Lulus!
Terkadang saya menyadari
bahwa saya telah tumbuh begitu cepatnya menuju dewasa. Waktu tak ubahnya hanya
kedipan-kedipan cahaya yang cepat.
Saya sudah lulus sekolah
menengah atas! Cepat sekali.
Sampai di umur tiga tahun saya
tak tahu apa yang sudah saya lakukan dalam kehidupan ini. Saya juga tak ingat
rasa dan bahasa apa yang ada pada diri saya waktu itu. Banyak imajinasi.
Saya mulai sekolah di Taman Kanak-Kanak dari umur empat tahun kurang sampai lima tahun. Waktu itu saya adalah anak yang pendiam. Saya ingat sekali. Saya tidak punya teman selain sepupu sendiri. Saya tidak seperti teman-teman lain yang ceria dan aktif bermain sana-sini. Ketika ingin bermain di sebuah wahana permainan saja, seringkali saya tak mendapat giliran. Bayangan ketika saya harus selalu menunggu giliran untuk bermain nampak dalam ingatan. Waktu itu saya selalu menunggu, meski tahu tidak mendapatkannya sampai bel masuk berbunyi.
Entah perasaan apa yang saya rasakan waktu itu,yang jelas saya
agak sedih mengingatnya kembali. Saya juga sering atau bahkan selalu berangkat
sekolah sendirian, dan selalu terlambat. Saya ingat sekali keadaan itu, dimana
saya berangkat selalu ketika semuanya sudah berbaris di depan pintu atau sudah
memulai pelajaran. Sedang saya masuk lewat pintu belakang. Tapi saya rasa waktu itu
saya tidak bersedih dan menangis. Terlatih menghadapi semuanya dan tidak lari pulang. Lalu ketika pulang sekolah pun, saya
seringkali terlambat. Saya mengerjakan tugas terlalu serius dan saking lamanya selalu selesai paling akhir. Tidak mau saya beranjak pulang jika pekerjaan belum selelsai. Sehingga guru saya harus menunggu saya waktu itu. Entah saya
itu terlalu santai atau memang tak acuh.
Menginjak usia enam tahun
saya masuk sekolah dasar. Disana saya bisa membanggakan diri saya karena secara
akdemik, saya mulai eksis. Terbukti dengan rangking saya yang tak pernah
jauh dari sepuluh besar selama enam tahun. Dari kelas satu sampai kelas empat, seingat saya, saya selalu mendapat juara dua. Mungkin karena nilai dan rangking semacam itu yang selalu jadi tolok ukur oleh kebanyakan orang, jadi saya dicap anak yang pintar di sekolah. Tidak membuat nyaman.
Disamping itu, saya lumayan bisa bergaul. Saya lumayan punya teman, walaupun hanya yang dekat-dekat saja, itupun sebagian besar adalah tetangga saya. Kebanyakan teman saya adalah perempuan. Lingkungan saya memberi batas tebal antara bocah laki-laki dan perempuan. Jika memiliki teman dekat lelaki, itu artinya dia adalah pacar. Tidak luwes.
Enam tahun
di sekolah dasar berjalan mulus, tidak ada yang membekas atau yang selalu
teringat di benak saya. Saya masih sangat pemalu. Meski banyak teman memandang saya punya banyak kelebihan soal akademik, saya justru merasa seperti terisisih. Kurang bisa membaur, pun tak selalu sepembauran. Saya juga mulai merasa tak percaya diri dengan diri saya. Merasa buruk dengan postur badan yang tinggi, kurus dan hitam. Beberapa teman mengejek. Saya tak banyak hiraukan. Namun ketika menginjak kelas enam. Saya ingat pada
masa itu tiba-tiba kepribadian saya yang pendiam kembali. Saya yang biasanya
bergaul biasa dengan teman-teman terkadang sering duduk diam dan agak muak
dengan lingkungan sekeliling saya. Jika
saya ingat-ingat lagi, bisa jadi salah satunya adalah karena masalah di
keluarga saya pada waktu itu. Juga karena teman-teman saya yang kebanyakan tak
“cocok” mungkin. Juga untuk kebisaan saya yang sering terlambat, kembali lagi
saat itu.
Kemudian memasuki masa
Sekolah Menengah Pertama, masih tetap sama seperti dulu saya masih berada dalam
kategori siswa yang pintar dalam hal akademik. Tak ada kegiatan yang saya ikuti
di sekolah dan juga tak banyak relasi yang saya punya. Kelas satu tak begitu
berkesan. Teman dekat yang saya punya hanya teman sebangku saya dan yang lain
hanya sebatas “Oh, hai.” Lalu pergi. Tak ada juga teman dekat laki-laki, mereka sulit diajak berinteraksi dan berbicara dengan dalam. Kelas dua teman dekat saya bertambah dua. Itu
peningkatan yang baik. Jadi waktu itu saya punya tiga teman dekat, tapi entah
mengapa teman dekat saya ketika kelas satu menjadi jauh karena kita sudah tidak
satu kelas lagi. Jarak memang punya andil besar dalam sebuah hubungan. Jadi
sebut saja saya punya dua teman dekat di kelas dua. Kami sama-sama bukan
individu yang menojol dan mempunyai banyak kecocokan serta ketidaksukaan
terhadap sesuatu hal yang sama, makanya kita bisa berteman.
Di kelas tiga,
teman-teman di kelas satu menjadi teman satu kelas lagi. Secara tidak langsung
kita kembali akrab. Dari sekedar “Oh, hai.” berubah menjadi “Woey!”.
Jika bicara tentang masa
Sekolah Menengah Pertama, mungkin hal yang langsung terbesit di ingatan saya
adalah tentang kebiasaan saya terlambat hingga berkali-kali masuk Bimbingan
Konseling dan menangis. Hingga pernah jatuh tersandung tepat di depan pintu
kelas ketika guru sedang mengajar. Tepat di depan kelas dan ditertawakan. Atau mungkin
kaos kaki saya yang disita karena ketahuan tidak berwarna putih. Lalu nilai
sempurna yang dikurangi karena ketahuan tidak mengerjakannya di rumah. Tapi
saya boleh berbangga karena saya juga hampir tidak pernah lepas adari rangking
sepuluh besar di kelas waktu itu walaupun saya tidak pernah mencatat dan
mengerjakan tugas di rumah. Rebel.
Memasuki masa Sekolah Menengah Atas dimana banyak yang bilang bahwa itu adalah masa yang paling indah di sekolah, saya masih belum bisa membuktikannya. Masih seperti masa sekolah sebelumnya, masa itu bagi saya tetap biasa saja. Saya masih tidak punya banyak relasi, kemampuan bergaul saya juga tetap seperti itu dan prestasi saya tetap seperti sebelumnya, selalu dalam sepuluh besar walaupun tak pernah mencatat dan mengerjakan tugas di rumah. Bisa dibilang saya beruntung karena saya selalu bisa masuk di sekolah yang prestasinya baik sedangkan kualitas saya sebagai siswa yang bagi saya tidak sebaik yang orang-orang pikirkan.
Itu persepsi saya yang tak mau menerima pencapaian diri saya sendiri. Saya selalu mencari alasan buruk untuk ketidakpantasan saya mencapai sesuatu. Selalu merasa tak punya banyak usaha. Dan rasa-rasanya memang begitu. Saya terlalu acak dan berserah diri. Dibandingkan dengan teman-teman lain (yang saya lihat berupaya begitu keras serta banyak khawatir), saya kelewat santai. Semaunya sendiri. Hanya melakukan apapun sesuai kehendak hati, sesuai dorongan apa yang disukai. Tidak sistematis seperti mereka. Dan mengapa saya disorot?
Padahal saya hanya sepenuhnya menggunakan daya pikir atas intensi murrni. Bukan atas daftar yang kudu dikerjakan secara turun temurun itu. Bagi saya kebebasan kehendak menggiring kita pada banyak pemahaman indah yang tak ditemui di manapun!
Mungkin pencapaian-pencapaian itu begtu berarti bagi segelintir oranng atau teman sekitar saya. Tapi, misalkan saya mendapatkannya, saya pikir pencapaian itu ingin menyampaikan suatu maksud: tak ada artinya jika semua bukan karena dorongan murni dari diri sendiri.
Saya mengerti dan berkata pada diri sendiri ketika naik panggung prestasi. Tak usah tepuk tangan, saya lulus!
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.