Postingan

Telapak-telapak...

Bukan Cerita Werkudara dan Arimbi

Gambar
“It is difficult because you’re not here for the lust, inflation, quantity, comparison, competition, or constant experiences. You’re here for solidarity, peace, tranquility, soul, deepness, love and empathy.” *** Silakan tertawa atau bergidik-gidik selepas kalimat yang kutulis ini selesai. Tak apa dan perlu kuakui terang-terangan: setelah sekian abad, akhirnya aku berani menyatakan–setidaknya pada diriku sendiri dan teman dekat–bahwa aku jatuh hati. Seperti di film-film. Persis di cerita-cerita novel. Dimana aku akhirnya memenuhi syarat untuk masuk dalam definisi jatuh cinta: ketika kamu mengagumi seseorang, bahkan sejak pandangan pertama, lalu jantungmu deg-degan, ada perasaan membuncah dan meletup-letup, ada obsesi dan ambisi untuk terpikat dan memikat. Sejauh ini aku menganggap relasi yang kupunya dengan setiap manusia begitu beragam. Dan sangat amat rumit untuk dikategorikan dalam konstruksi-konstruksi yang sudah ada. Aku lebih-lebih memandang dan mengukurnya dari seberapa kuat ‘ko

Sedap Malam

Gambar
Tak ada apapun sebesar dunia yang kau inginkan. Cukup pendar hangat dan dekat di pusat batin, yang kau dekap setiap saat. Tapi kau menangisinya. Hanya pada segala yang lembut dan halus, kau menyambutnya. Sehingga tak ada apapun yang besar menyilaukan, menggelegar, menyengat, menyentak, yang dapat kau terima. Begitulah dirimu yang liliput. Kenapa kau menangisinya? Kenapa kau justru menciut? *** Aku tak menyangka akan tersedu sedan begini. Tak menyangka juga membiarkan susah hati yang berlarut ini nampak dalam derik-derik tulisan, yang entah bakal beredar di internet, atau menumpuk saja di arsip personal seperti biasanya. Aku masih tak menyangka, si sedih menetap begitu lama tanpa kuajak bicara. Selama ini aku ke mana? Kadang-kadang aku merasa habis, meski dada rasanya ingin membuncah. Dan aku selalu mengakhirinya dengan menulis. Syukurlah masih tenggang untuk mengurai kasak-kusuk yang tak karuan ini. Selalu ada momen jeda untuk menepi. Menafsir setiap hal menjadi bahasa, menjadi ruh, ya

Understanding Love?

Gambar
Only fairly recently, “love” in a romantic way, became the thing that always popped up in my head. There is always a trigger that makes me keep thinking about it. A joke from my friends or just constant quips and questions as to why I remain alone in the midst of the hustle and bustle of this world. In the middle of a conversation, a friend said, “Your heart is cold.” And I seem too idealistic, they said. But what's the point of life if you don't have value to hold? Or in another moment, the other friend stated that I choose to be single because I'm difficult to approach and too hard to open up with men. Some said I am just not ready yet to be in a relationship. Or something must be wrong within me. A friend once said, that I probably don’t have sexual attraction toward another. I know he’s not that serious, but I just get it seems confusing. Why did people see me just like a rare anomaly girl, only because I have never been in a romantic relationship?  I let too many aside

Notula saat malam berasap

Gambar
10/10/2022 | 22.28 | 25°C berawan Keseharian kita barangkali adalah gugusan periodik singkat. Hari-hari yang melekat pada memori masing-masing dari kita telah dengan sendirinya tersekat. Bisa jadi hanya Senin sampai Jumat. Atau hanya hari Ahad, dari bangun sampai lelap. Sisanya kita melayang-layang tanpa tahu pangkal mula kita ajek hidup. Batasnya cuma angan, cuma sembulan-sembulan kecil yang memantik kita buat bergerak. Sepanjang hayat aku ingin percaya, bahwa kita semua tanpa kecuali, sedang dalam perjalanan tamasya mengumpulkan ingatan menuju satu hal ihwal yang begitu didamba. Kita sedang sama-sama membuat satu jalinan yang tak akan pernah nampak, karenanya ia kerap dimaknai hampa. Tapi aku ingin terus percaya dan menjalaninya dengan segala penghayatan, meski jangkanya begitu lamban, rentangnya teramat renggang. Jalan senyap itu, akan diam-diam kita tempuh, bagaimanapun gemparnya dunia.  Aku sama sekali tak merasa terombang-ambing pada saat-saat seperti  itu. Tiada pertunjukan yang

Surat dari kamu untuk aku, dua puluh dua tahun masehi

Gambar
  Telah berapa masa ke pungkur kau biarkan dirimu lampau begitu saja? Pedihnya yang teramat atau memang kamu yang lalai? Rasa-rasanya jalan begitu panjang untuk mentas dari kubangan yang sebetulnya kau gali sendiri. Dan masih saja belum tahu apa musababnya. Tapi sembilan bulan sudah lewat, dan kau baru benar-benar sempat menilik dirimu sendiri. Baru sempat nyalakan lagi pendar yang hampir-hampir habis masanya. Walau, ada yakin yang terpatri, tak akan sampai kamu padamkan janji-janji yang sudah jadi niat. Percikan-percikan kecil itulah yang memantikmu. Kalau tak disulut, ia akan terus mengepul, menyelimut pada benakmu, menjalari mandeknya gerakmu. Walau kelalaian tak sepatutnya terus-terusan kau rawat, terima kasih masih menyisakan setitik yakin, bahwa kau akan terus berupaya meluru terang temara yang menjauh dan kian jauh jika saja tak segera kau rengkuh lagi dan lagi. Bersesak-sesak peristiwa yang kau jalani. Masa yang ditarik ke belakang, adalah pintalan-pintalan penuh arti. Mereka t

Teknologi Menonton Lintas Medium dalam Sudut Pandang Slamet Thohari #interview

Gambar
Slamet Thohari adalah dosen Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya yang banyak bergelut di isu-isu inklusivitas. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya selama 7 tahun serta merupakan Indonesia Chair di AIDRAN (Australia Indonesia Disability and Advocacy Network). Dia menyelesaikan studinya di Departemen Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Department of Sociology di University of Hawaii at Manoa. Bidang penelitiannya meliputi studi disabilitas, interseksionalitas, sosiologi kesehatan, gender, dan Islam di Indonesia.  Dalam Forum Film Dokumenter, FFD 2020 mengundang Slamet Thohari sebagai pembicara dalam sesi DocTalk bertajuk Voice: Virtual Reality, Lintas Medium dan Dampak Baru Dokumenter. Diskusi ini sendiri merupakan bagian dari program Feelings of Reality.   Pada Jumat, 11 Desember 2020 saya berkesempatan mengulik lebih lanjut sudut pandangnya mengenai isu difabel dan kaitannya dengan kehadiran teknologi lintas medium.   B

Menyoal Budaya Menonton Bersama Eric Sasono #Interview

Gambar
Eric Sasono adalah salah satu pendiri Indonesian Film Society, London, yang menyelenggarakan pemutaran film Indonesia secara reguler di London. Ia menyelesaikan pendidikan doktor bidang kajian film di King’s College, London dan pernah menjadi anggota dewan pengawas Indonesia Documentary Film Centre atau InDocs (2009-2019) dan JIFFest (2009-2011). Menjadi international advisor board Asia Film Award, Hong Kong (2010-2014). Saat ini sedang menyelesaikan buku mengenai film Islam di Indonesia rentang tahun 1960 sampai 2018. Ia beberapa kali terlibat dalam Festival Film Dokumenter dan kembali menjadi salah satu juri dalam kompetisi kategori Panjang Internasional sekaligus pembicara diskusi dalam DocTalk Platform Daring dan Disrupsi Tontonan FFD 2020. Saya berkesempatan untuk mewawancarai Eric pada Rabu, 9 Desember 2020, dan berbagi banyak perspektifnya tentang film kompetisi yang ia nilai hingga budaya menonton masa kini. Sebagai seorang yang sudah banyak berkecimpung di dunia film, bagaima