Sempoyongan


Kemarin Bapak telepon dan bilang agar aku minum air kelapa muda. Aku tidak tahu pasti maksud baiknya. Ia menjelaskan dengan bahasa yang sulit kuutarakan. Tapi aku cari di internet, air kelapa muda memang bisa menjadi detoksifikasi. Aku manut dan orang-orang baik di rumah mencarikannya untukku.
Hari berikutnya, semangka. Kata Bapak semangka juga baik buat kepala yang sedang tak bersahabat. Pagi tadi Yu Sri lewat depan rumah dan membawa semangka yang habis dia beli dari tukang sayur keliling. Kebetulan sekali, dan aku senang. Karena Mamak sudah mencarinya ke penjual sayur tidak ketemu. Dengan senang hati Yu Sri memberikan semangka itu. Aku hanya makan seiris. Sisanya kubalut plastik dan kutaruh kulkas. Kuharap Yu Sri mau mengambilnya lagi nanti sore, dan kita makan semangka sama-sama.
Beberapa hari ini aku memang tidak dapat puasa karena sesuatu dalam tubuhku menolak untuk melaksanakannya, aku juga tidak tahu maksud mereka apa. Tapi kalau aku tidak makan, aku tidak bisa minum ramuan pahit itu dan badanku kelimpungan tidak jelas. Aku sebenarnya merasa lucu, tapi entah mengapa aku palah menangis.
Pun orang-orang rumah sebenarnya punya hati yang baik. Aku pun tak enak hati kalau makan di depan mereka. Hari ini mereka tidak sempat sahur karena kelewat subuh. Kukatakan pada mereka: jika badan lemas dan tidak kuat, tak apa untuk makan. Tuhan tidak mungkin marah-marah hanya karena kau mau mati begitu. Lalu adikku mengambil nasi. Ia makan. Sejak kemarin ia belum sempat menyuapkan nasi ke perutnya. Katanya badannya lemas dan bisa pingsan. Aku tertawa. Aku juga pengin pingsan saja.

Namun, aku sadar bahwa ini hari Senin. Aku selalu lupa waktu. Untung saja ponselku tidak dalam mode diam sekarang. Aku membuka pesan-pesan yang terbengkalai. Kubalas satu-satu yang perlu. Tugas-tugas kuliah dan segala keharusan segera kutuntaskan semampuku. Meskipun, aku sedih tidak dapat mengikuti kegiatan belajar bahasa dan memantau semangat belajar anak-anak. Mereka sulit diajak belajar bersama, dan harus selalu diingatkan. Awalnya aku penat harus menghubungi mereka satu-satu secara personal. Tapi kupikir tak apa untuk saling mengenal dan bercakap-cakap. Lalu berlanjut dengan kuliah daring. Walaupun kurasa, ilmu-ilmu yang dibagi lewat daring tidak terserap utuh, kuhargai usaha dosen dan teman-teman yang presentasi dengan menyimaknya seluang waktuku. Kadang, aku juga malas jika apa yang dibicarakan dalam kelas bertele-tele. Atau mungkin aku saja yang tidak tersambung. Tapi kuharap kita semua tetap belajar dalam pijakannya masing-masing.

Saat aku ke dapur, aku menemukan pil besar hijau. Semangka buah kuning! Aku tidak tega membelahnya. Terlalu imut. Kuciumi baunya. Aku tanya Mamak, ini dari mana. Kata Mamak dari Lek Sukinah. Sepertinya dia panen dari kebunnya sendiri, lalu dijual ke tetangga. Senangnya, alam selalu mengulurkan tangannya untuk kita. Aku jadi ingat narasumber liputanku: Pak Wiji dari Kulonprogo. Lambat laun aku sadar, mengapa ia bersikukuh mempertahankan tanahnya alih-alih memperoleh uang dari ganti rugi pembangunan bandara. Meski awalnya pontang-panting tak punya rumah, ia percaya: tanah menghidupi. Kini, kulihat lewat status WhatsApp-nya para petani Kulonprogo panenannya bagus. Beberapa buah dan sayur bisa menghidupi keluarga mereka dan disalurkan ke orang-orang kota. Di tengah krisis pandemi ini, tanah yang mereka perjuangkan dengan berdarah-darah mampu membuka mata mereka yang tersilap uang. Bahwa dunia tak semata soal materi yang singkat.

Tapi aku juga kepikiran soal mereka yang dapat uang konsinyasi lebih awal. Belum ada pandemi saja, waktu itu mereka bercerita padaku hidupnya tak kalah pontang-panting. Bahkan setiap rumah mereka membuka warung. Mereka tidak punya tanah lagi untuk menanam, padahal hanya bertani yang mereka bisa lakukan sejak dulu...
Selepas ini mungkin aku akan menghubungi mereka, sakadar bertanya kabar. Aku senang mendengar kabar dan berita-berita. Itu membuatku membuka mata, bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Bahwa tak hanya kita yang menderita. Bahwa kita selalu ingin bahagia diantara mereka yang diam-diam menangis. Meskipun kalau mendengar berita tak baik, hatiku rasanya sakit, bahkan marah. Rasanya ingin keluar. Rasanya ingin menolak kenyataan kalau di dunia ini ada orang jahat dan tega pada sesama. Tapi aku berupaya mencari terang pikir, berupaya untuk terus mencari yang benar menurut kata hatiku. Karena kupercaya Tuhan menuntun melalui itu.
Kata ibu Dini kesedihan adalah sesuatu yang seharusnya diimpit-diindit, diselinapkan di balik lapisan penutup.
Kemudian aku bangkit, meski jalan terseok-seok, hidup teruslah berjalan... Dan panjang umurlah hal-hal baik!
❤️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedap Malam

Understanding Love?

Kenapa Saya Membatasi Akses "Begitu Saja" di Internet?