Iklan Apa yang Merasukiku




bluesmagazine.nl


Ajining diri gumantung ing lathi. Ajining raga gumantung saka busana.” kata Bapak sambil lalu.

Sore itu Bapak datang mengunjungi kediaman saya dan kakak di Jogja. Belum sempat duduk dan berbincang, bapak mengucapkan pitutur Jawa itu tepat kepada saya. Bapak seringkali mengucapkan sesuatu secara tiba-tiba. Namun kali itu sedikit berbeda.

Saya sebenarnya paham arti dari peribahasa populer tersebut. Kira-kira terjemahan bebasnya adalah bahwa harga diri seseorang tergantung pada tutur katanya, dan nilai penampilan fisik seseorang tergantung pada busana yang dipakai.

Hal yang tak saya pahami, apa intensi Bapak mengucapkannya tepat di depan saya? Entah apa yang merasuki Bapak. Saya yang baru saja pulang kuliah waktu itu seketika mengernyitkan dahi.

Dengan terbengong-bengong, saya terhenyak dan mengamati pakaian yang melekat pada tubuh saya. Tidak saya jumpai hal yang keliru. Saya hari itu mengenakan pakaian seperti biasanya. Celana jeans panjang, lalu setelan kaos dan kemeja sebagai outer. Itulah style saya selama beberapa tahun ini, tepatnya semenjak saya menginjak masa remaja. Saya terlanjur nyaman dengan penampilan tersebut. Hingga kini, ketika tak berpenampilan seperti itu, saya merasa “itu bukan saya”. Meski hanya mengganti celana dengan rok misalnya, saya akan merasa bagian dari diri saya hilang.

Selain itu saya memiliki dua orang kakak, laki-laki dan perempuan. Seringkali pakaian mereka dihibahkan kepada saya. Saya yang telah memiliki selera sendiri dalam berpenampilan, tak serta-merta memakai hibahan tersebut. Dengan tetap rendah hati, saya menerimanya dan berkata, “Ini kusimpan, tapi paling-paling kupakai kalau nemu setelan lain yang cocok.”

Kakak perempuan sayalah yang kerap kali memberikan pakaian bekasnya pada saya. Sungguh, jika ditilik lagi sejak kecil, delapan puluh lima persen pakaian saya adalah bekasnya. Ketika saya menolak dengan menunjukkan muka masam, cepat-cepat ia melemparkan pujiannya pada saya. “Tuh, kalau kamu yang pakai terlihat pantas!” Saya ragu. Ia kembali meyakinkan, “Itu pakaian bermerek.”

Pakaian kakak saya memang sedikit banyak merupakan merek-merek terkenal. Waktu kecil saya tak begitu menggubrisnya. Namun entah mengapa, kini bujukan kakak saya yang terakhir itu menghilangkan keraguan saya. Saya mulai memakainya. Lalu memadukannya dengan setelan lain sesuai style saya hingga ketika memakainya saya akan berkata, “Ini aku banget.” Mereka memberi kesan anggun, sederhana, supel, santai sehingga saya menyukainya.

Meski dengan gaya yang begitu-begitu saja, justru saya cenderung memiliki hasrat untuk memiliki pakaian pelengkap lain untuk dipadukan dengan yang sudah saya miliki. Saya pun mulai tertarik dengan iklan-iklan pakaian yang ditawarkan oleh situs belanja online. Mereka seringkali muncul dalam lini masa media sosial saya. Algoritma pada akun saya sudah bekerja. Sebab saya sering mengunjungi akun-akun fesyen yang sesuai dengan apa yang saya sukai. Sehingga iklan yang muncul pun acapkali berhasil menggiring jari-jari saya untuk meng-klik-nya.

Sebenarnya iklan-iklan pakaian seperti celana jeans atau kemeja flannel yang ditampilkan tak terlalu menonjolkan kata-kata seperti iklan pada umumnya. Saya lebih terpikat dengan merek serta sisi visual dalam iklan alih-alih pada kalimat persuasif yang ditampilkan. Seperti terbuat dari bahan ini-itu, dapat menyerap keringat, atau digunakan saat momen begini dan begitu. Saat itu juga, bagi saya label, potongan yang pas serta warna yang menawanlah yang dapat menggiring kehendak saya untuk membelinya. Apalagi, dalam iklan model perempuan yang ditampilkan mengenakan pakaian-pakaian tersebut terlihat pantas. Saya membayangkan, begitulah saya terlihat ketika memakai pakaian tersebut. Persis seperti model-model anggun itu. Saya meng-klik ‘beli’ sambil tersenyum.

Hal ini tidak hanya berlaku sekali dalam hidup. Dengan keterpikatan yang sama, saya menuruti hasrat untuk melengkapi setelan dengan variasi warna atau motif lain. Begitu seterusnya.

Namun faktanya, hingga kini saya hanya memakai pakaian itu beberapa saja. Dan itu-itu saja. Tidak semua yang saya beli pantas untuk selalu saya kenakan. Saya pun tidak lantas mirip dengan model anggun yang ditampilkan di iklan.

Dari sana saya secara tidak sadar—meski kini sadar—telah mempersilakan raga saya diambil alih oleh pakaian menawan yang bermerek tersebut. Setelahnya, secara penuh dan saat itu juga saya mengonsumsi sebuah tanda—style dan merek itu.

Seolah-olah jati diri saya telah utuh ketika memakai pakaian bermerek itu. Bahkan saya sebagai subjek merasa objek itu menjadikan saya tidak merasa insecure. Hari-hari saya berjalan lancar tanpa hambatan. Lebih-lebih, saya juga merasa memiliki semacam ciri yang melekat yang menandai diri saya dengan yang lain. Pada momen inilah rasanya fungsi kontrol atas diri saya telah diambil alih oleh apa yang melekat pada saya, tepatnya oleh apa yang saya sendiri lekatkan.

Namun, mengapa saya mau-maunya melekatkan perintilan tersebut pada diri saya? Parahnya saya merasa “utuh” dengan itu semua.

Jika saya renungkan lagi, nilai-nilai ini tak datang dari ruang kosong. Terdapat pihak lain yang memengaruhi kemauan dan hasrat saya. Itu adalah iklan tersebut, model perempuan yang ditampilkan, style dan warna yang pas serta merek-merek yang melekat. Kesemuanya menandai saya hingga membentuk suatu konsep tertentu dalam benak saya.

Saya sendiri lalu merasa mantap dengan konsep nilai-nilai tersebut, bahwa inilah penampilan yang mendukung pembawaan saya, bahwa ini pantas bagi saya, ini membuat saya terlihat anggun, sederhana, supel, santai dan lain-lain. Kondisi-kondisi itu secara halus diolah oleh iklan yang telah terpapar pada saya.

Kebutuhan dasariah saya dalam berpakaian sampai-sampai bukan menjadi tolok ukur utama saya dalam mengonsumsi produk fesyen. Bahkan benda-benda tersebut terlanjur memberikan makna pada diri saya. Sehingga saya lantas percaya. Sehingga saya lantas lebih berpusat pada gaya hidup dan nilai yang telah terjunjung tinggi itu.

Kondisi ini, meminjam istilah Jean Baudrillard—seorang pakar teori kultural yang menulis “Masyarakat Konsumsi”— menyebutnya sebagai hiperealitas. Disinilah, karena iklan khususnya, tercipta satu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian, tanda melebur dengan realitas.

Karenanya saya berlebihan dalam mengkonsumsi pakaian yang tidak jelas esensinya. Pakaian-pakaian yang saya asumsikan “aku banget” tersebut menemani saya bersama kekuatan semiotika dan manipulasi oleh iklan. Saya pun dibuat tak bisa lepas olehnya. Hanya karena citra atau penanda itu telah menggantikan pengalaman saya dalam berpenampilan. Entah, iklan apa yang merasuki saya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?