Surat dari kamu untuk aku, dua puluh dua tahun masehi

 


Telah berapa masa ke pungkur kau biarkan dirimu lampau begitu saja? Pedihnya yang teramat atau memang kamu yang lalai?

Rasa-rasanya jalan begitu panjang untuk mentas dari kubangan yang sebetulnya kau gali sendiri. Dan masih saja belum tahu apa musababnya. Tapi sembilan bulan sudah lewat, dan kau baru benar-benar sempat menilik dirimu sendiri. Baru sempat nyalakan lagi pendar yang hampir-hampir habis masanya. Walau, ada yakin yang terpatri, tak akan sampai kamu padamkan janji-janji yang sudah jadi niat.

Percikan-percikan kecil itulah yang memantikmu. Kalau tak disulut, ia akan terus mengepul, menyelimut pada benakmu, menjalari mandeknya gerakmu. Walau kelalaian tak sepatutnya terus-terusan kau rawat, terima kasih masih menyisakan setitik yakin, bahwa kau akan terus berupaya meluru terang temara yang menjauh dan kian jauh jika saja tak segera kau rengkuh lagi dan lagi.

Bersesak-sesak peristiwa yang kau jalani. Masa yang ditarik ke belakang, adalah pintalan-pintalan penuh arti. Mereka tak pernah hinggap sebelumnya di pedalamanmu.

Untuk pertama kalinya, kau merasakan sakit sungguhan. Dan kau mulai menimbang-nimbang seberapa mampu tubuhmu mengejar angan dan waktu. Jangan sampai senantiasa megrek-megrek. Walau pada titik itulah, kian nampak jiwa mana yang tulus dan sepatutnya kau jaga supaya tetap akur.

Untuk pertama kalinya kau tersedu-sedan ditinggal liyan, yang setelahnya kau sadar, ada rasa yang dalam waktu lama kau biarkan tersemai liar di hatimu sendiri. Sampai-sampai kau kelimpungan saat ia pupus, membelot pada laku senyap yang kau gadang-gadang akan terus ditempuh dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Teramat lihai kau sembunyikan gusar itu. Teramat mahir kau timbun timbang rasa yang menjalar lama. Hingga sekali saja kau mulai membuka diri, memancarkan welas asih itu dengan cara yang kasat mata, kau berlari sangat kencang dan sembunyi. Meskipun jarak yang kau buat melindungi, ia ternyata bisa diam-diam mengurungmu pada harapan semu. Padahal, kau hanya menaruh hati pada ide, pada angan, pada ia yang tak sungguh-sungguh layak.

Untuk pertama kalinya kau gamang pada suara-suara kematian. Komat-kamit memohon umur yang panjang untuk mereka yang dekat. Bongkahan es mencair jadi hangat di pelupuk. Dan kau masih komat-kamit pada seluruh kekuatan yang paling kuasa, supaya kerabat dapat hidup selamanya. Meski beribu kali sesal, hadirmu hanya kala-kala. Begitu banyak momen kamu abstain. Barangkali masa memang makin sempit, dan tiada satupun yang tahu, bahwa sebongkah modal terhimpun untuk kamu mengirim tanda perpisahan. Meski itu sekadar kata-kata yang berserakan, memori itu kamu sadari akan abadi, meruap dan akan jadi tanda hidup suatu hari. Beberapa yang melekat akan sirna pelan-pelan, tapi kau sadar, mereka bermuara pada telaga hidup yang kau kenang, yang kau sayang.

Untuk pertama kalinya kau kerap berkelindan dengan soal-soal yang kaitnya silang sengkarut dengan tabiat banyak manusia. Gerakmu dinanti oleh tidak hanya satu-dua insan. Rasanya masih belum tuntas dengan masalah sepanjang hayat: mengemukakan gagasan di depan banyak mata. Kau masih saja mahir berderap-derap. Hanya pasang telinga, berteriak lirih, dan tak ingin nampak begitu gamblang. Entah apa musababnya. Tapi realita yang tengah kamu hala, begitu pelik dan tiada mungkin kamu tak acuh. Boleh jadi kamu sedang dalam fase latihan rela. Tegarmu, kau sendiri tahu, akan selalu terkuras meski tak akan sampai habis. Yakinilah, tak akan sampai pada titik nadir, hingga kamu sungguhan hampa meski semua-muanya sesak. Akan ada sesuatu yang menuntunmu pada banyak persimpangan yang kamu tempuh dengan sadar utuh, serta berani.

Untuk pertama kalinya, kamu kuncup dan mekar di atas tanah yang tak basah dan nyaman. Tapi kau terus punya siklus yang berulang seumpama darah yang mengalir teratur dari liang rahim. Kau selaras dengan gugusan mega yang mengelompok di atmosfer bumi, dengan gas menyala mengedar nan jauh di atas sana, dengan segala yang bergerak dan mengandung pesan.

Teruslah mengalami. Meresap, mengakar kuat, dan menjalari segenap jagad, sungguhpun tiada iring-iringan pelengkap selain nalurimu sendiri.

Terima kasih karena tidak berhenti.

Dari aku yang selalu ada untukmu, 
Dina.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?