Matahari Terbenam di Tandon


Libur awal semester pertama kemarin, saya pulang kampung ke Wonogiri. Baru lima bulan saya meninggalkan daerah itu, rasanya sudah banyak sekali yang berubah. Mulai dari pembangunan shelter baru, panggung alun-alun yang terbuka, hingga bundaran simpang lima yang tiba-tiba berdiri patung Bung Karno di tengahnya. Tak terkecuali rumah saya, warna cat pagarnya juga berubah. Banyak yang berubah setiap bergulirnya waktu di kabupaten kecil ini. Saya pun merasa telah pergi lama dan tertinggal banyak hal, barang satu hari saja.
Saya berharap orang-orang yang saya kenal tidak berubah. Lalu, suatu ketika saya dan teman-teman SMA merencanakan untuk pergi bersama atau dalam bahasa kami “dolan bareng”. Mereka masih teman-teman saya, masih kocak seperti dulu. Saya bernafas lega. Saya adalah orang yang takut dengan perubahan-perubahan. Terlebih jika perubahan itu saya tak tahu juntrungnya.
Kami memutuskan untuk pergi ke salah satu rumah teman. Kebetulan, rumah teman saya dekat dengan suatu waduk tempat kami biasa nongkrong. Waduk Krisak, atau orang biasa menyebutnya Tandon merupakan waduk kecil yang indah. Disana para warga memanfaatkan jalur tanggul sebagai semacam tempat wisata, tempat nongkrong anak muda, tempat berjualan dan menggembala ternak. Tempat itu sebagai wisata warga di sore hari. Pemandangan danau, pegunungan, bebatuan dan lanskap senjanya memang menawan.
Namun, sesampainya saya dan teman-teman saya di sana, ada satu hal lagi yang berubah. Jalur tanggul waduk yang dijadikan warga sebagai jalan alternatif antara Desa Tandon dengan Singodutan itu ditutup total. Tidak ada lagi warga yang boleh memasuki kawasan tersebut. Sontak kami terkejut dan terheran-heran mengenai penutupan waduk ini.
Pintu masuk menuju jalur tanggul dipagar besi. Serta dipasang plakat berisi surat instruksi dari Unit Pengelola Benduangan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo untuk menutup total jalur tanggul dari lalu lalang warga per 7 Januari 2018, dua hari setelah saya dan teman saya mengunjungi tempat itu. Sepanjang jalan pulang, kami membicarakan alasan ditutupnya Tandon dengan perasaan kecewa karena agenda melihat matahari terbenam dan membeli jasuke di sana terpaksa gagal total.
Mengenai alasan ditutupnya jalur tanggul, dalam plakat surat instruksi yang merupakan terusan dari amanat Pasal 87 Peraturan Menteri Nomor 27/PRT/M/ Tahun 2015, disebutkan bahwa bendungan merupakan objek vital negara yang harus dilindungi keamanannya. Bendungan harus dijaga dari beberapa hal seperti kemunduran mutu, banjir, gempa bumi, kemacetan alat, kegagalan operasional hingga tindakan vandalisme.
Lima hari setelahnya, dengan rasa penasaran yang tinggi, saya mendatangi lagi puncak bendungan Tandon itu seorang diri. Saya ingin mengetahui alasan penutupan serta perkembangan waduk tersebut. Karena saya tahu, waduk sekaligus jalur tanggul itu berada dekat dengan pemukiman warga dan keberadaannya pun sering dimanfaatkan warga.
Siang hari setelah zuhur, saya menghampiri sebuah warung makan tepat di sebelah kiri pintu masuk jalur tanggul dari arah Kelurahan Tandon. Kebetulan disana saya bertemu tiga warga dan salah satunya yang bernama Edi. Ia merupakan orang yang terlibat langsung ketika petugas Unit Pengelola Bendungan BBWS Bengawan Solo datang melalukan rapat sosialisasi terkait penutupan waduk di kelurahan.
Edi terlihat lelah. Keringatnya mengucur. Katanya setengah hari ia mengurus lahan di dekat waduk. Segera ia meletakkan puntung rokoknya. Sambil menyipitkan mata, ia mengingat-ingat waktu ketika ia datang dalam rapat di kelurahan sekitar setahun yang lalu.
Rapat di kelurahan yang melibatkan perwakilan warga, pegawai kelurahan, polsek, serta koramil tersebut dilakukan secara bertahap. Rapat pertama lah yang melibatkan warga. Disana, warga dimintai masukan. “Kalau maunya warga kan dulu ini tidak ditutup, diminta pagi buka, sore ditutup.” papar Edi.
Warga menginginkan bahwa waduk dibuka dari pukul setengah enam pagi dan ditutup pada sorenya. Atas permintaan warga tersebut, pihak pengelola pun menerapkan sistem buka tutup pada jalur tanggul.
Setelah berjalan hampir setahun, pihak operasional di Wonogiri mendapat perintah dari unit pengelola di Solo. Tiga bulan sebelum tanggal 7 Januari, dipasanglah pagar besi dan pengelolaan diambil alih langsung dari petugas operasional di Wonogiri ke Unit Pengelola Bendungan BBWS Bengawan Solo.
Menurut Edi jalur tanggul Waduk Krisak dulu hanya berupa tembok biasa. Setelah dibangun akses jalan pada puncak bendungan, oleh warga kemudian digunakan sebagai jalan alternatif antara Kelurahan Tandon menuju Singodutan, Krisak. Selain berjalan kaki, tak jarang warga menggunakan kendaraan bermotor untuk melewati jalur tersebut. Termasuk juga saya dan teman-teman saya yang melewati jalur tersebut untuk menikmati pemandangan sepulang sekolah dulu.
Dalam surat himbauan tertera bahwa tujuan penutupan adalah mengurangi pergerakan tanah bendungan, sehingga umur layanan bendungan dapat dipertahankan sesuai umur rencana pembangunan.
Selain masalah fisik bangunan, puncak bendungan pun sering digunakan para anak muda untuk nongkrong serta pacaran. Sehingga sebagian warga merasa takut dan risih. “Kalau malam sering untuk nongkrong, tapi itu warga luar, dan tak tahu waktu jadi warga kalau lewat merasa takut.” kata Edi membenarkan hal tersebut.
Terlebih lagi, sebagian warga ketika musim kemarau memanfaatkan lahan di dekat waduk untuk menanam jagung, padahal menurut pihak pengelola hal ini jelas dilarang. Namun, Edi berdiri dan menunjuk lahan di area waduk yang dulunya ditanami jagung oleh warga. Awalnya penanaman di dekat bendungan diperbolehkan dengan batasan luas lahan. Namun, lambat-laun penanaman jagung semakin ke barat mendekati area bendungan. Hal inilah yang menurut Edi membuat pihak pengelola dari pusat menyorotinya dari CCTV melalui server yang baru dipasang pertengahan tahun 2018 kemarin.
Sebelum terdapat himbauan tentang penutupan puncak bendungan, petugas pengoperasian mengaku ketika mereka juga melewati jalur tanggul sering menemui aksi vandalisme, seperti perusakan fasilitas waduk hingga corat-coret oleh pengunjung. “Sebelum ditutup kita kan lewatnya juga disini. Nah, kalau pas waktu piket, itu kan banyak kiri-kanan orang pacaran sama orang mabuk-mabukanan.” kata Manige, petugas operasi bendungan yang dikelola langsung oleh Unit Pengelola Bendungan BBWS Bengawan Solo tersebut. Manige kebetulan lewat ketika saya dan Edi sedang berbincang. Edi pun ingin melanjutkan pekerjaannya dan menyuruh saya mengobrol lebih lanjut dengan Manige yang sekaligus sebagai koordinator petugas operasional.
Pihak Unit Pengelola Bendungan, Heru Prihananto yang saya temui dalam kantor kecilnya bersama beberapa timnya menjelaskan bahwa penanaman jagung akan menambah sedimentasi. Hal itu menimbulkan menimbulkan kedangkalan. Sambil berkelakar, ia menunjukkan layar monitor di depannya yang menampilkan potret bendungann-bendungan yang dalam pantauan mereka.Waduk Tandon salah satunya.
Heru memperbaiki posisi duduk dan mulai menerangkan pada saya dari awal. Katanya, lalu lalang kendaraan bermotor akan menambah pergerakan tanah di bawah bendungan dan dapat menimbulkan keretakan. Hal ini yang dikhawatirkan akan membuat umur layanan bendungan yang selesai dibangun sejak 1943 itu tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Heru menyatakan pula bahwa kewenangan Waduk Krisak saat ini dipegang oleh Unit Pengelola Bendungan BBWS Bengawan Solo dibawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pihaknya menginformasikan bahwa memang sebelumnya pengelolaan waduk dipegang oleh dinas daerah, kemudian dipegang pusat mulai tahun 2014 setelah berakhirnya batas waktu Memorandum of Understanding. “Kontraknya habis, pemerintah pusat itu melihat, selama dikelola sama kabupaten kurang bagus, jadi tidak ada perpanjangan lagi untuk MOU-nya.” jelasnya.
Heru menggarisbawahi, bendungan adalah objek vital negara yang harus dilindungi dan jalur tanggul bukanlah untuk jalan umum. Serta kewenangan bendungan adalah dari pusat. Untuk itu Unit Pengelola Bendungan yang mengelola 31 bendungan dari 192 bendungan di Indonesia tersebut menutup total jalur tanggul Waduk Krisak.
Penutupan tersebut menurutnya dapat meminimalisir vandalisme, kerusakan bangunan, serta potensi kriminalisasi. Dinilai bahwa pihaknya sekaligus meluruskan pemikiran warga tentang bendungan agar tidak disalahgunakan. “Dulu seolah-olah masyarakat umum menikmati bendungan itu sah-sah saja, tapi sekarang kok dibatasi, seperti hak masyarakat dibatasi. Itu sebenarnya kebudayaan yang keliru, sekaligus kita meluruskan kebudayaan yang seperti itu.” pungkasnya.
                        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?