Lakon Perempuan Berhati Lautan


Berkas:Siti 2014 film.jpg
Lakon Perempuan Berhati Lautan

Barangkali benar bahwa esensi suatu karya seni adalah sentuhan hati penikmatnya. Sebuah karya yang luar biasa adalah yang berhasil mendekat dengan sangat tulus pada kenyataan-kenyataan hidup yang kita jalani. Sehingga kesederhanaan disini memegang kendali yang begitu kuat.
Dalam film dramatis Siti, kesederhanaan itulah yang tercapai maknanya di benak penonton. Meski karya seni tersebut menyajikan persoaan-persoalan klise, alurnya mengalir dan kuat. Ditambah lagi dengan teknik pengambilan gambar yang tak henti menyoroti Siti (long shot), sebagai tokoh utama.
Eddie Cahyono yang menggarap film ini mengaku sengaja menampilkan visual yang hitam-putih, sebab inilah yang ingin digelar: kehidupan Siti yang tanpa warna-warna.
Siti memang digambarkan sebagai sosok perempuan yang menanggung banyak beban. Pergolakan batin terus-terusan diundang di setiap adegannya. Namun di saat yang sama, setiap adegan pula yang merangkai karakter utuh Siti. Seorang perempuan berkarakter tangguh dan berhati luas, seluas lautan. Begitupun lautan dalam film ini menjadi latarnya.
Lakon itu mengurai realitas-realitas sosial masyarakat pesisir pantai Parangtritis, Bantul Yogyakarta. Penonton sedang tak diajak melihat kenyataan buatan dalam layar, itulah persoalan hidup yang nyata ada. Melalui sudut pandang keluarga Siti yang miskin, terbelit hutang dan segala problematika kehidupan masyarakat kelas bawah menjadi cermin nyata atas ketimpangan dalam masyarakat kita.
Tak ayal, bila film yang pertama kali diputar tahun 2014 itu meraih penghargaan sebagai film terbaik dalam Festival Film Indonesia 2015. Dari sini kita tahu, yang baik bagi kita adalah yang dekat dengan yang nyata. Meski kita dihadapkan banyak  kesuraman, inilah hidup yang mesti dijalani. Siti menunjukannya. Sehari-hari ia memeras keringat membantu ibu mertuanya menjual peyek dan ia menjadi wanita penghibur di sebuah tempat karaoke setiap malamnya.

Mengenal Film Siti, Pemenang AFI 2015 - ShowBiz Liputan6.comSejak awal ditayangkan mengenai bagaimana sulitnya kondisi Siti. Ia memiliki suami lumpuh yang tak mau bicara padanya sekecap pun. Bagus, suaminya itu tak ingin bicara setelah mengetahui Siti bekerja di tempat karaoke. Fisiknya lumpuh, begitupun disini hatinya. Ia seperti laki-laki mati yang tak melek pada perjuangan istrinya.

Menuturkan kehidupan Siti lewat film hitam putih - BBC News Indonesia

Sang anak yang bernama Bagas digambarkan sebagai bocah laki-laki pada umumnya. Tingkah dan celetukannya yang semaunya sendiri seringkali menancap dalam benak Siti—juga penonton barangkali. Ia merengek kasih lebih dari sang ibu. Sebagai seorang anak ia adalah sosok yang polos. Ia tak peduli soal uang dan segala bentuk materi. Ia hanya memikiran untuk medapat perhatian yang utuh dari orangtuanya. 


Dalam setiap interaksinya bersama Bagas ini, siti secara implisit menunjukkan sosok keibuannya. Kasih saying dan kemanusiaannya sama sekali tak berkurang meski memiliki banyak tekanan dari lingkungan yang mengungkungnya. Ia bahkan mau tetap menjadi istri dan menantu yang baik.
Mertua Siti disini merupakan representasi masyarakat yang terbuka atas pekerjaan malam Siti. Dengan satu kondisi, norma-norma positif dalam masyarakat tak menjadi hal. Mereka terbelit situasi dan itulah yang harus dijalani, tanpa harus bersungut-sungut menuntut jalan yang lurus. Itulah hidup nyatanya. Begitulah warna abu-abu ditengah kemapanan.
Barangkali gugatan dan perlawanan paling nyata bagi Siti adalah dengan tetap tabah. Perempuan kuat itu melawan dengan tak menyerah pada nasib. Sungguh, hatinya  seluas lautan. Ia tak mudah tersulut emosi oleh keadaan. Ia tetap mengurus suaminya. Bercengkerama dan bercerita tentang kisah sehari-hari, tentang anaknya dan apapun yang terjadi. Bagus tatap membisu. Siti sesekali muram, namun ia tak mampu marah meluap-luap. Ia bahkan, meski sebenarnya memilki kebebasan mutlak atas dirinya, tataplah menanggung beban yang ditinggalkan suaminya. Yaitu hutang atas kapal yang dibeli Bagus saat ia masih berlayar dan belum tertimpa celaka. Siti memang mengurus anak dan suami, tapi ia juga yang mencari nafkah. Tak ada lagi omongan soal laki-laki sebagai peran utama dalam rumah tangga.
Hal menarik lain ialah transisi yang ditampilkan dalam film. Dengan masih menyoroti si tokoh utama, Siti sedang terseok-seok menuju lautan diiringi alunan usik yang getir. Ia seperti menangis tetapi tatapannya membendung banyak rasa. Antara amarah dan kasih yang luas.



Siti, Tanah yang Luka
Kita semua tahu, seni ialah karya bebas interpretasi. Banyak simbol-simbol tersembunyi di dalamnya. Film Siti ini, selain juga sebagai kritik atas realita sosial yang ada, bisa menjadi perenungan atas alam. Petanda yang kita dapat dari nama Siti misalnya. Jika ditelisik, nama Siti berarti tanah dalam istilah Jawa.
Begitu mungkin bahwa segala pergolakan rasa yang diejawantahkan malalui lakon Siti ini merupakan pesan yang ingin disampaikan atas relasi tanah, bumi kita, alam dengan kita sebagai manusia.
Ketika menjajakan peyek bersama ibu mertuanya di pantai, mereka beristirahat dan saling bercerita. Siti memperlakukan orangtua itu dengan santun, meski ia ibu mertuanya. Di sana ibu mertuanya itu berterimakasih pada Siti, sebab telah sabar merawat anak serta cucunya. Ia berkata, “Laut sing ngehi pangan, laut uga sing njupuk pangan.” Lautlah yang memberi pangan, laut pula yang mengambil pangan.
Malam itu ia telah mendapat uang untuk membayar hutang selepas bekerja di karaoke. Ia merelakan dirinya untuk memenuhi segala nafsu manusia. Pulang dalam keadaan setengah sadar, ia menghampiri suami lumpuh yang ia kasihi. Ia bercerita tentang segala penatnya, serta kabar bahwa ia ingin dinikahi laki-laki lain. Siti tetap berkeluh dan memohon suaminya itu untuk berbicara. Lalu betapa terkejutnya, satu kata yang keluar dari mulut Bagus menghancurkan perasaan Siti. Setlah sekian lama menantikan suara Bagus, kalimat “Lungaa Sit,” membuat Siti seketika kecewa.
Siti pun pergi. Ia berjalan limbung menuju laut. Siti membawa luka di hati dan perutnya.
Siti, bagai tanah yang telah memberi seluruhnya pada manusia. Namun luka yang diperoleh. Manusia adalah Bagus yang lumpuh. Hanya nama yang menyisakan kebaikan. Selebihnya, manusia itu tak bisa apa-apa, dan payahnya tak mau bicara. Siti, adalah tanah yang merawat semuanya. Siti berakhir luka. Kemudia laut adalah tempat kembali, tempat segala pedih serta kasih Siti luruh.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?