Kapitalisme Duri Lunak Towilfiets
Dina Tri Wijayanti (18107030091)
#tugascoolyeah
***
Daerah Istimewa Yogyakarta terkenal sebagai kota yang memiliki daya pikat melalui
beberapa sektor, khususnya pariwisata. Tujuan wisata Indonesia kedua setelah
Bali itu selalu meberi kesan “tradisonal” serta romantisme bagi siapapun yang
singgah. Sehingga di daerah ini pun terdapat banyak destinasi wisata yang
menawarkan hal unik. Yang paling disoroti kini adalah kearifan lokal.
Sedang pariwisata sendiri merupakan
salah satu sektor yang diperhitungkan dalam produk domestik bruto (PDB). Lalu aspek
lokalitas menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan, lebih-lebih oleh turis
asing. Tak ayal jika pengembangan pariwisata nasional bertumpu pada potensi
keindahan alam dan budaya unik satu daerah.Untuk itu sektor inilah yang ingin
digenjot oleh pemerintah. Pun dana bergulir seiring berkembangnya pariwisata
berbasis ekonomi kreatif. Sebab sektor itu mampu menambah pendapatan negara
juga warganya. Kemudian banyak warga mendirikan usaha wisata dengan menawarkan
inovasi yang disesuaikan dengan permintaan pasar.
Usaha semacam itulah yang diterapkan
Muntowil. Ia menjadi perintis usaha wisata lokal. Tak hanya itu, lebih spesifik
lagi ia melirik peluang atas hobinya pada sepeda ontel. Dengan ontel itulah
Towil, sapaan akrabnya mendirikan Towilfiets. Towilfiets terletak di Dusun
Bantar, Desa Banguncipto, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo.
Pria inovatif itu mampu
membaca peluang atas pengalamannya dengan dunia luar. Untuk itulah segmentasi
usahanya pun mengglobal. Hal ini tak jauh dari sebuah identitas. Identitas yang
menjual. Sedangkan secara teoritis, kata
“menjual” berdampingan
dengan komersialisasi dan berkaitan erat dengan ekonomi kapitalisme. Pariwisata pun memainkan
peran yang cukup besar dalam menambah penghasilan negara.
Di sisi lain, merembahnya konsep wisata memanfaatkan potensi lokal secara tak langsung turut andil dalam membantu masyarakat kedalam ketidakmandirian. Bagaimana bisa? Masyarakat
tradisonal
yang seharusnya hidup dengan kearifan lokalnya sendiri “dipaksa” secara sekejap untuk berubah demi kepentingan komersil. Lebih-lebih jika identitas suatu desa yang dijual.
Selain itu, dengan berkembangnya pariwisata,
secara tidak langsung juga sudah merubah tatanan hidup masyarakat itu sendiri,
dimana hampir semua masyarakat yang tinggal di sekitar destinasi pariwisata
bergantung terhadap adanya wisatawan.
Kapitalisme
telah mendominasi. Bahkan ke pelosok-pelosok negeri. Dan kreativitas seni beralih ke
arah komersialisasi. Masyarakat
sedang berada pada ujung identitasnya.
Dalam
teori Karl Marx dengan adanya komersialisasi,
pariwisata semacam
ini muncul suatu gejala yang dinamakan komodifikasi
kebudayaan. Dalam sektor pariwisata, kebudayaan disulap. Kata Marx, komodifikasi berarti transformasi hubungan yang
sebelumnya bersih dari perdagangan, menjadi hubungan komersial, membeli dan
menjual. Inilah
yang terjadi pada berkembangnya pariwisata yang makin digemari turis, baik domestik maupun mancanegara.
Dengan
komodifikasi kebudayaan ini, ada yang dipamerkan dan dijual dari sebuah bangsa kepada orang luar. Seolah satu bangsa memiliki semacam produk—identitas lokal. Kendati demikian,
komodifikasi ini memberi keuntungan bagi masyarakat pelaku
kebudayaan tersebut. Juga kebudayaan lokal asli yang hampir punah bisa terus lestari.
Towilfiets hadir sebagai “tawaran”
kemandirian lokal. Old but gold.
Sepeda ontel yang menjadi identitas masyarakat pedesaan, meski cenderung ditinggalkan, oleh Towil dijadikan magnet
bisnis wisata. Bahkan, bersepeda ontel barangkali
menjadi tren tersendiri bagi wisatawan asing di sana.
Bisnis Towil perlahan meroket dengan relasi yang dijalin dengan turis-turis
mancanegara. Towilfiets, yang kini memiliki 100
buah sepeda ontel menawarkan
kegiatan bersepeda wisata alias guide tour.
Sektor usaha tersebut bisa membawa keuntungan bagi perekonomian
daerah dan pusat.
Kalangan masyarakat maupun pemerintah secara tak langsung
merangkak membangun citra. Hal itu ditempuh dengan mengandalkan relasi serta
diplomasi luar negeri.
Towilfiets
pun
memiliki beberapa paket yang ditawarkan, wisatawan diajak mengayuh ontel mengelilingi desa, menikmati
pemandangan sawah pertanian, warga yang sedang menenun, berkebun, beternak dan
semacamnya. Nuansa rural yang natural inilah yang menarik. Para turis senang,
Towilfiets melaju, Towil meraup untung.
Ontel ditunggangi menuju spot-spot
pedesaan. Kemudian kehidupan warga desa dipertontonkan layaknya layar film.
Bedanya, para turis dapat berinteraksi langsung.
Mereka diajak bersepeda sejauh tujuh
kilometer. Titik
mulai dari Dusun Bantar menuju komplek
persawahan di Dusun Beling.
Pemilik
sawah, produsen tempe, produsen kerajinan dan lain sebagainya diajak
bekerjasama oleh Towil.
Sehingga Towilfiets yang awalnya hanya hobi, memperoleh respons yang baik oleh
warga sekitar juga. Usahanya tumbuh dengan subur dengan pemanfaatan relasi serta
media. Towilfiets pun mulai digemari oleh wisatawan asing dan merambah pada agensi tour and travel mancanegara.
Kemudian, logika kapitalistik pun
lambat laun akan berkembang. Pemberdayaan barangkali melemah. Warga desa lalu selalu
memperhitungkan
untung-rugi atas apa yang diberikan
pengunjung.
Ketika
semua aspek kehidupan diserahkan pada mekanisme pasar, sebenarnya kita telah
rela menjadi budak-budak globalisasi yang amat jauh dari idealisme pembangunan.
Kemudian kata Towil, wisata desa tidak sama dengan
desa wisata. Wisata desa, seperti yang ia jalani kini, berarti mengenalkan desa
dan
potensinya secara natural, realistis.
Karena Towil mengajak wisatawan masuk ke rumah-rumah warga dan mengenalkan keseharian mereka. Sambutan warga desa yang
ramah pun menjadi daya tarik tersendiri. Setelah potensi-potensi itu dikenali, selanjutnya apa?
Inilah yang kemudian dinamakan
Kapitalisme Duri Lunak. Menurut Daniel Bell (1976), kapitalisme duri lunak selalu mencoba memperhitungkan
nilai-nilai kultural dan kepentingan masyarakat suatu negara dengan cermat. Dengan
pesatnya kemajuan teknologi, sebaran informasi akan berlangsung dengan cepat.
Membuat perputaran modal di suatu tempat berjalan makin mulus. Seperti halnya
promosi yang dilakukan Towilfiets melalui beberapa media. Towilfiets hanya
bermodal keunikan ontel dan desa.
Senada
dengan
kapitalisme pariwisata menjunjung tinggi
prinsip ekonomi, yaitu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya melalui penguasaan kepemilikan modal.
Greenwood
(1977), melihat bahwa hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal
menyebabkan terjadinya proses komersialisasi dari keramahtaman masyarakat
lokal. Wisatawan
Towilfiets memang mengaku menggemari interaksi sosial dan tanggapan ramah dari warga. Wisatawan akan berinteraksi dengan masyarakat lokal
sebagai awal pengenalan. Pada awalnya wisatawan dipandang sebagai tamu dalam
pengertian tradisional, yang disambut dengan keramahtamahan tanpa motif
ekonomi. Dengan adanya komunikasi dan interaksi yang baik
antara masyarakat lokal dan wisatawan, hal itu membuat jumlah pengunjung atau
pelancong pun akan bertambah.
Ramainya pengunjung membuat
masyarakat lokal memanfaatkannya sebagai penambah pendapatan mereka atau
ekonomi mereka, mulai dari komersialisasi pembayaran tiket masuk wisatawan,
membuka usaha-usaha, dan profit yang lainnya.
Budaya yang meliputi sistem
kepercayaan, agama, bahasa, mata pencaharian, hingga seni, yang kemudian menjadi
cara hidup yang berkembang, dimiliki bersama, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Dalam sektor pariwisata, ini menjadi ladang basah.
Pariwisata budaya telah menjadi
dayatarik tersendiri terhadap pariwisata Indonesia, khususnya Yogyakarta. Bentuk
komersialisasi budaya itu tidak hanya terjadi dalam adat istiadat dan kesenian
daerahsaja, tetapi meliputi semua sektor yang banyak kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan.
Kehadiran wisatawan pada keseharian warga telah membuka peluang bagi pihak
pengelola (pengada layanan wisata, pemerintah, dan tour operator), tak
terkecuali Towil dan agensi tour and travel yang bekerjasama dengannya.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membuang waktumu di tulisan saya. Semoga tidak ada dosa.