Untuk Jadi Ada




Pernahkah kamu,

berjalan pelan-pelan atau bahkan seolah merayap,

menundukkan kepalamu serendah mungkin,

menyunggingkan senyum terbaik yang kau bisa,

meletakkan hati kecilmu dan menyembunyikan suara impulsifmu serapat mungkin, sekecil mungkin, sedalam mungkin.

Hingga mulutmu mengambil alih semuanya,

situasi paling asyik bagi yang diseberang adalah yang utama,

atau jika perlu mulutmu harus tega membunuh habis entitas aslimu.

Dapatkah kamu rasakan,

ketika bagian minoritas pada dirimu berkali-kali berteriak keras mengalahkan mayoritas,

"Eksistensimu atas mata mereka itu nomor satu!"

Kamu sebenarnya tak jarang dibuat meringis atas pantulan yang mereka beri,

dan mungkin saja kamu sama sekali tak digubris,

hingga untuk kesekian kalinya, mayoritas dalam dirimu berbisik lirih,

"Eksistensimu tak butuh mata mereka. "

Tapi, kamu lagi-lagi membiarkan mulut, sampai seluruh ragamu manut pada situasi yang nyaman bagi mereka, ikuti arusnya hingga kamu akan dianggap ada.

Kamu terus menampik suara-suara dari hati kecilmu yang kamu curigai hanya praduga saja.

Lalu, pernahkah kamu merasa lega ketika kamu menghirup angin baru setiap harinya dan kamu menyadari bahwa entitasmu yang asli girang bersamaan dengan angin baru itu.

Kamu curi-curi ruang dan waktu untuk merasakan kelegaan itu.

Hingga perlahan, hati kecil dan suara impulsifmu punya perannya, tak terkecuali mulut yang mulai ikut.

Kamu yang lega karena kamu tak jadi berubah untuk mereka berkata,

"Aku tak butuh eksistensi!"

Lalu kamu berlari mengikuti cahaya matahari, semakin kamu jauh, semakin kamu menyilaukan mata mereka yang hanya bisa melihat eksistensi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?