. Kamu lihai melipat
suara. Kamu mahir mengingat luka.
Terkadang, mereka, realita lain itu yang
justru membuatmu tegak lagi. Tapi kebiasaanmu bersembunyi, meski membuat
inderamu menajam, banyak manusia yang salah arti. Kamu selalu berharap tak
banyak bersuara untuk bisa terdengar. Dan nyatanya kamu perlu sadar lagi bahwa
tak semua manusia memiliki energi yang cukup untuk menangkap radarmu. Beberapa
mengandalkan ketitisan lain yang ia miliki, beberapa benar-benar tuli, bahkan
tak ada peduli.
Memang, kamu hidup dalam dunia yang
begitu bising. Riuh. Ramai tidak karuan. Kamu dikelilingi hiruk, yang sedikit
saja kamu membiarkan dirimu tenggelam, kamu akan jalan terseok-seok. Buram dan
pusing. Dunia luar seberisik itu; kamu perlu paham betul. Namun kamu pun
mafhum, pusat dunia tak hanya satu, tak hanya di kamu. Kamu kudu hidup
berdampingan dan memahami diri serta upayamu untuk pulih. Terima kasih karena
tak penah berhenti mencari tempat meneduh. Kamu selalu punya upaya agar
suara-suara itu meredam pelan-pelan, hingga hari-harimu yang hilang lekas
kembali. Kamu menyisakan ruang yang luas sekali untuk itu, untuk luka-luka yang
bakal datang lagi, bakal pulih lagi, membekas sampai akrab....
Yakinilah dirimu yang sejati akan terus kembali menjadi belia. Dewasa adalah belia. Itulah jalan yang dilalui setiap manusia dengan dunia-dunianya. Bahwa peralihan dunia, tak berarti apa-apa saat kamu tetap berpegang teguh pada pedalaman yang telah terpatri dalam dirimu sejak lama. Ia hanya sedang dalam sebuah siklus. Teruslah melangkah dan menyadarinya. Tetaplah merangkul dunia-dunia liyan, meski mereka berbenturan dan membuat duniamu terguncang gempa. Bukankah jika kau memilih meledak, artinya kau menjadi terbatas dan tak bebas? Jadi kau hanya perlu menjaga duniamu supaya terus hidup. Kemudian untuk menjadi hidup, kau harus memahami banyak makna. Kamu tak boleh membiarkan sesuatu yang mati di dalam sana menggerakkanmu. Atau gerakmu akan hampa, hambar tanpa rasa. Hooh cuyy, semuanya kudu pake rasa ^^
Sebab hanya dengan itu kau tidak hidup dalam
kepura-puraan. Hanya dengan itu kau dapat menjadi ada, untuk kehidupan sekarang
dan selanjutnya...
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.