Ambisi Mekar
Kita
semua—setidaknya yang selama ini dijumpai—adalah hasil tempaan. Sejak awal kita
telah terlatih. Anehnya semua latihan itu menempatkan kita pada satu
seluk-beluk yang sama, meski dengan aba-aba yang tak selaras. Sehingga dalam
beberapa momen kita serentak, kita ramai-ramai. Entah untuk melindungi maupun
merundungi yang lain.
Jiwa-jiwa
yang terlatih adalah milik kita. Meski dengan tujuan yang antah berantah dan
kalang kabut mencari jejak petunjuk, kita terlatih untuk tetap pongah—juga
teguh pada saat yang sama.
Kita
terlatih untuk membuang segala apapun yang sepele. Apapun itu, kita harus dalam
situasi yang penuh kepastian. Kita tak seharusnya jadi muram, suatu saat nanti.
Kita harus terus bahagia. Kita harus terus punya pegangan yang kuat. Namun juga
jangan sampai kita tak tahu angin apa yang akan berhembus di hari esok. Kita
harus tahu semuanya dengan kepastian yang mantap, sebab-akibat yang jelas dan
garis warna yang gamblang. Lalu jangan sampai kita diburu-buru waktu, kitalah
sang pemburu itu.
Jangan
sampai kita tergerak atas kehendak yang belum jelas juntrungnya. Jika kita
memasuki sebuah ruang, jangan sampai waktu terbuang. Kita harus pulang dengan
sesuatu yang bisa digenggam. Tak ada rugi. Sekali saja kaki melangkah, ia harus
tepat pada pijakannya. Sependek apapun ia, yang utama adalah tanpa sia-sia.
Meski
jauh di lubuk hati sana mengerang-erang, kita akan terus ada untuk mengelaknya.
Sedikit saja ada titik terang, cepat-cepat, kita harus menutupnya. Atas dasar
keteguhan yang kita anggap nyata, dari awal hingga akhir, kita haruslah
bahagia. Dan batas bahagia itu terlanjur kita sepakati bersama, dengan kekakuan
yang pura-pura indah.
Setidaknya
untuk terus dianggap ada oleh yang lainnya, juga untuk kepentingan kita saja,
segalanya harus ada alasannya. Harus ada pembelaan. Kita tak mungkin kalah
begitu saja. Kita harus bahagia. Hari esok haruslah sempurna.
Jika
ada yang menghampiri dan ia tak ada kaitannya dengan kemenangan kita, jangan
hiraukan pandangannya. Sangat sah hukumnya untuk kita terus-terusan menutup
mata dan telinga. Ketika rasa iba datang, sedikit saja kita melihat dengan
picingan sudut mata. Lalu berkata dengan gaya yang paling manusia: “Ya, ya,
kita hanya berbeda haluan. Kita akan sampai pada tempat akhir yang sama. Ah, beruntungnya!”
Demi
kebahagiaaan yang nyata, demi mekar di musim yang tepat, kita rela berpura-pura
dalam waktu yang lama. Setiap langkah adalah rangkaian menuju kepura-puraan
yang sempurna. Kita gundah tapi kita tak bisa menurunkan rasa. Kita merasa
gentar tapi tak bisa merawat yang ada.
Sekali
lagi. Kita terlatih untuk berpura-pura dalam waktu yang cukup lama—seumur hidup
kita. Kita selalu ingin berbahagia. Menampik segala derita. Dan jangan sampai
ada yang berkata bahwa kita tak lebih dari manusia yang merana. Kita dan segala
apa yang dijumpa haruslah selalu ada untuk diri kita. Kita, dari ujung hingga pangkal,
adalah pusat dunia. Kita tak mau menjadi lemah. Apapun itu, semestinya kita
bahagia. Semestinya semua pasti. Semestinya semua terjamin. Semestinya semua
jelas. Semestinya semua berguna—bagi diri kita saja...
Seperti kembang, kita berambisi
untuk selalu mekar...
Seringkali, pikiran terluar datang
dan membuat kita manggut-manggut. Segalanya adalah tentang menjadi menang atau
kalah. Segalanya adalah tentang kuat atau lemah. Kita antipati pada semua yang
kira-kira menjadikan kita lemah dan kalah.
Payahnya, di kesunyian kita
bersungut-sungut. Mengutuki segala yang tak bergerak semestinya. Bagaimana
bisa? Angin berhembus di luar sana saja kita tak bisa mengaturnya. Kita
berakhir dengan kecewa yang teramat luka. Kita mengutuki apa saja yang
terlewat. Kita tak ingin berkawan. Atau jika terpaksa, kawan adalah mereka yang
jelas jejaknya. Sebab, sekali lagi harus di luar kepala bahwa setelah keluar
dari suatu ruang, kita tak boleh tak dapat apa-apa. Lebih-lebih bila bagian
dari diri kita keluar untuk yang lainnya, imbalan semestinya datang. Juga kita
tak bisa untuk terlihat dengan wujud yang tembus pandang. Kita tak boleh
menjadi tumpuan.
Lalu tiba saatnya angina berhembus
tanpa sepengetahuan kita. Ombak menderu tanpa kendali kita. Manusia saling
mencinta dan membenci tidak dalam kuasa kita. Kita tak mampu bersikukuh atas segala
sesuatu. Segala hal telah ada pijakannya. Dan hidup, selalu ada yang merawat.
Hidup memang terlahir dari waktu, dan kita semua tahu: waktu pasti berlalu.
Menepilah barang sejenak, lalu
tangkap segala yang hinggap pada indera. Rasakan segala suara. Buka mata dan
telinga selebarnya.
Untuk apa terus-terusan membalut
luka?
Untuk apa memelihara kecewa?
Kita semua pusat semesta.
Hidup selalu ada yang merawat.
Cukuplah bagi kita untuk terus hidup
dan menghidupi.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.